PERTOBATAN adalah sebuah peristiwa personal, dan momennya biasanya spesial pula. Di sana boleh saja ada semacam seremoni yang menyertai : sejumlah umat yang diminta menjadi saksi, dan petinggi agama yang bertugas “mengesahkan” pertobatan itu. Tapi seremoni itu hakikatnya hanya sebuah pelengkap liturgis yang sebetulnya bukanlah esensi dari peristiwa pertobatan itu sendiri.
Hal lain yang menandai sebuah pertobatan adalah bahwa ia datang dalam kesukarelaan. Memang ada faktor eksternal yang ikut bermain. Mungkin teman dekat, pasangan hidup, atau bisa saja seorang musuh pribadi—memainkan peran awal yang menentukan. Tapi pertobatan itu sendiri kemudian lahir dengan, atau, dalam sebuah kondisi takluk yang sukarela, serta diliputi syukur. Bukanlah pertobatan namanya kalau itu berlangsung dalam situasi penuh ketakutan, dan paksaan.
Atau jika pasal “takut” mau juga disertakan, maka “takut” di sini tentulah bukan jenis takut karena adanya ancaman beringas dari massa yang mayoritas dan, karenanya jadi suka mentang-mentang.
Bangun Sugito alias Gito Rollies punya kisah menarik seputar riwayat pertobaannya. Lama sebelum ia sungguh bertobat ia mengaku suka diusik sebuah pertanyaan “remeh”. Ia, akunya, sering heran melihat orang-orang yang berangkat ke masjid. Orang-orang itu tampak damai, mungkin juga bahagia pikirnya, melangkah berombongan, atau sendiri-sendiri, dalam diam, atau dengan senda gurau. Tapi wajah mereka, wajah mereka, katanya, mengapa nian begitu damai.
Ada apa dengan mereka, apa gerangan yang mereka temukan di masjid—begitulah sang rocker bertanya-tanya, heran, barangkali takjub.Dan itulah benih awal pertobatan sejati. Perhatikan bahwa tak ada siapa pun yang menyuruh apalagi menakut-nakutinya untuk merasa heran dan takjub. Tapi jika begitu, lantas darimana muasalnya rasa heran dan takjub itu?
Maka kita sampai pada poin terpenting dalam diskusi kecil ini. Ketika seseorang bertobat, sebetulnya yang terjadi bukanlah karena dia “berhasil” menemukan Tuhan, tetapi yang benar, Tuhanlah yang berkenan menemuiya. Tapi ini memang bukan perkara yang bisa dengan gampang diterang-jelaskan. Sebab pertobatan, seperti sudah disinggung di awal sekali, adalah sebuah peristiwa yang memang sangat sekali personal, dan spesial.
Dan karenanya ia menjadi sebuah momen yang meta-bahasa, sebuah momen di mana bahasa manusia tak bisa lagi terlalu jauh ikut campur. Dan memang, sesungguhnya di sana, pada momen itu, tiada diperlukan lagi kata-kata, dan bahasa. Seperti puisi sejati ditemukan dalam diam, dalam keheningan maha luas dan dalam—begitupun ibadah yang sebenar-benarnya.
Hal lain yang menandai sebuah pertobatan adalah bahwa ia datang dalam kesukarelaan. Memang ada faktor eksternal yang ikut bermain. Mungkin teman dekat, pasangan hidup, atau bisa saja seorang musuh pribadi—memainkan peran awal yang menentukan. Tapi pertobatan itu sendiri kemudian lahir dengan, atau, dalam sebuah kondisi takluk yang sukarela, serta diliputi syukur. Bukanlah pertobatan namanya kalau itu berlangsung dalam situasi penuh ketakutan, dan paksaan.
Atau jika pasal “takut” mau juga disertakan, maka “takut” di sini tentulah bukan jenis takut karena adanya ancaman beringas dari massa yang mayoritas dan, karenanya jadi suka mentang-mentang.
Bangun Sugito alias Gito Rollies punya kisah menarik seputar riwayat pertobaannya. Lama sebelum ia sungguh bertobat ia mengaku suka diusik sebuah pertanyaan “remeh”. Ia, akunya, sering heran melihat orang-orang yang berangkat ke masjid. Orang-orang itu tampak damai, mungkin juga bahagia pikirnya, melangkah berombongan, atau sendiri-sendiri, dalam diam, atau dengan senda gurau. Tapi wajah mereka, wajah mereka, katanya, mengapa nian begitu damai.
Ada apa dengan mereka, apa gerangan yang mereka temukan di masjid—begitulah sang rocker bertanya-tanya, heran, barangkali takjub.Dan itulah benih awal pertobatan sejati. Perhatikan bahwa tak ada siapa pun yang menyuruh apalagi menakut-nakutinya untuk merasa heran dan takjub. Tapi jika begitu, lantas darimana muasalnya rasa heran dan takjub itu?
Maka kita sampai pada poin terpenting dalam diskusi kecil ini. Ketika seseorang bertobat, sebetulnya yang terjadi bukanlah karena dia “berhasil” menemukan Tuhan, tetapi yang benar, Tuhanlah yang berkenan menemuiya. Tapi ini memang bukan perkara yang bisa dengan gampang diterang-jelaskan. Sebab pertobatan, seperti sudah disinggung di awal sekali, adalah sebuah peristiwa yang memang sangat sekali personal, dan spesial.
Dan karenanya ia menjadi sebuah momen yang meta-bahasa, sebuah momen di mana bahasa manusia tak bisa lagi terlalu jauh ikut campur. Dan memang, sesungguhnya di sana, pada momen itu, tiada diperlukan lagi kata-kata, dan bahasa. Seperti puisi sejati ditemukan dalam diam, dalam keheningan maha luas dan dalam—begitupun ibadah yang sebenar-benarnya.
No comments:
Post a Comment