26 June 2008

"Mafia Bola", Betulkah Mereka Ada?

SEORANG teman penggila bola punya teori yang bagi saya menarik seputar hasil pertandingan dalam Euro 2008, dan dalam event-event bola akbar lainnya. Ia sangat percaya bahwa di belakang segala hiruk-pikuk pertandingan di lapangan ada tangan-tangan tak kelihatan yang ikut “mengatur” hasil pertandingan. Yang dia maksud bukan “Tuhan”, atau hal-hal supra-natural seperti itu. Lantas apa? Ada “mafia” di sana, kata sang teman, haqul yakin. Boleh jadi ini bukan “barang baru” lagi, tapi saya baru tertarik menyimaknya kali ini.

Mafia bola ini, kita sebut saja begitu, berkepentingan menjaga keselamatan (baca : kesuksesan) tim-tim favorit. Jadi boleh saja terjadi kejutan di sana-sini, tim “anak bawang” negara anu misalnya melibas tim mapan negara tertentu. Tapi kejutan demi kejutan harus sudah selesai begitu perhelatan memasuki babak final. Dalam partai final, kata teori teman saya ini, harus ada wakil dari tim yang memang dikenal “jago”nya bola.

Tidak lucu kalau partai final, yang adalah puncak kejuaraan, hanya mempertemukan dua tim “gurem” yang tidak punya merek. Dalam Euro 2004, misalnya, silakan Yunani menjadi juara, yang penting pada laga final itu lawannya tim mapan dan besar. Kita tahu lawan Yunani di final saat itu adalah Portugal, sebuah tim “branded” dengan reputasi selangit.

Kepentingan bisnis (pemasukan uang dari iklan, penjualan tiket, jual beli hak siaran tv, dan lain-lain) menjadi motif utama hadirnya “mafia bola” ini, lagi kata sang teman. Jadi, katanya menyimpulkan, janganlah kita pernah bermimpi bahwa tim seperti Turki dan Rusia, bakal bertemu dalam partai final Euro 2008 Apa kata sponsor nanti? Itu sebuah “bencana” yang tak boleh terjadi. Maka salah satu kudu buru-buru “disetop”, kalau bisa malah dua-duanya.

Ketika tulisan ini dibuat, Turki sudah dipastikan tergusur, “disetop” 2-3 oleh tim bermerek keren, yaitu Jerman. Jadi skenario harus ada tim sohor dalam laga final sudah tercapai. Sehingga tidak teramat penting lagi Rusia atau Spanyol yang bakal jadi seterunya? Jadi, sungguh betul adakah “mafia bola” dalam Euro 2008 kalau begitu?

24 June 2008

Misalkan Saya Guus Hiddink

MISALKAN saya Guus Hiddink, tentu saja saya akan sangat bangga karena “anak-anak kampung Rusia” asuhan saya sanggup membikin benjol-benjol tim elit Belanda, negara tercinta tempat di mana saya dilahirkan. Anda pasti tahu, saya dibayar cukup “murah” oleh majikan Rusia saya. Hanya 23 milyar setahun jika dikonversi ke rupiah. Itu artinya, sebulannya saya hanya mengantongi duit tidak sampai 2 milyar. Jelas itu sebuah jumlah yang kecil jika dibanding reputasi besar saya selama ini. Kecil, kalau diingat juga target besar yang dibebankan di pundak saya.

Tapi saya menerima tawaran untuk melatih di Rusia karena saya, Guus Hiddink, selalu menyukai tantangan. Saya kepingin membuktikan untuk kesekian kalinya bahwa dalam sepak bola, apa yang di mata pengamat dan penonton adalah “nonsens” bisa saja diwujudkan. Sewaktu saya 6 tahun yang lalu sukses membawa tim “anak bawang” Korea Selatan ke semi final Piala Dunia, ada suara-suara tidak enak yang menyebut sukses itu bisa terjadi karena kesebelasan saya dibantu para wasit yang sudah dibayar. Saya diam-diam marah sekali ketika itu.

