25 June 2009

Capres "Idaman" Warga Minoritas

Menjadi kelompok minoritas di manapun tidaklah nyaman. Etnis Cina di Indonesia, tahu betul apa artinya menjadi warga minoritas. Begitupun umat non muslim di republik ini paham sungguh apa artinya menjadi bagian “marginal” dari sebuah kelompok masyarakat.

Ironisnya, jika kita periksa halaman kitab undang-undang, maka semua hak dasar politik mereka umumnya sudah tercantum di sana. Artinya, secara konstitusional hak mereka sebetulnya dijamin oleh negara, tetapi kalau sudah masuk ke ranah publik, barulah akan kita temukan kejanggalan dan perbedaan perlakuan terhadap mereka. Dan itulah arti sebenar-benarnya dari menjadi “minoritas”.

Praktek-praktek diskriminatif itu niscaya masih akan berlangsung lama (berkacalah pada pengalaman Amerika Serikat), tetapi mungkin situasinya bisa sedikit diminimalkan dengan kehadiran seorang pemimpin yang berani mengambil sikap tidak berat sebelah kepada segenap warganya.

Peluang mendapatkan pemimpin yang seperti itu bukannya tak ada. Ajang Pemilu pasca Orde Baru memberi kesempatan bagi kelompok minoritas untuk memilih sendiri calon pemimpin yang nantinya diharapkan berani bertindak “netral” kepada setiap warga negara. Maka bagi kelompok ini, seorang calon pemimpin tidak cukup hanya “pandai” dan “berkharisma” doang. Di atas semuanya, sang calon pemimpin kudu bisa menjamin kenyamanan plus keamanan hidup mereka kelak.

Soalnya kemudian, dari antara tiga pasang calon presiden (dan wakilnya) yang kini berlaga dalam Pilpres 2009 ini, adakah kira-kira calon yang “cocok” dengan kriteria seperti dikehendaki kelompok “minoritas” itu? Mestinya ada. Dan warga minoritas—dengan bekal pengalaman mereka “hidup tertindas” bertahun-tahun—sekarang mustinya memiliki insting plus untuk sanggup “membaca” isi jeroan ketiga pasang calon presiden dan wakilnya itu.

Mestinya mereka tidak akan gampang-gampang lagi dikibuli, atau ditakut-takuti, untuk beralih pilihan begitu saja pada calon lain yang disodor-sodorkan kepada mereka. Mereka mestinya juga paham siapa dari ketiga pasang calon pemimpin itu yang hanya sekadar “berjualan”, dan mana yang sungguh berkomitmen pada nasib warga minoritas.

24 June 2009

Betulkah LSI Bagian dari "Konspirasi"?

Berita Terkait – Sumber Kompas.Com

Peneliti senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Saiful Mujani tampaknya tersinggung dengan tuduhan anggota Timkamnas Mega-Prabowo, Maruarar Sirait, yang mencurigai lembaga survei menjadi bagian dari desain besar melegitimasi pemilu satu putaran. Saiful dan Ara sempat saling bersitegang dan berdiri dengan tatapan tajam satu sama lain.

Saiful dengan tegas mengatakan, hasil survei tak bisa disalahkan. Apalagi, menuduh lembaga survei menjadi bagian dari konspirasi tersebut. "Tim sukses itu seharusnya membicarakan apa yang akan dilakukan dengan hasil survei. Tidak perlu mencari kambing hitam, mengatakan lembaga survei memobilisasi pemilih. Jangan terlalu keras bahwa survei ini bagian dari desain," kata mantan Direktur LSI ini.

Mendengar tanggapan ini, Maruarar—yang biasa disapa Ara, langsung menyahut, "Anda tanpa sadar dijadikan bagian dari kecurangan. Dalam film itu ada sutradara, aktor," ujarnya.

