KEMATIAN terasa bagaikan dongeng, tak nyata, sepertinya tak betul-betul ada. Seperti membaca kabar di halaman koran, jauh dan setempo terasa meragukan. Atau paling banter seperti ketika mendengar tetangga bicara si anu suaminya si itu meninggal kemarin sore ketabrak bis. Itulah yang saya rasakan tentang kematian sampai umur 20—sampai sesuatu kemudian mengubah segalanya.
Ketika kanker ganas menggerogoti tubuh ringkih ayah saya hampir 30 tahun yang lalu, ketika dokter bahkan sudah angkat tangan, ketika tanda-tanda ke arah “keberangkatan” itu menjadi semakin jelas, tetap saja kematian tak mengusik saya. Maut hanya kabar yang saya baca di koran, atau saya tonton di televisi, atau saya dengar dari mulut tetangga sambil lalu—tapi bukan kejadian nyata di rumah saya. Memang, belum pernah ada seorang yang meninggal di rumah kami hingga saat itu.
Maka ketika hari itu pun tiba, saya baru tahu apa artinya kematian. Ketika jasad kaku dan dingin ayah saya digotong beramai ke dipan di ruang depan, saya sempat memandang wajahnya, dan pada momen itu saya teringat kalimat seorang tokoh dalam novel Yukio Mishima, Kuil Kencana. Wajah si mati adalah sebuah liang, tapi tanpa dasar—tak ada warta apa pun yang bisa kita dengar dari kedalaman tak terukur itu.
Ada orang yang suka mengibaratkan kematian dengan sebuah tidur yang panjang, tapi kalau kita sempat menyaksikan dari dekat wajah kosong si mati, kita akan tahu betapa bedanya tidur dan mati.
Jarak dan kekekalan—barangkali itulah hakikat kematian. Jarak, karena dari sejak saat itu antara saya dan si mati membentang jurang yang begitu mutlak, yang tak bisa tersebrangi dengan apa pun. Kekekalan, karena sejak saat itu si mati pun menjadi tetap, kekal, abadi, tak terhapuskan dalam kenangan orang-orang yang pernah bersamanya—tak siapa pun atau apa pun bisa mengubahnya kini. Kecuali waktu.
Ketika kanker ganas menggerogoti tubuh ringkih ayah saya hampir 30 tahun yang lalu, ketika dokter bahkan sudah angkat tangan, ketika tanda-tanda ke arah “keberangkatan” itu menjadi semakin jelas, tetap saja kematian tak mengusik saya. Maut hanya kabar yang saya baca di koran, atau saya tonton di televisi, atau saya dengar dari mulut tetangga sambil lalu—tapi bukan kejadian nyata di rumah saya. Memang, belum pernah ada seorang yang meninggal di rumah kami hingga saat itu.
Maka ketika hari itu pun tiba, saya baru tahu apa artinya kematian. Ketika jasad kaku dan dingin ayah saya digotong beramai ke dipan di ruang depan, saya sempat memandang wajahnya, dan pada momen itu saya teringat kalimat seorang tokoh dalam novel Yukio Mishima, Kuil Kencana. Wajah si mati adalah sebuah liang, tapi tanpa dasar—tak ada warta apa pun yang bisa kita dengar dari kedalaman tak terukur itu.
Ada orang yang suka mengibaratkan kematian dengan sebuah tidur yang panjang, tapi kalau kita sempat menyaksikan dari dekat wajah kosong si mati, kita akan tahu betapa bedanya tidur dan mati.
Jarak dan kekekalan—barangkali itulah hakikat kematian. Jarak, karena dari sejak saat itu antara saya dan si mati membentang jurang yang begitu mutlak, yang tak bisa tersebrangi dengan apa pun. Kekekalan, karena sejak saat itu si mati pun menjadi tetap, kekal, abadi, tak terhapuskan dalam kenangan orang-orang yang pernah bersamanya—tak siapa pun atau apa pun bisa mengubahnya kini. Kecuali waktu.