Lalu saya menerima tawaran melatih kesebelasan “anak bawang” lain, Australia. Obsesi saya selalu sama, kepingin membuktikan bahwa sepak bola bukanlah matematika. Anda sekalian melihat bahwa saya hampir saja kembali berhasil menggoyang dunia saat itu. Tapi permainan kotor Italia membuyarkan impian saya. Mereka menyingkirkan saya lewat penalti jahat yang dihadiahkan wasit di menit akhir pertandingan perdelapan final yang busuk itu.

Sekarang saya mengepalai serombongan “anak kampung Rusia” untuk kembali mencoba membuktikan kebenaran tesis abadi saya. Dan saya kira saya sudah boleh dianggap berhasil saat ini. Mencapai semi final Piala Eropa, dengan menghajar tim-tim hebat dan mapan Eropa, adalah pembuktian lebih lanjut dari kebenaran impian saya. Saya mohon maaf apabila saya begitu demonstratif meluapkan kegembiuraan saya sewaktu “anak-anak kampung” yang saya latih selama ini meruntuhkan salah satu mitos sepak bola Eropa, bahkan dunia, yakni Belanda, di mana saya pun selama ini ikut mengambil peran membangun mitos itu.

Perilaku saya waktu itu janganlah diartikan seolah saya sudah berlaku khianat kepada tanah air saya sendiri. Saya ulangi, saya tak suka sebutan “pengkhianat” yang dilemparkan kepada saya. Guus Hiddink selamanya orang Belanda, dan sangat mencintai Belanda. Tapi saya punya tanggung jawab profesional kepada mereka yang membayar saya, berapa pun jumlah bayarannya. Dan jangan lupa, di atas semua itu adalah obsesi abadi saya. Sepak bola, saya tandaskan sekali lagi, bukanlah matematika. Dan bukan juga agama. Jadi jangan sekali-kali membawa yang terakhir itu ke lapangan sepak bola.

Misalnya, laga semi final Turki lawan Jerman nanti, janganlah dianggap sebagai pertarungan antara kesebelasan muslim versus kesebelasan Kristen. Misalkan saya Guus Hiddink, saya akan bilang itu cara berpikir dungu, imbisil, dan menodai konsep "Fair Play" yang sangat saya junjung. Tapi karena saya hanya Guus Hiddink bohong-bohongan, saya akan bilang itu pikiran primitif yang mencoreng asas kebhinekaan yang selama ini sudah jadi komitmen bersama.

18 June 2008

Tentang Janggut, Peci, Jubah, dll

ADA kejadian lucu sewaktu tempo hari polisi meluruk ke “kandang” FPI di Tanah Abang, Jakarta. Entah karena polisinya kelewat tegang, atau ada faktor lain, mereka sempat “salah mata” dan menangkap seorang yang ternyata bukan anggota FPI. Penyebab salah tangkap itu ternyata sederhana, yaitu karena yang bersangkutan—ia mengaku hanya tukang semir sepatu—berjanggut ala anggota FPI umumnya.

Memang belakangan ini, janggut—ditambah baju koko, peci putih, dan sorban—oleh sebagian kelompok seperti dijadikan “aksesori wajib” yang harus dikenakan kalau kepingin dianggap “sungguh muslim”. Mungkinkah ini hanya sebuah tren modis yang sifatnya temporer semata, memang masih harus ditunggu dan dibuktikan.

Yang berbahaya adalah kalau kemudian keberadaan aksesoris itu dijadikan juga alat untuk mengukur tingkat kesalehan seseorang. Orang lalu terpaku pada apa yang kelihatan oleh mata lahiriah. Iman diukur dari apa yang dikenakan : jubah, peci, sorban, tasbih yang ditenteng kesana-kemari (mungkin juga jidat yang ‘kapalan’ karena seringnya bersujud?) bukan dari perilaku nyata sehari-hari yang bersangkutan.

