Dari tiga pasang capres yang kini sedang berlaga, JK adalah calon presiden yang bisa tampil paling “santai” dan luwes. Sementara SBY selalu tampil percaya diri, hanya saja kelihatan agak “ngeden”. Sedang Mbak M adalah yang paling “culun” dari tiga pasangan itu, meskipun belakangan ia sudah bisa tampil lebih mendingan dibanding sebelum-sebelumnya.
Kalau mengenai cawapresnya, Mas Bowo adalah calon yang paling bisa tampil menggigit (tidakkah seharusnya ia betukar posisi dengan Mbak M?). Wiranto cenderung datar dan menjemukan. Sementara Boediono sejauh ini terlihat sebagai sosok yang paling terlihat “lugu”.Maklumlah, beliau memang masih pendatang baru di panggung politik, yang sarat dengan sandiwara dan kepura-puraan itu.
Bagaimana jadinya kalau mereka diadu dalam sebuah forum debat terbuka?
Jika terjadi sebuah perdebatan terbuka antara para capres itu, Mbak M mungkin yang akan paling “menderita” nantinya. Sebaliknya akan sangat menarik melihat bagaimana SBY “beradu mulut” dengan JK. Bukankah selama ini mereka sejatinya memang saling berseteru? Mereka saling klaim “paling jago” dan “paling berjasa”, maka dari pada hanya berbalas sindir dari kejauhan, bukankah lebih elok apabila mereka dipertemukan saja di atas sebuah panggung terbuka.
Bagaimana dengan para cawapres? Saya kira akan terjadi “pertarungan hidup mati” antara Mas Bowo melawan Boediono. Yang disebut pertama, dengan semangat tarung seorang prajurit para komando tulen, akan berusaha “menguliti” si “anak sekolahan” Boediono. Ya, tentu saja mereka akan bertarung antara lain di seputar keberadaan mahluk ajaib yang disebut “neolib” dan “ekonomi kerakyatan”.
Entah mengapa saya tak teramat yakin “si anak sekolah” akan bisa menjinakkan kebringasan Mas Bowo, yang pasti sudah bersiap dengan segepok “bukti kebohongan” dari apa yang disebutnya “rejim neolib”. Bukan karena kurang dalam ilmunya, hanya saja saya meragukan kepintarannya beradu kata. (Saya beranda-andai, mungkin seorang Sri Mulyani akan lebih cocok “meladeni” Mas Bowo).
Di mana posisi Wiranto dalam debat ini? Wiranto rasanya cukup tahu diri bahwa ia tak ungkulan melawan dua pesaingnya, maka ia akan mencoba mencari posisi aman. Ia akan cenderung “duduk manis” sementara Mas Bowo dan Boediono “berdarah-darah”, dan baru akan berusaha “masuk menggebuk” apabila terbuka peluang. Ya, ia bakal memainkan strategi “hit and run”, atau “petak umpet”—sebagaimana memang begitu ia selama ini kita kenal?
Tapi mungkinkah sebuah debat terbuka seperti dibayangkan di atas bakal terjadi? Saya tak yakin. Sebab kita, atau lebih tepat, para calon pemimpin itu belum mempunyai cukup kearifan (dan keberanian) untuk mengakui kekalahan dan kemenangan pihak lain seandainya mereka kalah dalam debat itu. Kekalahan capres (atau cawapres) tertentu sangat bisa jadi akan dipahami sebagai sebuah “penistaan” yang harus “dilunasi”. Repot. Kemampuan berdemokrasi kita memang baru sampai di situ.
Maka demi kemaslahatan orang ramai, debat terbuka seperti dibayangkan di atas, pastilah belum bakal terjadi pada pemilu kali ini. KPU dan pihak lain yang berotoritas akan mengawal “debat” itu menjadi hanya sebuah “silahturami” yang resmi dan sekaligus hambar. Sekali lagi ini demi kemaslahatan orang banyak. Harap maklum.
(Artikel ini saya rampungkan tadi siang. Malam ini saya nonton acara “debat capres” di layar kaca, dan saya kira yang terjadi tadi memang bukan sebuah perdebatan).
1 comment:
pada saat kemarin saya lihat tidak menarik dan bahkan jadi ajang saling dukung
Post a Comment