ADA kejadian lucu sewaktu tempo hari polisi meluruk ke “kandang” FPI di Tanah Abang, Jakarta. Entah karena polisinya kelewat tegang, atau ada faktor lain, mereka sempat “salah mata” dan menangkap seorang yang ternyata bukan anggota FPI. Penyebab salah tangkap itu ternyata sederhana, yaitu karena yang bersangkutan—ia mengaku hanya tukang semir sepatu—berjanggut ala anggota FPI umumnya.
Memang belakangan ini, janggut—ditambah baju koko, peci putih, dan sorban—oleh sebagian kelompok seperti dijadikan “aksesori wajib” yang harus dikenakan kalau kepingin dianggap “sungguh muslim”. Mungkinkah ini hanya sebuah tren modis yang sifatnya temporer semata, memang masih harus ditunggu dan dibuktikan.
Yang berbahaya adalah kalau kemudian keberadaan aksesoris itu dijadikan juga alat untuk mengukur tingkat kesalehan seseorang. Orang lalu terpaku pada apa yang kelihatan oleh mata lahiriah. Iman diukur dari apa yang dikenakan : jubah, peci, sorban, tasbih yang ditenteng kesana-kemari (mungkin juga jidat yang ‘kapalan’ karena seringnya bersujud?) bukan dari perilaku nyata sehari-hari yang bersangkutan.
Seorang mistikus katolik dari Spanyol, Santo Yohanes Salib, dalam bukunya yang termashur, "Malam Kelam" pernah juga menyinggung soal kegandrungan pada aksesoris fisik ini. Menurut orang suci itu, aksesoris yang dikenakan itu memang bukti adanya iman pada orang yang mengenakannya, tapi mohon maaf, yang dimaksud oleh sang santo adalah iman yang masih pada tingkatan awal, atau permulaan. Jadi kalau diumpamakan murid sekolah, ia baru siswa TK atau SD.
Sebaliknya iman yang tulen, yang sudah paten teruji, tidak lagi merisaukan (atau direpotkan) tampilan yang hanya fisikal sifatnya. Sebab memang, yang penting akhirnya “isi”nya, bukan kemasannya. Awas, kemasan memang bisa menipu, tapi “isi”, tidak.
Memang belakangan ini, janggut—ditambah baju koko, peci putih, dan sorban—oleh sebagian kelompok seperti dijadikan “aksesori wajib” yang harus dikenakan kalau kepingin dianggap “sungguh muslim”. Mungkinkah ini hanya sebuah tren modis yang sifatnya temporer semata, memang masih harus ditunggu dan dibuktikan.
Yang berbahaya adalah kalau kemudian keberadaan aksesoris itu dijadikan juga alat untuk mengukur tingkat kesalehan seseorang. Orang lalu terpaku pada apa yang kelihatan oleh mata lahiriah. Iman diukur dari apa yang dikenakan : jubah, peci, sorban, tasbih yang ditenteng kesana-kemari (mungkin juga jidat yang ‘kapalan’ karena seringnya bersujud?) bukan dari perilaku nyata sehari-hari yang bersangkutan.
Seorang mistikus katolik dari Spanyol, Santo Yohanes Salib, dalam bukunya yang termashur, "Malam Kelam" pernah juga menyinggung soal kegandrungan pada aksesoris fisik ini. Menurut orang suci itu, aksesoris yang dikenakan itu memang bukti adanya iman pada orang yang mengenakannya, tapi mohon maaf, yang dimaksud oleh sang santo adalah iman yang masih pada tingkatan awal, atau permulaan. Jadi kalau diumpamakan murid sekolah, ia baru siswa TK atau SD.
Sebaliknya iman yang tulen, yang sudah paten teruji, tidak lagi merisaukan (atau direpotkan) tampilan yang hanya fisikal sifatnya. Sebab memang, yang penting akhirnya “isi”nya, bukan kemasannya. Awas, kemasan memang bisa menipu, tapi “isi”, tidak.
No comments:
Post a Comment