Seorang mistikus katolik dari Spanyol, Santo Yohanes Salib, dalam bukunya yang termashur, "Malam Kelam" pernah juga menyinggung soal kegandrungan pada aksesoris fisik ini. Menurut orang suci itu, aksesoris yang dikenakan itu memang bukti adanya iman pada orang yang mengenakannya, tapi mohon maaf, yang dimaksud oleh sang santo adalah iman yang masih pada tingkatan awal, atau permulaan. Jadi kalau diumpamakan murid sekolah, ia baru siswa TK atau SD.

Sebaliknya iman yang tulen, yang sudah paten teruji, tidak lagi merisaukan (atau direpotkan) tampilan yang hanya fisikal sifatnya. Sebab memang, yang penting akhirnya “isi”nya, bukan kemasannya. Awas, kemasan memang bisa menipu, tapi “isi”, tidak.

13 June 2008

Mimpi Dua Mantan Jenderal

ENTAH apa sebetulnya yang bercokol dalam benak dua orang mantan jenderal itu. Di masa aktifnya dulu konon mereka berseteru sengit. Keduanya pun santer disebut-sebut punya kaitan dengan peristiwa dahsyat yang dikenal sebagai “kerusuhan Mei” itu, tapi seperti biasa terjadi di republik ini, hal-hal itu tinggal sebagai rumor—setidaknya hingga hari ini.

Kini mantan jenderal yang satu membikin partai politik. Ia mau bangkit lagi rupanya, targetnya jelas, dan semua orang sudah pada tahu. Demi mencapai target itulah ia belakangan sering nongol di depan publik. Kadang bermain menjadi "sinterklas-sinterklasan" yang membagi-bagikan sembako, terkadang juga duit. Lain waktu ia kelihatan bertegang-tegang mengata-ngatai pemerintah.

Mantan jenderal yang satu lagi sejauh ini tak begitu jelas agenda politiknya. Yang kelihatan adalah bahwa belakangan dia suka setor muka di televisi, lalu dengan mimik serius dan prihatin ia berbicara gagah “atas nama para petani”. Adakah sang mantan jenderal juga punya target politik muluk seperti mantan jenderal sebelumnya? Atau ia sekadar tergoda untuk “meneruskan” perseteruan mereka di masa lalu?

Sekiranya keduanya, atau minimal salah satunya, tetap meneruskan rencana besarnya pada Pemilu 2009, maka itu akan menjadi manuver yang kelewat bodoh untuk dilakukan. Sebab tingkat keberhasilan peluang mereka sudah bisa dipastikan bahkan pada hari ini juga. Kecuali kalau mereka punya target lain. Misalnya saja, kehadiran mereka hanya dimaksudkan untuk “memecah” konsentrasi konstituen lawan.

Tapi target ini pun rasanya kelewat sulit untuk dicapai. Publik sudah pada tahu kok borok-borok mereka, jadi percuma sajalah mereka main sulap ini itu untuk mengibuli orang banyak. Sebagai mantan jenderal, mereka pun mestinya cukup pintar untuk memahami semua itu. Jadi apa gerangan yang “memaksa” mereka untuk terus nekat maju—jika benar begitu. Hanya mereka bedualah yang bisa menjawab.

06 June 2008

Insiden Monas : Sungguhan atau Sandiwara?

JIKA diamati teliti ada ketidak-konsitenan dalam 3 tulisan saya terdahulu di halaman ini yang menyoal insiden Monas serta keberadaan FPI.Dua tulisan menyorot kemungkinan adanya rekayasa di belakang insiden Monas, tapi satu tulisan lain, yaitu “FPI ternyata Ayam Sayur” seolah terlepas dari soal “rekayasa” itu. Seakan-akan saya percaya sungguh FPI adalah trouble maker murni yang pantas dibereskan.