"Itu hanya spekulasi kalau menuduh survei bagian dari konspirasi kecurangan pemilu. Bahaya sekali kalau banyak orang seperti Ara di negeri ini," timpalnya.
Ketegangan antarkeduanya ditengahi oleh moderator, Burhanuddin Muhtadi, yang juga peneliti senior LSI. Saiful juga menegaskan, hasil survei hanya merupakan potret opini publik.

Sementara Ara tetap berkeyakinan ada desain seperti yang disangkakannya. "Suatu saat pasti terungkap," kata politisi PDI Perjuangan ini.


Semacam Komentar

Tuduhan adanya “konspirasi” pada Pemilu 2009 makin santer terdengar hari-hari ini. Megawati misalnya, beberapa kali dengan terang-terangan di depan umum mengeluarkan statemen yang menuduh adanya rekayasa sistematis pada Pemilu ini kali ini untuk memenangkan kelompok tertentu.

Pada saat diundang dalam acara Kick Andy di Metro TV, ia dengan santai dan yakinnya mengatakan bahwa hasil Pemilu Legislatif kemarin (yang memenangkan Partai Demokrat dan mempecundangi sejumlah parpol besar, termasuk PDIP di dalamnya), sebagai “bukti tak terbantah dari adanya rekayasa kecurangan itu”.

Sebagai catatan, hasil Pemilu Legislatif 9 April 2009 itu nyatanya memang “sesuai” dengan “ramalan” yang dikeluarkan Lembaga Survey Indonesia hanya beberapa hari saja sebelum saat pencontrengan. Tapi apakah ini sungguh “fakta” yang lantas bisa diajukan sebagai bukti adanya kecurangan? Mestinya tidak semudah itu. Bagaimana kalau "kesesuaian" itu kelak terbukti semata-mata terjadi karena sahihnya metodologi yang diterapkan?

Saya hedak bilang, Megawati sebagai seorang pimpinan organisasi politik besar (dengan jumlah massa pengikut yang juga besar) tidakkah sebaiknya lebih bisa menahan diri dalam mengeluarkan pernyataan politiknya--sebelum segala sesuatunya bisa terang benderang dibuktikan. Sebab implikasinya bisa sangat tak terduga.

Maka saya pun jadi bertanya-tanya, jika nanti dalam Pilpres ternyata Megawati kalah lagi, bisakah ia menerima kenyataan itu. Atau seperti tokoh oposisi di Iran yang kalah tanding kemarin, malah berbalik menebar hasutan yang menyebabkan terbitnya kerusuhan besar. Saya berharap ketakutan ini hanya halusinasi saya belaka.

23 June 2009

Pilpres Satu Putaran : Mengapa Ribut?

Apakah keliru kalau Pilpres bisa selesai dalam satu putaran saja? Jawab : tentu saja tidak ada yang salah. Apa yang disuarakan dalam iklan “Pilpres Satu Putaran” sudah benar belaka : pengiritan duit sebanyak trilyunan adalah salah satu alasan pembenarnya. Jadi mengapa ada yang merasa perlu meributkannya?

Jika konsisten dengan slogan “pro rakyat” mengapa harus menolak “satu putaran”? Apakah dikira “wong cilik” tidak bisa bosen bolak-balik mencontreng? Begitu pun jika benar “lebih cepat lebih baik” adalah slogan yang dijadikan modal kampanye, mengapa pula musti meradang dengan tawaran iklan “satu putaran”? Mengapa jadi tidak konsisten?

Ah, kita sebetulnya sudah paham sepahamnya mengapa ada penolakan itu. Kelompok yang rame berteriak menghujat iklan “satu putaran” sejak awalnya memang tidak teramat yakin bisa meraup hasil baik dalam Pilpres ini. Mereka sudah berhitung cermat bahwa sangat mungkin mereka bahkan bisa langsung rontok di putaran pertama.

Mereka menaruh harapan besar akan bisa memukul balik di putaran kedua lewat jalan “keroyokan” alias koalisi. Karena itulah segala macam skenario dan wacana yang mengarah pada “pemilu satu putaran” membuat mereka kebakaran jenggot.

