01 November 2007

Sebutan "Cina" Itu ...

PAGI itu saya kembali terjebak macet. Dalam mikrolet, selain saya ada beberapa penumpang lain. Di sebelah kiri saya seorang ibu berjilbab, sebelahnya seorang yang kini tak saya ingat lagi. Sebelah kanan saya, seingat saya seorang dengan tongkrongan mahasiswa, dan di depan saya seorang lelaki, usia mungkin 40-an, bertampang keras dan rada sangar.

Mikrolet terhenti lama di pertigaan itu. Laki-laki bertampang sangar itu mengambil hapenya, lalu menelpon entah siapa, mengabarkan bahwa dia kejebak macet. Ia menjelaskan bahwa posisinya saat itu ada di depan “Sekolah Nusantara”, begitulah ia menyebut nama universitas Bina Nusantara (Binus)—sebuah perguruan tinggi swasta ternama di ibu kota, yang mengkhususkan diri pada bidang teknologi informasi.

Kembali pada laki-laki 40-an sangar itu. Orang yang ditelponnya rupanya tidak bisa langsung “ngopi” apa yang disampaikannya, sehingga si sangar itu lantas merasa perlu mengeraskan suaranya di hape dan bilang begini “…ya, betul, saya masih ada di depan sekolah Cina itu!” Kaget saya mendengarnya. Saya lirik ibu berjilbab di sebelah saya ternyata tenang saja. Mungkin tak sempat mendengar, mungkin juga itu baginya bukan hal istimewa yang perlu dipusingkan.

Sekolah Binus setahu saya memang didominasi “siswa bermata sipit”, prosentasenya mungkin di atas bilangan 90. Tapi tentu saja bukan itu yang menarik perhatian saya. Omongan si lelaki sangar itulah yang membuat saya terganggu. Ia menyebut kata “cina” dengan intonasi yang mengisyaratkan adanya kebencian yang dalam kepada apa yang disebut “cina” itu.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa hubungan antara kelompok “sipit” yang minoritas di sini dengan rekannya yang mayoritas sawo matang itu tidak harmonis. Itu terjadi pada pelbagai level dan bidang kehidupan. Di permukaan kelihatannya mereka “akur”, tapi sebetulnya tidak begitu. Peristiwa Mei 1998, umpamanya, membuktikan betapa rapuhnya tali silaturahmi antar kedua kelompok ini. Tapi apa gerangan penyebab “dendam turunan” itu?

Para pakar sepakat bahwa itu adalah warisan politik kolonial yang dengan sengaja telah mengondisikan kedua kelompok itu dalam posisi “saling bermusuhan”. Dalam urutan “kasta” yang dibuat ketika itu, kelompok “sipit”—yang notabene adalah “tamu” di tanah Boemi Poetra--diletakkan pada level yang “lebih tinggi” dari rekannya yang “sawo matang”. Kondisi tidak seimbang inilah—menurut teori itu—yang menjadi akar penyebab timbulnya rasa benci kelompok “pri” kepada “non pri”, dan sebaliknya rasa superior dari yang “non pri” kepada yang “pri”.

Jadi itukah jawabannya? Mungkin untuk sebagian, untuk konteks sejarah lokal kita, ya. Tapi mungkin ada sebab lainnya, karena kalau kita tengok di Malaysia, misalnya, yang setahu saya tidak mengalami fase “pengkastaan” seperti di sini, perseteruan antar “melayu” dan “cina” ini juga terjadi, dan dalam tingkat kegawatan yang juga besar.

Mungkinkah penyebab utamanya adalah semata karena benturan dua model kultur yang saling tak klop? Antara budaya Melayu yang “alon-alon asal ke lakon”—yang oleh pihak “non pri” lalu ditafsirkan sebagai “kemalasan”—dan budaya “si mata sipit” yang konon “hemat dan tekun”—yang celakanya kemudian ditafsirkan oleh si “pri” sebagai sebentuk “keserakahan yang ekspansif”? Entahlah, gamang saya menyentuh soal yang peka dan muskil ini.

2 comments:

geka said...

Gambaran lain yang salah ; warga Tionghoa dianggap selalu golongan "yang mampu", padahal kalau mau jujur, tidak semua Tionghoa itu kaya, ada juga lho yang miskin.
Nah ke-iri-an itu biasanya timbul dari masyarakat (pribumi) yang memang kekurangan.
Tapi kehidupan damai & saling menghargai sebenarnya masih ada dan biasanya ada didalam masyarakat yang berpendidikan.
Jadi anggap saja "pria sangar" itu memang tidak berpendidikan dan mohon dimaklumi.

Anonymous said...

Justru saya melihat pada kelompok yg "terdidik" dan "kaya" pun sentimen itu ada--hanya saja bentuk ekspresinya lebih halus.

Tapi saya juga tak menutup kenyataan bahwa dari yang "non pri" pun sering muncul perilaku aneh-aneh yang tambah memancing kekeruhan.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...