MUNGKIN tidak adil apabila ini hanya ditimpakan pada Google sendirian. Kalau mau fair ini adalah “dosa” dan “kejahatan” semua search engine. Tapi karena fakta di lapangan saat ini membuktikan bahwa 60 persen perselancar di dunia maya memang “berkerumun” di Google, cukup layak kiranya untuk memberi judul artikel ini dengan membawa nama search engine besar itu.
Google dalam kerjanya sebagai mesin pencari menerapkan aturan mainnya sendiri. Seperti apa persisnya aturan itu hanya pihak Google yang paham. Mereka menyeleksi dengan ketat kapan sebuah situs, misalnya, sudah boleh nongol (atau belum) tatkala seseorang mengetikkan kata kunci tertentu di kotak carinya. Sebuah situs yang masih bayi, seberapa pun keren (dan penting isiya), tidak akan gampang-gampang mejeng di Google.
Situs-situs itu harus melewati dulu “masa pembinaan”. Tapi model “pembinaan”nya seperti apa, dan berapa lama “pembinaan” itu berlangsung—sekali lagi—hanya Google sendiri yang tahu. Bukan tidak mungkin, sebuah situs dinyatakan “tidak lulus” dalam masa pembinaan itu. Dan atas dasar alasan apa Google “membunuh” sebuah situs juga hanya mereka sendiri yang tahu.
Susahnya menembus gerbang seleksi Google itu kemudian memunculkan peluang bisnis baru. Sejumlah orang yang mengklaim “mengerti” apa yang diinginkan sang mesin pencari, telah mengembang-biakkan dagangan laris yang disebut Search Engine Optimazation atawa sering disingkat SEO. Namanya juga dagangan, tentu saja untuk bisa memetik ilmu SEO itu ada bayarannya, dan sering tidak murah juga. Sedang yang dijajakan gratis di internet (atau buku-buku) asal tahu saja cuma “kulit-kulit”nya doang.
Dengan mempraktekkan jurus-jurus SEO yang canggih sebuah situs diyakini akan lebih cepat muncul di jagat maya. Kenyataan ini sekali lagi membuktikan bahwa memang “money (not content) is the king”. Sebaliknya situs-situs yang tidak patuh pada aturan SEO yang benar, meskipun sebetulnya membawa muatan pesan penting dan bernilai, harus sabar menanti berbulan-bulan, sebelum akhirnya hadir di jagat maya—itu pun kalau hoki dinyatakan “lulus”. (Situs gratis ini, umpamanya, telah dibuat dengan tidak mematuhi aturan SEO yang benar—maka page ranknya susah sekali naik).
Ironisnya lagi, pada saat situs itu sudah boleh tampil, mungkin urgensi muatannya sudah ketinggalan zaman dan menjadi tidak penting lagi. Begitulah, karena uang semua yang “tak patuh” pada aturan SEO harus mengalah. Dan itulah yang saya maksudkan ketika saya menyebut “kejahatan” dan “dosa” Google. Ada andil Google pada terbentuknya iklim kompetisi yang tidak fair itu—disengaja atau tidak.
Google dalam kerjanya sebagai mesin pencari menerapkan aturan mainnya sendiri. Seperti apa persisnya aturan itu hanya pihak Google yang paham. Mereka menyeleksi dengan ketat kapan sebuah situs, misalnya, sudah boleh nongol (atau belum) tatkala seseorang mengetikkan kata kunci tertentu di kotak carinya. Sebuah situs yang masih bayi, seberapa pun keren (dan penting isiya), tidak akan gampang-gampang mejeng di Google.
Situs-situs itu harus melewati dulu “masa pembinaan”. Tapi model “pembinaan”nya seperti apa, dan berapa lama “pembinaan” itu berlangsung—sekali lagi—hanya Google sendiri yang tahu. Bukan tidak mungkin, sebuah situs dinyatakan “tidak lulus” dalam masa pembinaan itu. Dan atas dasar alasan apa Google “membunuh” sebuah situs juga hanya mereka sendiri yang tahu.
Susahnya menembus gerbang seleksi Google itu kemudian memunculkan peluang bisnis baru. Sejumlah orang yang mengklaim “mengerti” apa yang diinginkan sang mesin pencari, telah mengembang-biakkan dagangan laris yang disebut Search Engine Optimazation atawa sering disingkat SEO. Namanya juga dagangan, tentu saja untuk bisa memetik ilmu SEO itu ada bayarannya, dan sering tidak murah juga. Sedang yang dijajakan gratis di internet (atau buku-buku) asal tahu saja cuma “kulit-kulit”nya doang.
Dengan mempraktekkan jurus-jurus SEO yang canggih sebuah situs diyakini akan lebih cepat muncul di jagat maya. Kenyataan ini sekali lagi membuktikan bahwa memang “money (not content) is the king”. Sebaliknya situs-situs yang tidak patuh pada aturan SEO yang benar, meskipun sebetulnya membawa muatan pesan penting dan bernilai, harus sabar menanti berbulan-bulan, sebelum akhirnya hadir di jagat maya—itu pun kalau hoki dinyatakan “lulus”. (Situs gratis ini, umpamanya, telah dibuat dengan tidak mematuhi aturan SEO yang benar—maka page ranknya susah sekali naik).
Ironisnya lagi, pada saat situs itu sudah boleh tampil, mungkin urgensi muatannya sudah ketinggalan zaman dan menjadi tidak penting lagi. Begitulah, karena uang semua yang “tak patuh” pada aturan SEO harus mengalah. Dan itulah yang saya maksudkan ketika saya menyebut “kejahatan” dan “dosa” Google. Ada andil Google pada terbentuknya iklim kompetisi yang tidak fair itu—disengaja atau tidak.