Tentu saja dalam penolakannya mereka mencoba terlihat ‘‘reasonable”. Misalnya dengan berulangkali menyebut-nyebut keberadaan sang lembaga survey pembuat iklan yang dianggap “tidak netral” karena faktanya memang mereka didanai salah satu capres.

Tapi omong-omong, betulkah iklan “satu putaran” itu menyesatkan dan membohi khalayak? Jawabannya berupa pertanyaan balik : betul begitu gampangkah rakyat kini dibodohi? Saya kira kita sepakat, pemilih sekarang sudah lebih cerdas (dan bebas) untuk memutuskan sendiri memilih yang mana—dengan atau tanpa arahan iklan “satu putaran” itu.

Tapi, mungkin yang paling benar, kalau tak sreg dengan iklan “satu putaran”, ya buatlah juga iklan tandingan yang isinya, umpamanya, Pilpres yang “ideal” seharusnya dua putaran, supaya lebih banyak duit yang beredar, lebih banyak pihak yang dibikin senang, supaya rakyat lebih matang lagi memilihnya.

(Dan supaya kalau ternyata “keok” juga, tidak usah lagi ribut seperti kemarin, menuduh dan menyalah-nyalahkan pihak lain bermain curang).

18 June 2009

Debat Capres : Mungkinkah Menarik?

Dari tiga pasang capres yang kini sedang berlaga, JK adalah calon presiden yang bisa tampil paling “santai” dan luwes. Sementara SBY selalu tampil percaya diri, hanya saja kelihatan agak “ngeden”. Sedang Mbak M adalah yang paling “culun” dari tiga pasangan itu, meskipun belakangan ia sudah bisa tampil lebih mendingan dibanding sebelum-sebelumnya.

Kalau mengenai cawapresnya, Mas Bowo adalah calon yang paling bisa tampil menggigit (tidakkah seharusnya ia betukar posisi dengan Mbak M?). Wiranto cenderung datar dan menjemukan. Sementara Boediono sejauh ini terlihat sebagai sosok yang paling terlihat “lugu”.Maklumlah, beliau memang masih pendatang baru di panggung politik, yang sarat dengan sandiwara dan kepura-puraan itu.

Bagaimana jadinya kalau mereka diadu dalam sebuah forum debat terbuka?

Jika terjadi sebuah perdebatan terbuka antara para capres itu, Mbak M mungkin yang akan paling “menderita” nantinya. Sebaliknya akan sangat menarik melihat bagaimana SBY “beradu mulut” dengan JK. Bukankah selama ini mereka sejatinya memang saling berseteru? Mereka saling klaim “paling jago” dan “paling berjasa”, maka dari pada hanya berbalas sindir dari kejauhan, bukankah lebih elok apabila mereka dipertemukan saja di atas sebuah panggung terbuka.

Bagaimana dengan para cawapres? Saya kira akan terjadi “pertarungan hidup mati” antara Mas Bowo melawan Boediono. Yang disebut pertama, dengan semangat tarung seorang prajurit para komando tulen, akan berusaha “menguliti” si “anak sekolahan” Boediono. Ya, tentu saja mereka akan bertarung antara lain di seputar keberadaan mahluk ajaib yang disebut “neolib” dan “ekonomi kerakyatan”.

Entah mengapa saya tak teramat yakin “si anak sekolah” akan bisa menjinakkan kebringasan Mas Bowo, yang pasti sudah bersiap dengan segepok “bukti kebohongan” dari apa yang disebutnya “rejim neolib”. Bukan karena kurang dalam ilmunya, hanya saja saya meragukan kepintarannya beradu kata. (Saya beranda-andai, mungkin seorang Sri Mulyani akan lebih cocok “meladeni” Mas Bowo).

Di mana posisi Wiranto dalam debat ini? Wiranto rasanya cukup tahu diri bahwa ia tak ungkulan melawan dua pesaingnya, maka ia akan mencoba mencari posisi aman. Ia akan cenderung “duduk manis” sementara Mas Bowo dan Boediono “berdarah-darah”, dan baru akan berusaha “masuk menggebuk” apabila terbuka peluang. Ya, ia bakal memainkan strategi “hit and run”, atau “petak umpet”—sebagaimana memang begitu ia selama ini kita kenal?