Jika saya renungkan kembali nyatalah keidak-konsistenan itu disebabkan karena saya pun agaknya masih meragukan adanya unsur “rekayasa” dalam insiden itu, sehingga ketika membaca warta sekitar “diserbunya” sarang FPI perasaan saya sedikit meluap tak terkontrol. Kemuakan saya yang terpendam lama kepada perilaku kelompok “preman.berjubah” yang gemar “menertibkan” ini dan itu tumpah semua.

Kini setelah memikirkannya kembali dengan lebih rileks, saya kembali yakin bahwa insiden Monas sungguh sebuah rekayasa. Tentu yang termasuk dalam rekayasa itu bukanlah adegan saling gebuknya. Betul bahwa FPI menggebuki sejumlah orang dari Aliansi, tapi pertanyaannya mengapa gebuk-menggebuk itu bisa berlangsung dengan mulus dan lancar, di siang bolong yang terang benderang, dan notabene jaraknya hanya beberapa ratus meter saja dari Istana?

Mengapa untuk sebuah perhelatan seakbar pada Ahad, 1 Juni 2008 itu, pengamanan dari pihak polisi begitu minim? Kabarnya hanya ada satu kompi polisi yang diterjunkan di lokasi sekitar Monas hari itu. Sedangkan di tempat insiden berlangsung hanya ada satu polisi berpakaian preman. Baru setelah sejumlaah orang babak-belur polisi berbondong-bondong datang. Mengapa begitu? Lha itulah ajaibnya insiden Monas.

Bagian selanjutnya dari sandiwara itu kita sudah pada tahu juga. Habib Rizieg Shihab petentengan datang ke Polda, bersama “pangab” LPI, Munarman, menggelar konprensi pers. Rizieg ngomong galak akan “melawan sampai titik darah penghabisan” kalau sampai FPI dibubarkan. Sementara Munarman juga main ancam akan menyerbu kantor Koran Tempo.Ini sekadar bumbu penyedap belaka.

Bahwa kemudian ternyata mereka (FPI) tidak bikin perlawanan apa-apa sewaktu polisi datang, itu juga bagian dari skenario. Order yang mereka terima dari “atas” rupanya meminta mereka “patuh”, jadi ya mereka “patuh”. Tapi supaya lalu muncul kesan seru dan dramatis diaturlah Munarman seolah-olah buron. Anton Medan yang “tidak tahu apa-apa” juga dilibatkan dalam urusan ini. Dan kalau hari ini akhirnya Munarman “terpegang” itu semua pun sudah bagian dari sandiwara.

Tentu saja kalau anda menuntut “bukti” bahwa insiden Monas adalah rekayasa, jelas mustahil. Kita tidak bakal mendapatkannya. Yang bisa kita lakukan hanyalah mencoba lebih cermat membaca yang “tersirat” di balik banjir peristiwa yang secara “tersurat” membombardir kita setiap harinya. Celakanya media massa (koran, radio, tv) juga mau atau tidak ikut terpancing bermain, sebab mereka selalu butuh suplay berita atau cerita-cerita hebat untuk bisa dijual. Tidak penting itu sungguhan atau hanya fiksi.

05 June 2008

FPI Ternyata "Ayam Sayur"

FPI ternyata hanya “ayam sayur”. Mereka menyerah begitu saja sewaktu kemarin (4 Juni 2008) polisi menyatroni “sarang” mereka di Petamburan, Tanah Abang, Jakarta. Padahal sehari sebelumnya, Habib Rizieg Shihab yang memegang pucuk pimpinan di ormas “preman berjubah” itu berkoar galak “akan melawan sampai titik darah penghabisan” apabila ada anggotanya yang sampai “ditowel” polisi.

