SUASANA hati—perasaan gembira, mungkin separuh gembira, atau gembira banget, dan sebaliknya perasaan bete dengan banyak tingkatan variasinya—sudah terbukti bisa diciptakan. Itulah kiranya salah satu “sumbangan positif” obat-obatan yang kini suka disebut haram : pil koplo, ganja, kokain, sabu, dan “teman-teman”nya..
Memang rekayasa suasana hati itu masih jauh dari sempurna. Waktu kerja obat-obat itu terbatas—hanya beberapa jam—dan yang paling berabe, obat-obatan itu punya sifat adiktif yang luar biasa merusak, yang akan membuat dosisnya menjadi terus bertambah, dan itu suatu saat bakal menyebabkan si pemakainya knock out..
Saya tengah membayangkan, mungkin beberapa puluh atau ratus tahun lagi, manusia sudah menjadi jauh lebih pintar, dan urusan rekayasa suasana hati bukan lagi masalah yang merepotkan. Saat itu sudah tersedia bermacam-macam pil untuk bermacam suasana hati yang diinginkan—dengan tingkat efek samping yang sudah bisa ditekan menjadi nol persen.
Misalnya, ada pil senang, pil setengah senang. Ada juga pil sedih, dengan banyak variasi kesedihan, dari yang paling enteng sampai gawat. Dan manusia saat itu mengkonsumsinya seperti hari ini kita mengkonsumsi nasi dan lauknya. Jadi tidak ada lagi keberatan moral apalagi medis. Satuan tugas anti narkoba di kepolisian pun sudah dibubarkan. Dan organisasi sangar semisal FPI, MUI, yang suka main larang itu, tidak lagi diperlukan.
Kelompok profesi lain yang mungkin juga tergusur karena tak laku lagi adalah para psikolog dan psikiater. Buat apa? Toh semua urusan yang bersumber dari keruwetan pikir dan rasa sudah bisa dijinakkan. Mungkin para rohaniwan—pastor, pendeta, ustad, biksu—jangan-jangan juga tak diperlukan lagi saat itu. Orang sudah pada berhenti berdoa, kitab suci tak dibaca lagi, dan tempat-tempat ibadah sudah pula ditutup—atau beralih fungsi.
Dan Tuhan, seperti kata sebuah sajak Carl Sandburg, akan tambah kesepian.
Memang rekayasa suasana hati itu masih jauh dari sempurna. Waktu kerja obat-obat itu terbatas—hanya beberapa jam—dan yang paling berabe, obat-obatan itu punya sifat adiktif yang luar biasa merusak, yang akan membuat dosisnya menjadi terus bertambah, dan itu suatu saat bakal menyebabkan si pemakainya knock out..
Saya tengah membayangkan, mungkin beberapa puluh atau ratus tahun lagi, manusia sudah menjadi jauh lebih pintar, dan urusan rekayasa suasana hati bukan lagi masalah yang merepotkan. Saat itu sudah tersedia bermacam-macam pil untuk bermacam suasana hati yang diinginkan—dengan tingkat efek samping yang sudah bisa ditekan menjadi nol persen.
Misalnya, ada pil senang, pil setengah senang. Ada juga pil sedih, dengan banyak variasi kesedihan, dari yang paling enteng sampai gawat. Dan manusia saat itu mengkonsumsinya seperti hari ini kita mengkonsumsi nasi dan lauknya. Jadi tidak ada lagi keberatan moral apalagi medis. Satuan tugas anti narkoba di kepolisian pun sudah dibubarkan. Dan organisasi sangar semisal FPI, MUI, yang suka main larang itu, tidak lagi diperlukan.
Kelompok profesi lain yang mungkin juga tergusur karena tak laku lagi adalah para psikolog dan psikiater. Buat apa? Toh semua urusan yang bersumber dari keruwetan pikir dan rasa sudah bisa dijinakkan. Mungkin para rohaniwan—pastor, pendeta, ustad, biksu—jangan-jangan juga tak diperlukan lagi saat itu. Orang sudah pada berhenti berdoa, kitab suci tak dibaca lagi, dan tempat-tempat ibadah sudah pula ditutup—atau beralih fungsi.
Dan Tuhan, seperti kata sebuah sajak Carl Sandburg, akan tambah kesepian.
No comments:
Post a Comment