MISALKAN saya Guus Hiddink, tentu saja saya akan sangat bangga karena “anak-anak kampung Rusia” asuhan saya sanggup membikin benjol-benjol tim elit Belanda, negara tercinta tempat di mana saya dilahirkan. Anda pasti tahu, saya dibayar cukup “murah” oleh majikan Rusia saya. Hanya 23 milyar setahun jika dikonversi ke rupiah. Itu artinya, sebulannya saya hanya mengantongi duit tidak sampai 2 milyar. Jelas itu sebuah jumlah yang kecil jika dibanding reputasi besar saya selama ini. Kecil, kalau diingat juga target besar yang dibebankan di pundak saya.
Tapi saya menerima tawaran untuk melatih di Rusia karena saya, Guus Hiddink, selalu menyukai tantangan. Saya kepingin membuktikan untuk kesekian kalinya bahwa dalam sepak bola, apa yang di mata pengamat dan penonton adalah “nonsens” bisa saja diwujudkan. Sewaktu saya 6 tahun yang lalu sukses membawa tim “anak bawang” Korea Selatan ke semi final Piala Dunia, ada suara-suara tidak enak yang menyebut sukses itu bisa terjadi karena kesebelasan saya dibantu para wasit yang sudah dibayar. Saya diam-diam marah sekali ketika itu.
Lalu saya menerima tawaran melatih kesebelasan “anak bawang” lain, Australia. Obsesi saya selalu sama, kepingin membuktikan bahwa sepak bola bukanlah matematika. Anda sekalian melihat bahwa saya hampir saja kembali berhasil menggoyang dunia saat itu. Tapi permainan kotor Italia membuyarkan impian saya. Mereka menyingkirkan saya lewat penalti jahat yang dihadiahkan wasit di menit akhir pertandingan perdelapan final yang busuk itu.
Sekarang saya mengepalai serombongan “anak kampung Rusia” untuk kembali mencoba membuktikan kebenaran tesis abadi saya. Dan saya kira saya sudah boleh dianggap berhasil saat ini. Mencapai semi final Piala Eropa, dengan menghajar tim-tim hebat dan mapan Eropa, adalah pembuktian lebih lanjut dari kebenaran impian saya. Saya mohon maaf apabila saya begitu demonstratif meluapkan kegembiuraan saya sewaktu “anak-anak kampung” yang saya latih selama ini meruntuhkan salah satu mitos sepak bola Eropa, bahkan dunia, yakni Belanda, di mana saya pun selama ini ikut mengambil peran membangun mitos itu.
Perilaku saya waktu itu janganlah diartikan seolah saya sudah berlaku khianat kepada tanah air saya sendiri. Saya ulangi, saya tak suka sebutan “pengkhianat” yang dilemparkan kepada saya. Guus Hiddink selamanya orang Belanda, dan sangat mencintai Belanda. Tapi saya punya tanggung jawab profesional kepada mereka yang membayar saya, berapa pun jumlah bayarannya. Dan jangan lupa, di atas semua itu adalah obsesi abadi saya. Sepak bola, saya tandaskan sekali lagi, bukanlah matematika. Dan bukan juga agama. Jadi jangan sekali-kali membawa yang terakhir itu ke lapangan sepak bola.
Misalnya, laga semi final Turki lawan Jerman nanti, janganlah dianggap sebagai pertarungan antara kesebelasan muslim versus kesebelasan Kristen. Misalkan saya Guus Hiddink, saya akan bilang itu cara berpikir dungu, imbisil, dan menodai konsep "Fair Play" yang sangat saya junjung. Tapi karena saya hanya Guus Hiddink bohong-bohongan, saya akan bilang itu pikiran primitif yang mencoreng asas kebhinekaan yang selama ini sudah jadi komitmen bersama.
Tapi saya menerima tawaran untuk melatih di Rusia karena saya, Guus Hiddink, selalu menyukai tantangan. Saya kepingin membuktikan untuk kesekian kalinya bahwa dalam sepak bola, apa yang di mata pengamat dan penonton adalah “nonsens” bisa saja diwujudkan. Sewaktu saya 6 tahun yang lalu sukses membawa tim “anak bawang” Korea Selatan ke semi final Piala Dunia, ada suara-suara tidak enak yang menyebut sukses itu bisa terjadi karena kesebelasan saya dibantu para wasit yang sudah dibayar. Saya diam-diam marah sekali ketika itu.
Lalu saya menerima tawaran melatih kesebelasan “anak bawang” lain, Australia. Obsesi saya selalu sama, kepingin membuktikan bahwa sepak bola bukanlah matematika. Anda sekalian melihat bahwa saya hampir saja kembali berhasil menggoyang dunia saat itu. Tapi permainan kotor Italia membuyarkan impian saya. Mereka menyingkirkan saya lewat penalti jahat yang dihadiahkan wasit di menit akhir pertandingan perdelapan final yang busuk itu.
Sekarang saya mengepalai serombongan “anak kampung Rusia” untuk kembali mencoba membuktikan kebenaran tesis abadi saya. Dan saya kira saya sudah boleh dianggap berhasil saat ini. Mencapai semi final Piala Eropa, dengan menghajar tim-tim hebat dan mapan Eropa, adalah pembuktian lebih lanjut dari kebenaran impian saya. Saya mohon maaf apabila saya begitu demonstratif meluapkan kegembiuraan saya sewaktu “anak-anak kampung” yang saya latih selama ini meruntuhkan salah satu mitos sepak bola Eropa, bahkan dunia, yakni Belanda, di mana saya pun selama ini ikut mengambil peran membangun mitos itu.
Perilaku saya waktu itu janganlah diartikan seolah saya sudah berlaku khianat kepada tanah air saya sendiri. Saya ulangi, saya tak suka sebutan “pengkhianat” yang dilemparkan kepada saya. Guus Hiddink selamanya orang Belanda, dan sangat mencintai Belanda. Tapi saya punya tanggung jawab profesional kepada mereka yang membayar saya, berapa pun jumlah bayarannya. Dan jangan lupa, di atas semua itu adalah obsesi abadi saya. Sepak bola, saya tandaskan sekali lagi, bukanlah matematika. Dan bukan juga agama. Jadi jangan sekali-kali membawa yang terakhir itu ke lapangan sepak bola.
Misalnya, laga semi final Turki lawan Jerman nanti, janganlah dianggap sebagai pertarungan antara kesebelasan muslim versus kesebelasan Kristen. Misalkan saya Guus Hiddink, saya akan bilang itu cara berpikir dungu, imbisil, dan menodai konsep "Fair Play" yang sangat saya junjung. Tapi karena saya hanya Guus Hiddink bohong-bohongan, saya akan bilang itu pikiran primitif yang mencoreng asas kebhinekaan yang selama ini sudah jadi komitmen bersama.
No comments:
Post a Comment