INI sebuah adegan klise dari sebuah film yang sudah saya lupa judulnya : cewek pelayan restoran itu menumpahkan kuah sayuran ke pangkuan seorang tamu yang sedang asyik santap. Dengan gelagapan, sang pelayan menghiba-hiba memohon maaf. Bosnya ikut-ikutan juga menyemprotnya. Dan mungkin karena kebetulan tamu itu “orang penting”, seorang pelanggan VIP di restoran itu, ia bukan hanya menyemprot, tapi bahkan memecatnya sekalian.
Sesudah ribut-ribut reda si cewek pergi ke pojokan, meratapi nasib apesnya. Seorang konco baiknya lalu mendatanginya dan menasihatinya begini :“Tentang kejadian tadi, begini saja, coba kau pikirlah dengan tenang, 100 tahun lagi siapa masih peduli semua itu. Ok!” Nasihat itu sederhana, simpel, tapi menurut saya bagus, dan manjur. Saya pun sering mempraktikannya saat merasa kepepet. Tidak susah kok, hanya mengatakan kepada diri sendiri “100 tahun lagi siapa masih peduli dengan ini”. Tapi lakukanlah dengan takzim dan sungguh-sungguh.
Jadi kalau anda saat ini, misalnya, tengah merencanakan sebuah kehebohan, katakanlah tindak korupsi gede-gedean, atau jenis kejahatan lainnya, dan anda diusik ragu, segera katakan pada diri anda (dengan takzim tentu), “Lakukan saja, 100 tahun lagi siapa sih masih peduli soal ini”. Percayalah, bahkan tak usah menunggu 100 tahun, selewatnya 5 atau 10 tahun pun orang di sini sudah pada lupa bahwa anda pernah jadi bajingan.
Apalagi kalau anda sering nongol di televisi, memakai kopiah putih dan berbaju koko. Lantas rajin pula menyambangi dan menyumbangi tempat-tempat ibadah atau orang susah, membagi-bagi nasi bungkus sembari memamerkan senyum Yudas. Bangsa ini sungguh adalah bangsa yang pemurah, penuh dengan tenggang rasa dan toleran—sering toleran untuk hal-hal yang jelas-jelas ngawur. Begitu pemurahnya sampai kadang ketelingsut menjadi, maaf. murahan.
Sesudah ribut-ribut reda si cewek pergi ke pojokan, meratapi nasib apesnya. Seorang konco baiknya lalu mendatanginya dan menasihatinya begini :“Tentang kejadian tadi, begini saja, coba kau pikirlah dengan tenang, 100 tahun lagi siapa masih peduli semua itu. Ok!” Nasihat itu sederhana, simpel, tapi menurut saya bagus, dan manjur. Saya pun sering mempraktikannya saat merasa kepepet. Tidak susah kok, hanya mengatakan kepada diri sendiri “100 tahun lagi siapa masih peduli dengan ini”. Tapi lakukanlah dengan takzim dan sungguh-sungguh.
Jadi kalau anda saat ini, misalnya, tengah merencanakan sebuah kehebohan, katakanlah tindak korupsi gede-gedean, atau jenis kejahatan lainnya, dan anda diusik ragu, segera katakan pada diri anda (dengan takzim tentu), “Lakukan saja, 100 tahun lagi siapa sih masih peduli soal ini”. Percayalah, bahkan tak usah menunggu 100 tahun, selewatnya 5 atau 10 tahun pun orang di sini sudah pada lupa bahwa anda pernah jadi bajingan.
Apalagi kalau anda sering nongol di televisi, memakai kopiah putih dan berbaju koko. Lantas rajin pula menyambangi dan menyumbangi tempat-tempat ibadah atau orang susah, membagi-bagi nasi bungkus sembari memamerkan senyum Yudas. Bangsa ini sungguh adalah bangsa yang pemurah, penuh dengan tenggang rasa dan toleran—sering toleran untuk hal-hal yang jelas-jelas ngawur. Begitu pemurahnya sampai kadang ketelingsut menjadi, maaf. murahan.
No comments:
Post a Comment