JIKA diamati teliti ada ketidak-konsitenan dalam 3 tulisan saya terdahulu di halaman ini yang menyoal insiden Monas serta keberadaan FPI.Dua tulisan menyorot kemungkinan adanya rekayasa di belakang insiden Monas, tapi satu tulisan lain, yaitu “FPI ternyata Ayam Sayur” seolah terlepas dari soal “rekayasa” itu. Seakan-akan saya percaya sungguh FPI adalah trouble maker murni yang pantas dibereskan.
Jika saya renungkan kembali nyatalah keidak-konsistenan itu disebabkan karena saya pun agaknya masih meragukan adanya unsur “rekayasa” dalam insiden itu, sehingga ketika membaca warta sekitar “diserbunya” sarang FPI perasaan saya sedikit meluap tak terkontrol. Kemuakan saya yang terpendam lama kepada perilaku kelompok “preman.berjubah” yang gemar “menertibkan” ini dan itu tumpah semua.
Kini setelah memikirkannya kembali dengan lebih rileks, saya kembali yakin bahwa insiden Monas sungguh sebuah rekayasa. Tentu yang termasuk dalam rekayasa itu bukanlah adegan saling gebuknya. Betul bahwa FPI menggebuki sejumlah orang dari Aliansi, tapi pertanyaannya mengapa gebuk-menggebuk itu bisa berlangsung dengan mulus dan lancar, di siang bolong yang terang benderang, dan notabene jaraknya hanya beberapa ratus meter saja dari Istana?
Mengapa untuk sebuah perhelatan seakbar pada Ahad, 1 Juni 2008 itu, pengamanan dari pihak polisi begitu minim? Kabarnya hanya ada satu kompi polisi yang diterjunkan di lokasi sekitar Monas hari itu. Sedangkan di tempat insiden berlangsung hanya ada satu polisi berpakaian preman. Baru setelah sejumlaah orang babak-belur polisi berbondong-bondong datang. Mengapa begitu? Lha itulah ajaibnya insiden Monas.
Bagian selanjutnya dari sandiwara itu kita sudah pada tahu juga. Habib Rizieg Shihab petentengan datang ke Polda, bersama “pangab” LPI, Munarman, menggelar konprensi pers. Rizieg ngomong galak akan “melawan sampai titik darah penghabisan” kalau sampai FPI dibubarkan. Sementara Munarman juga main ancam akan menyerbu kantor Koran Tempo.Ini sekadar bumbu penyedap belaka.
Bahwa kemudian ternyata mereka (FPI) tidak bikin perlawanan apa-apa sewaktu polisi datang, itu juga bagian dari skenario. Order yang mereka terima dari “atas” rupanya meminta mereka “patuh”, jadi ya mereka “patuh”. Tapi supaya lalu muncul kesan seru dan dramatis diaturlah Munarman seolah-olah buron. Anton Medan yang “tidak tahu apa-apa” juga dilibatkan dalam urusan ini. Dan kalau hari ini akhirnya Munarman “terpegang” itu semua pun sudah bagian dari sandiwara.
Tentu saja kalau anda menuntut “bukti” bahwa insiden Monas adalah rekayasa, jelas mustahil. Kita tidak bakal mendapatkannya. Yang bisa kita lakukan hanyalah mencoba lebih cermat membaca yang “tersirat” di balik banjir peristiwa yang secara “tersurat” membombardir kita setiap harinya. Celakanya media massa (koran, radio, tv) juga mau atau tidak ikut terpancing bermain, sebab mereka selalu butuh suplay berita atau cerita-cerita hebat untuk bisa dijual. Tidak penting itu sungguhan atau hanya fiksi.
Jika saya renungkan kembali nyatalah keidak-konsistenan itu disebabkan karena saya pun agaknya masih meragukan adanya unsur “rekayasa” dalam insiden itu, sehingga ketika membaca warta sekitar “diserbunya” sarang FPI perasaan saya sedikit meluap tak terkontrol. Kemuakan saya yang terpendam lama kepada perilaku kelompok “preman.berjubah” yang gemar “menertibkan” ini dan itu tumpah semua.
Kini setelah memikirkannya kembali dengan lebih rileks, saya kembali yakin bahwa insiden Monas sungguh sebuah rekayasa. Tentu yang termasuk dalam rekayasa itu bukanlah adegan saling gebuknya. Betul bahwa FPI menggebuki sejumlah orang dari Aliansi, tapi pertanyaannya mengapa gebuk-menggebuk itu bisa berlangsung dengan mulus dan lancar, di siang bolong yang terang benderang, dan notabene jaraknya hanya beberapa ratus meter saja dari Istana?
Mengapa untuk sebuah perhelatan seakbar pada Ahad, 1 Juni 2008 itu, pengamanan dari pihak polisi begitu minim? Kabarnya hanya ada satu kompi polisi yang diterjunkan di lokasi sekitar Monas hari itu. Sedangkan di tempat insiden berlangsung hanya ada satu polisi berpakaian preman. Baru setelah sejumlaah orang babak-belur polisi berbondong-bondong datang. Mengapa begitu? Lha itulah ajaibnya insiden Monas.
Bagian selanjutnya dari sandiwara itu kita sudah pada tahu juga. Habib Rizieg Shihab petentengan datang ke Polda, bersama “pangab” LPI, Munarman, menggelar konprensi pers. Rizieg ngomong galak akan “melawan sampai titik darah penghabisan” kalau sampai FPI dibubarkan. Sementara Munarman juga main ancam akan menyerbu kantor Koran Tempo.Ini sekadar bumbu penyedap belaka.
Bahwa kemudian ternyata mereka (FPI) tidak bikin perlawanan apa-apa sewaktu polisi datang, itu juga bagian dari skenario. Order yang mereka terima dari “atas” rupanya meminta mereka “patuh”, jadi ya mereka “patuh”. Tapi supaya lalu muncul kesan seru dan dramatis diaturlah Munarman seolah-olah buron. Anton Medan yang “tidak tahu apa-apa” juga dilibatkan dalam urusan ini. Dan kalau hari ini akhirnya Munarman “terpegang” itu semua pun sudah bagian dari sandiwara.
Tentu saja kalau anda menuntut “bukti” bahwa insiden Monas adalah rekayasa, jelas mustahil. Kita tidak bakal mendapatkannya. Yang bisa kita lakukan hanyalah mencoba lebih cermat membaca yang “tersirat” di balik banjir peristiwa yang secara “tersurat” membombardir kita setiap harinya. Celakanya media massa (koran, radio, tv) juga mau atau tidak ikut terpancing bermain, sebab mereka selalu butuh suplay berita atau cerita-cerita hebat untuk bisa dijual. Tidak penting itu sungguhan atau hanya fiksi.
No comments:
Post a Comment