Tapi mungkinkah sebuah debat terbuka seperti dibayangkan di atas bakal terjadi? Saya tak yakin. Sebab kita, atau lebih tepat, para calon pemimpin itu belum mempunyai cukup kearifan (dan keberanian) untuk mengakui kekalahan dan kemenangan pihak lain seandainya mereka kalah dalam debat itu. Kekalahan capres (atau cawapres) tertentu sangat bisa jadi akan dipahami sebagai sebuah “penistaan” yang harus “dilunasi”. Repot. Kemampuan berdemokrasi kita memang baru sampai di situ.

Maka demi kemaslahatan orang ramai, debat terbuka seperti dibayangkan di atas, pastilah belum bakal terjadi pada pemilu kali ini. KPU dan pihak lain yang berotoritas akan mengawal “debat” itu menjadi hanya sebuah “silahturami” yang resmi dan sekaligus hambar. Sekali lagi ini demi kemaslahatan orang banyak. Harap maklum.

(Artikel ini saya rampungkan tadi siang. Malam ini saya nonton acara “debat capres” di layar kaca, dan saya kira yang terjadi tadi memang bukan sebuah perdebatan).

17 June 2009

Menghitung Peluang Mas Bowo

Jika pertanyaan seputar “peluang Mas Bowo dalam Pilpres” ini diajukan setengah tahun yang lalu, kita akan dengan gampang menjawabnya. Peluangnya bahkan mungkin terhitung yang paling “kecil” dibanding calon-calon presiden lainnya ketika itu. Tapi hanya dalam hitungan bulan saja, Mas Bowo membuat situasinya jadi berubah.

Mas Bowo membuktikan bahwa ia cukup pintar “berjualan”. Iklan-iklan politiknya sejauh ini dianggap yang paling “menjual”. Dibandingkan dengan iklan pesaingnya, iklan-iklan Mas Bowo memang beda : tampak “cerdas” dan “menggoda”. Selain jualan citra lewat iklan, ia pun sukses menggalang konsolidasi ke dalam.

Ia, misalnya kita tahu, sudah lama berkiprah di organisasi-organisasi “grass root” seperti himpunan tani, nelayan, pedagang tradisional dan sejenisnya. Artinya Mas Bowo punya jaringan luas (dan mungkin solid) juga ke lapis bawah. Singkat kata, ia telah berhasil meyakinkan lawan-lawannya bahwa ia calon yang kudu diperhitungkan serius. Dan hasil kerja kerasnya memang langsung teruji dalam Pemilu legislatif yang lalu : barang jualannya nerobos masuk “Top 10 Sales”.

Hanya saja ia mesti mengoreksi ambisinya (sementara ?) menjadi hanya “orang kedua” saja, sebab hasil kongko politiknya dengan Mbak M mentoknya ya di situ. Mbak M sendiri tadinya sudah dianggap calon “pasti kalah” (begitulah hasil jajak pendapat sejauh ini), tapi “perkawinan politik”nya dengan Mas Bowo (yang “smart” dan ide-idenya “menggugah” itu), menjadikan situasinya berubah. Mas Bowo berhasil mendongkrak nilai jual Mbak M.

Jika ada hal yang dianggap bisa menjegal laju keduanya, maka itu adalah urusan lama yang selama ini menjerat Mas Bowo--itulah urusan pelanggaran HAM, termasuk di dalamnya juga desas-desus yang menyangkutkannya dengan Tragedi Mei 1998, yang sampai kini masih penuh asap dan kalibut.