Nyatanya, boro-boro melawan, malahan Munarman, “pangab”nya Laskar Pembela Islam (LPI), ngacir entah ke mana. Munarman ini sehari sebelumnya juga sempat mengancam-ancam akan menyerbu kantor Koran Tempo karena koran itu dianggap telah memfitnahnya. Ketika membaca warta itu saya muak sekali, kok enak bener ya, sedikit-sedikit main serbu, sedikit-sedikit main rusak—emang negara engkongnya …

Dengan kejadian kemarin itu semakin terbukti bahwa FPI memang hanya “ayam sayur” doang. Ketika tempo hari akan didatangi anak-anak Pagar Nusa (NU) pun mereka buru-buru ngibrit ke Polda guna minta perlindungan. Ketahuan deh beraninya cuma sama yang kecil, yang pasrah dan nggak bisa melawan.

Kalau iseng-iseng kita bandingkan dengan “anak-anak” Forum Kota (Forkot) umpamanya, yang juga “setengah preman” itu, wah kalah jauh sekali mereka. Forkot itu jelek-jelek sudah sempat “bikin sejarah” waktu 1998 lho. Lha FPI bikin apa-- selain bikin rusak kantor dan menjungkir-balikkan rezeki orang lain?

03 June 2008

Dari "SMS Santet" sampai Ribut FPI di Monas

MACAM-macamlah caranya penguasa “membungkam” keresahan yang diakibatkan naiknya harga BBM. Kepada lapisan paling bawah digelontorkan bantuan duit tunai. Jumlahnya biasa saja, tapi di zaman super sulit seperti ini duit itu menjadi luar biasa. Lalu kepada para mahasiswa—yang gemar bakar-bakar ban dan main bom botol—dijejalkanlah bantuan sejenis. Jumlahnya juga “kecil”, tapi di zaman susah seperti sekarang lumayanlah duit segitu.

Hasilnya? Entah karena bantuan duit itu, atau karena kapok kena hajar aparat, atau ada faktor lainnya, nyatanya frekuensi aksi unjuk rasa mahasiswa di Jakarta berkurang drastis hari-hari ini.

Upaya lain yang dilakukan penguasa, yang bagi saya sangat menggelikan, adalah membuka pintu Istana untuk dikunjungi warga pada akhir pekan. Istana yang angker dan “resmi” kini boleh didatangi rakyat seperti Kebun Binatang Ragunan bebas disatroni. Malah kalau ke Ragunan kita kudu bayar, ke Istana boleh gratis. Ini adalah kesempatan langka bagi khalayak untuk melihat koleksi “hewan” apa saja yang dipajang di sana. Konon koleksi burung beo Istana teramat lengkap.

Itu semua adalah cara-cara “resmi” yang transparan. Tahukah anda bahwa selain lewat cara-cara “resmi” itu ada juga cara lain yang dilakukan penguasa? Ssst, yang ini memang susah dibuktikan, maklum ini adalah operasi yang dijalankan Mat Intel sendiri. Silent operation, istilah “kampung”nya.

Masih ingat heboh “SMS santet” tempo hari? Kenapa kasus itu bisa mendadak muncul dan mendadak raib pula? Masih urusan SMS, belum lama ini juga sempat ada heboh “SMS teror” yang mengabarkan akan adanya kerusuhan di Jakarta. Sesudah ribut-ribut sebentar, mendadak soal ini hilang begitu saja. Padahal katanya pihak berwajib berjanji bakal menguber pelaku atau penyebar SMS ngawur itu.

Reda soal SMS mendadak timbul heboh Joko Suprapto dengan “Energi Biru”nya. Hampir berbarengan dengan itu muncul pula seorang Achmad Zainal yang mengaku super kaya dan berniat membagi-bagikan duitnya secara cuma-cuma. Yang paling akhir adalah insiden FPI bikin ribut di Monas. Begitulah, kejadian demi kejadian “tidak biasa” muncul seperti bergiliran. Anda pikir itu kejadian wajar dan biasa saja?

Jangan naif, bung. Semua itu mungkin saja sudah diatur dan dipersiapkan. Tujuannya satu : mengalihkan perhatian dari keresahan (mungkin lebih tepat kalau disebut “kemarahan”) akibat makin susahnya hidup. Hal-hal atau peristiwa sensasional yang dimunculkan itu diharapkan bisa menjadi “hiburan” dan kanalisasi dari rasa frustrasi yang menumpuk, supaya tidak sampai terjadi letupan, atau chaos.

