SESUDAH lama terkatung-katung, akhirnya trio bomber Bom Bali I Amrozi cs jadi juga dieksekusi mati pada Ahad dinihari pukul 00.15 WIB, di sebuah lokasi tersembunyi di hutan Nusakambangan. Ketiganya dikabarkan ditembak dengan mata tidak ditutup sesuai permintaan mereka sendiri.
Sementara itu, Imam Samudra, menulis surat wasiat yang isinya antara lain menyatakan bahwa sebutan “teroris” yang mereka sandang “jauh lebih terhormat” ketimbang sebutan “ulama” jika ulama itu hanya diam terhadap apa yang disebutnya “penindasan kaum kafir”. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri mengeluarkan pernyataan bahwa kematian ketiga teroris itu bukanlah “syahid”, karena cara “perjuangan” mereka dinilai salah kaprah, dan malah menganiaya Islam (Koran Tempo, 10 November 2008).
Pernyataan MUI itu tidak menyurutkan semangat ribuan orang untuk berdatangan ke pemakaman trio bomber tersebut. Bagi para pelayat ini Amrozi cs, tak bisa tidak, adalah pahlawan dan martir, seperti antara lain ditandaskan oleh tokoh Islam garis keras, Abubakar Ba’asyir. Memanglah sebutan “pahlawan” dan “pengkhianat” hanya soal persepsi belaka. Itu hanya menjelaskan di posisi mana kita berdiri.
Yang pasti kematian ketiga bomber Bom Bali I itu tidak lantas berarti ancaman teror berakhir. Masih ada “Noordin M(emang) Top” yang sampai hari ini masih bebas gentayangan, selain kelompok “pejuang anti kafir” lainnya. Kematian Amrozi cs diyakini malah semakin menyalakan semangat “jihad” mereka .Dan ancaman mereka sungguh nyata, meskipun keberadaan mereka sendiri seolah tak pernah nyata.
Memburu dan menangkap “para pejuang anti kafir” ini hidup atau mati jauh lebih mendesak ketimbang meributkan urusan gelar yang pantas disandangkan pada trio bomber yang kini mungkin sedang santai menikmati kenyamanan hidup di sorga, di antara para malaikat dan bidadari yang dengan telaten mengeloni mereka …
No comments:
Post a Comment