Saya tanyakan hal ini kepada seorang kawan. Kata kawan saya, soal masa lalu Mas Bowo (yang konon “kelam” ) itu hanya diketahui terbatas oleh masyarakat perkotaan, mungkin malah hanya oleh sebagian penduduk Jakarta saja.. Mayoritas pemilih lain sepertinya tak tahu, atau kalau pun tahu kayaknya tak begitu ambil pusing dengan masalah ini. Jangan lupa juga, kata sang kawan, orang Indonesia punya bakat hebat dalam urusan melupakan (dan memaafkan) dosa-dosa masa lampau.

Tapi ada satu hal yang harus juga dimasukkan sebagai variabel jika kita mau menghitung lebih cermat peluang Mas Bowo. Jika bagi sebagian pemilih performa Mas Bowo dianggap sangat “menjanjikan”, maka bagi pemilih yang lain mungkin saja gaya “kampanye galak” yang ditampilkannya membuat mereka “ngeri” untuk memilihnya.

Kelompok pemilih “konservatif” ini akan cenderung merapatkan barisan dan malahan mendekat kepada calon lain yang penampilannya lebih “ramah”. (Apalagi Mbak M, pasangannya, dan ini variabel penting lain yang tidak bisa dilewatkan, bukankah dulu sudah pernah “dicoba”, tanya mereka, tapi hasilnya tidak bagus?).

Jadi, seberapa besarkah sebetulnya peluang Mas Bowo (dan Mbak M)? Silakan anda kalkulasi sendiri.

15 June 2009

David Carradine, Pendekar yang "Filosof"

Aktor David Carradine, yang ditemukan meninggal di sebuah kamar hotel di Bangkok Thailand dua pekan lalu, adalah sosok yang secara tidak langsung ikut berperan dalam suksesnya aktor kungfu legendaris Bruce Lee. Konon kabarnya mendiang Bruce Lee sangat mendambakan peran tokoh Kwai Chang Caine dalam film serial TV Kung Fu, yang dirilis di awal 1970-an. Tapi sebagaimana kita tahu peranan itu jatuh ke tangan David .

Kejadian itulah kabarnya yang memicu dan mendorong Bruce Lee untuk akhirnya hengkang dan mengadu nasib di Hongkong. Di sana ia berkolaborasi dengan Raymond Chow, juragan studio film Golden Harvest. Dari kolaborasi itulah kemudian lahir film The Big Bos yang dalam sekejab pan mata saja berhasil menggoyang jagat perfilman laga Asia. Cerita selanjutnya, kita tahu, adalah sejarah.

Sebelum Kung Fu, David Carradine telah datang pada saya lewat sebuah film cowboy TV, Shane. Itulah film cowboy yang menurut saya rada ganjil. Berbeda dengan tokoh cowboy pada umumnya, yang lebih mendahulukan aksi-aksi cepat dan lugas, sosok cowboy Shane yang dihantarkan David Carradine tampil dengan gaya yang kelihatan “lemes”, banyak merenungnya, dan setempo terlihat juga ragu-ragu.

Namun ternyata gaya “klamar-klemer” itu kelak menjadi “merk dagang” yang terus dijaganya. Dalam Kung Fu, tokoh Kwai Chang Caine juga tidak hadir sebagai sosok pendekar yang berangasan dan gemar main kepruk lawan pada kesempatan pertama. Sebaliknya ia adalah figur yang, seperti Shane, lebih sering berpikir filosofis, ketimbang mendahulukan pertimbangan dan aksi fisik.

Tak bisa tidak, David Carradine adalah sebuah ikon film (laga) yang penting. Ia punya “style” sendiri yang tak tersamai bintang lain--meskipun belum bisa disejajarkan dengan ikon-ikon besar Hollywood seperti Marlon Brando, Jack Nicholson, Al Pacino. Juga namanya masih kalah bersinar kalau dibanding dengan “pecundang”nya, mendiang Bruce Lee yang dikalahkannya dalam seleksi film Kung Fu.

Kini kedua “seteru” itu sama telah tiada. Aneh tapi nyata, seperti Bruce Lee dulu, kini kematian David Carradine pun mewariskan teka-teki kepada penggemar-penggemarnya.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...