MARILAH untuk
sebentar kita merenungkan kata yang satu ini, “terlambat”. Ini kata yang
mungkin teramat akrab dengan kita, karena kita begitu sering melakonkannya, atau
terpaksa melakoninya, ya situasi “terlambat” itu. Kita sering terlambat bangun
pagi, misalnya, kita sering terlambat berangkat kerja, kita suka terlambat
makan siang, atau kita mungkin terlambat gajian bulan ini, dan begitu banyak
lagi contoh.
Kita begitu akrab
dengan situasi “terlambat”, karena begitu kerapnya itu terjadi, entah karena penyebabnya
datang dari luar, atau karena penyebab “terlambat” itu kita buat sendiri. Kemudian
kita mungkin jadi agak meremehkan situasi “terlambat” itu, menganggapnya
“biasa”, menyebutnya “manusiawi”. Maka kita lalu mengenal ungkapan klise “lebih
baik terlambat daripada tidak samasekali”, bukan?
Tapi di sini kita
agaknya keliru. Kita kerap mengira tidak mengapa “terlambat”, karena nanti akan
ada kesempatan berikutnya. Padahal kesempatan berikutnya, atau kesempatan kedua
itu, nyatanya, tidak selalu datang. Apa boleh buat begitulah memang faktanya.
Fakta lain yang
sepertinya juga keliru kita pahami adalah bahwa tidak semua hal dalam hidup ini
bisa menunggu. Sejumlah hal ternyata harus kita lakukan “segera”: Segera begitu
kesempatan untuk melakukannya terbuka. Dengan alasan apa pun, sebaiknya itu
jangan ditunda. Beberapa hal yang musti
“segera” dilakukan itu ternyata sebetulnya “remeh”, ternyata begitu “sederhana”:
memberi pujian kepada masakan istri, membalas pelukannya setelah pertengkaran
semalam, atau memberi maaf kepada kesalahan anak kita ...
Aih, semogalah kita
tidak “terlambat” menggenapkan hal-hal “remeh” dan “sederhana” itu, atau ia
akan menjadi penyesalan teramat panjang.