WACANA bahwa acara seperti sinetron di TV telah dipakai sebagai alat untuk membodohkan bangsa ini beberapa kali saya dengar dalam acara Newsdotcom di Metro TV. Pola pembodohannya cukup canggih dan terkesan “ilmiah”. Melibatkan juga antara lain lembaga rating yang secara kontinyu mengabari kita bahwa tontonan-tontonan “sampah” seperti sinetron itulah yang ternyata menjadi suguhan yang “paling dicari” penonton.
Dengan modal rekomendasi lembaga rating itulah kemudian pihak stasiun televisi menyusun program acaranya. Lha karena sinetron adalah item yang paling “recommended”, maka banjirlah televisi kita dengan suguhan sinetron kelas “sampah” itu. Kalau kita komplein soal ini pihak televisi selalu berkilah bahwa mereka hanya bekerja mengikuti “selera pasar” yang tercermin dari hasil rating itu.
Jadi pertanyaan besarnya adalah sungguh sahihkah hasil rating itu sehingga pihak stasiun televisi harus patuh menyembahnya, dan kita pun terpaksa pula percaya bahwa kualitas intelektual penonton televisi kita sebegitu parahnya? Lebih krusial lagi adalah menjawab “apa” atau “siapa” gerangan berdiri di belakang lembaga rating yang kita sembah-sembah itu. Jangan-jangan lembaga-lembaga itu memang tidak pantas dipercaya.
Sebagai wacana, kecurigaan bahwa hasil rating itu semata akal-akalan yang pada gilirannya dimanfaatkan sebagai jembatan untuk tambah menyengsarakan bangsa ini lewat kebodohan-kebodohannya layak dicermati. Tapi haruslah wacana itu didukung hasil survey yang juga valid supaya tidak jatuh menjadi gosip yang lain lagi. Belajarlah menuduh dengan cerdas.
Saya teringat pada statemen sarkastik Syumanjaya (alm) sewaktu mengomentari situasi perfilman nasional dekade 80-an yang saat itu dibanjiri film-film “sampah” semodel “Nyi Blorong cs”. Film-film seperti itu, katanya, adalah film-film bodoh, dibuat oleh orang-orang bodoh, untuk orang-orang bodoh. Jadi, film-film “sampah”, sinetron-sinetron “tolol” ternyata memang selalu punya basis dan pendukungnya dari masa ke masa.
Hanya seberapa kukuhkah keberadaan mereka sebetulnya sehingga secara signifikan sanggup membentuk panorama televisi kita menjadi seperti sekarang, itulah pertanyaan yang masih harus dicari jawabnya. Untuk tujuan itu, memang kita tidak diharuskan percaya pada lembaga rating “anu” yang selama ini banyak dipertanyakan kebenaran hasil ratingnya itu..
Dengan modal rekomendasi lembaga rating itulah kemudian pihak stasiun televisi menyusun program acaranya. Lha karena sinetron adalah item yang paling “recommended”, maka banjirlah televisi kita dengan suguhan sinetron kelas “sampah” itu. Kalau kita komplein soal ini pihak televisi selalu berkilah bahwa mereka hanya bekerja mengikuti “selera pasar” yang tercermin dari hasil rating itu.
Jadi pertanyaan besarnya adalah sungguh sahihkah hasil rating itu sehingga pihak stasiun televisi harus patuh menyembahnya, dan kita pun terpaksa pula percaya bahwa kualitas intelektual penonton televisi kita sebegitu parahnya? Lebih krusial lagi adalah menjawab “apa” atau “siapa” gerangan berdiri di belakang lembaga rating yang kita sembah-sembah itu. Jangan-jangan lembaga-lembaga itu memang tidak pantas dipercaya.
Sebagai wacana, kecurigaan bahwa hasil rating itu semata akal-akalan yang pada gilirannya dimanfaatkan sebagai jembatan untuk tambah menyengsarakan bangsa ini lewat kebodohan-kebodohannya layak dicermati. Tapi haruslah wacana itu didukung hasil survey yang juga valid supaya tidak jatuh menjadi gosip yang lain lagi. Belajarlah menuduh dengan cerdas.
Saya teringat pada statemen sarkastik Syumanjaya (alm) sewaktu mengomentari situasi perfilman nasional dekade 80-an yang saat itu dibanjiri film-film “sampah” semodel “Nyi Blorong cs”. Film-film seperti itu, katanya, adalah film-film bodoh, dibuat oleh orang-orang bodoh, untuk orang-orang bodoh. Jadi, film-film “sampah”, sinetron-sinetron “tolol” ternyata memang selalu punya basis dan pendukungnya dari masa ke masa.
Hanya seberapa kukuhkah keberadaan mereka sebetulnya sehingga secara signifikan sanggup membentuk panorama televisi kita menjadi seperti sekarang, itulah pertanyaan yang masih harus dicari jawabnya. Untuk tujuan itu, memang kita tidak diharuskan percaya pada lembaga rating “anu” yang selama ini banyak dipertanyakan kebenaran hasil ratingnya itu..
4 comments:
emank sinetron tuh kopong..
Settujuuuuuuu....
Saya mah curiganya sinetron itu secara terselubung sebenarnya usaha para produser india untuk menanamkan image bahwa orang yang disebut cantik/atau ganteng itu harus yang bentuknya mirip mereka.... mancung, lentik dll.
Semakin kesini saya liat ceritanya juga makin gak jelas dan murahan...
satu lagi... PLAGIAT, gak banyak dari sinetron kita yang idenya orisinil...
heran, penulis cerita kita udah gak punya otak apa ya?
Bung Ook,
Aku setuju dengan adanya pendapat bahwa untuk memajukan perfileman Indonesia, termasik sinetron perlu dimulai dengan memperbaiki kwalitas. Film yang kwalitasnya baik bisa dibawa ke festival film tingkat internasional. Di situlah kita dipandang.
Film yang kwalitasnya baik tidak dengan sendirinya memerlukan biaya mahal. Banyak film Cina dan Hong Hong yang berhasil masuk ke dunia internasional bukan karena mahalnya biaya produksi tetapi kwalitasnya yang bagus. Sebutlah Xiu Xiu: The Sent-Down Girl yang menampilkan seorang gadis lugu korban Revolusi Budaya di Cina.
Banyak peristiwa dan faktor pendukung lain di Indonesia yang mestinya bisa didaya-gunakan untuk memproduksi film berkwalitas, seperti dari sejarah Indonesia yang penuh dengan konflik dan menyentuh naluri manusia sampai dengan sumber daya manusia yang tidak mahal.
Pertanyaanya adakah insan perfileman yang idealis, cerdas dan didukung oleh pengusaha yang peduli terhadap Indonesia? Jadi seperti yang Bung Ook maksudkan, jangan mudah termakan oleh lembaga rating ini-anu.
Sebetulnya kalau untuk film, prestasi kita saat ini tidak jeblok-jeblok amat sih. Setidaknya kita punya nama2 seperti Garin Nugroho, Slamet Raharjo--di samping sejumlah nama lain yg masih perlu membuktikan diri.
Hanya masalahnya nama-nama itu seperti terkubur dalam lautan sampah film-film "bloon"--yang diback-up cukong2 kaya yang berkepentingan pada eksisnya budaya sampah itu. Syusah deh ...
Post a Comment