Banyak cara dan bahan yang siap diblow-up, untuk kemudian dipendam lagi. Stok lama yang masih “laku” dijual saja masih bertumpuk. Misalnya kasus Munir, Tommy Soeharto, skandal BLBI, dan seabrek bahan lain. Tapi kadang memang ada momen yang secara kebetulan membantu terciptanya suasana “adem semu” itu. Contohnya adalah perhelatan sepak bola Piala Eropa (Euro 2008) yang pekan depan segera dimulai.

Nah, dijamin nanti selama sebulan kita semua bakal terlena dan melupakan kegeraman kita karena harga-harga yang pada naik. Dan itu juga saatnya bagi Mat Intel untuk sedikit bersantai. Mereka bisa bergadang dengan lebih tenang, seraya nyeruput kopi, dan taruhan bola?

02 June 2008

FPI "Makan" Korban Lagi

KELOMPOK preman berjubah yang dikenal dengan sebutan keren FPI alias Front Pembela Islam (saya kira kata “Pembela” di situ sebaiknya diganti saja dengan “Pencemar”) kembali bikin ulah. Kali ini yang jadi korban adalah kelompok Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang tengah berkumpul di lapangan Monas, Ahad, 1 Juni 2008 (Koran Tempo, 2 Juni 2008).

Sejumlah orang luka-luka serius dalam insiden memalukan itu, malah ada yang gegar otak, dan perlu dioperasi. Insiden kemarin itu menjadi menarik karena dilakukan pas pada tanggal 1 Juni, hari yang selama ini diperingati sebagai Hari Kelahiran Pancasila. Ini sama saja artinya FPI terang-terangan “memberaki” Pancasila, dan UUD 45 yang jelas-jelas mendukung hak setiap orang di sini untuk bebas memilih sendiri keyakinan dan agamanya. Secara implisit bisa saja tindakan anarkis itu digolongkan juga sebagai kegiatan “makar” kecil-kecilan.

Seruan menuntut adanya tindakan hukum tegas dan kalau perlu pembubaran Ormas Islam yang suka bikin sebal banyak orang itu kontan timbul bersahutan. Akankah tuntutan itu ditanggapi? Saya kok tidak yakin ya. Saya rasa seperti yang lalu-lalu, insiden barbar dan biadab ala FPI ini pun akan lewat begitu saja. Sudah bukan rahasia lagi bahwa aparat kepolisian di sini terkesan “jeri” kalau sudah bersinggungan dengan kelompok agama mayoritas ini.

Dari kelompok umat sendiri tertangkap adanya kesan mendua dalam menanggapi keberadaan FPI. Contoh paling gamblang ditunjukkan sendiri oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Seperti pernah ditulis di halaman ini juga, MUI di satu pihak sering mengeluarkan imbauan “anti kekerasan”, tapi kenyataannya tidak pernah mereka mengutuk kekerasan yang dilakukan FPI—juga kelompok umat garis keras lainnya.

Keberadaan FPI sebetulnya mirip dengan keberadaan kelompok seperti FBR (Forum Betawi Reseh eh Rempug), atau PP (Pemuda Pancasila), FKPPI dan beberapa lagi di zaman Orba dulu. Sudah jadi rahasia umum bahwa ada sejumlah “orang kuat” yang mengongkosi dan jadi deking mereka, sehingga mereka terkesan begitu leluasa bertindak apa saja, dan sebaliknya teramat susah untuk ditertibkan.

Maka kalau sekarang kembali ada tuntutan supaya “FPI bubar”, pahamilah itu bukan urusan mudah. Tapi sekiranya kelompok preman bersorban itu toh dinyatakan bubar, sama sekali tidak sulit untuk mendirikan kembali kelompok sejenis, dengan nama dan seragam berbeda, tapi dengan pola perilaku yang sama-sama saja, bukan?
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...