KELOMPOK preman berjubah yang dikenal dengan sebutan keren FPI alias Front Pembela Islam (saya kira kata “Pembela” di situ sebaiknya diganti saja dengan “Pencemar”) kembali bikin ulah. Kali ini yang jadi korban adalah kelompok Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang tengah berkumpul di lapangan Monas, Ahad, 1 Juni 2008 (Koran Tempo, 2 Juni 2008).
Sejumlah orang luka-luka serius dalam insiden memalukan itu, malah ada yang gegar otak, dan perlu dioperasi. Insiden kemarin itu menjadi menarik karena dilakukan pas pada tanggal 1 Juni, hari yang selama ini diperingati sebagai Hari Kelahiran Pancasila. Ini sama saja artinya FPI terang-terangan “memberaki” Pancasila, dan UUD 45 yang jelas-jelas mendukung hak setiap orang di sini untuk bebas memilih sendiri keyakinan dan agamanya. Secara implisit bisa saja tindakan anarkis itu digolongkan juga sebagai kegiatan “makar” kecil-kecilan.
Seruan menuntut adanya tindakan hukum tegas dan kalau perlu pembubaran Ormas Islam yang suka bikin sebal banyak orang itu kontan timbul bersahutan. Akankah tuntutan itu ditanggapi? Saya kok tidak yakin ya. Saya rasa seperti yang lalu-lalu, insiden barbar dan biadab ala FPI ini pun akan lewat begitu saja. Sudah bukan rahasia lagi bahwa aparat kepolisian di sini terkesan “jeri” kalau sudah bersinggungan dengan kelompok agama mayoritas ini.
Dari kelompok umat sendiri tertangkap adanya kesan mendua dalam menanggapi keberadaan FPI. Contoh paling gamblang ditunjukkan sendiri oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Seperti pernah ditulis di halaman ini juga, MUI di satu pihak sering mengeluarkan imbauan “anti kekerasan”, tapi kenyataannya tidak pernah mereka mengutuk kekerasan yang dilakukan FPI—juga kelompok umat garis keras lainnya.
Keberadaan FPI sebetulnya mirip dengan keberadaan kelompok seperti FBR (Forum Betawi Reseh eh Rempug), atau PP (Pemuda Pancasila), FKPPI dan beberapa lagi di zaman Orba dulu. Sudah jadi rahasia umum bahwa ada sejumlah “orang kuat” yang mengongkosi dan jadi deking mereka, sehingga mereka terkesan begitu leluasa bertindak apa saja, dan sebaliknya teramat susah untuk ditertibkan.
Maka kalau sekarang kembali ada tuntutan supaya “FPI bubar”, pahamilah itu bukan urusan mudah. Tapi sekiranya kelompok preman bersorban itu toh dinyatakan bubar, sama sekali tidak sulit untuk mendirikan kembali kelompok sejenis, dengan nama dan seragam berbeda, tapi dengan pola perilaku yang sama-sama saja, bukan?
Sejumlah orang luka-luka serius dalam insiden memalukan itu, malah ada yang gegar otak, dan perlu dioperasi. Insiden kemarin itu menjadi menarik karena dilakukan pas pada tanggal 1 Juni, hari yang selama ini diperingati sebagai Hari Kelahiran Pancasila. Ini sama saja artinya FPI terang-terangan “memberaki” Pancasila, dan UUD 45 yang jelas-jelas mendukung hak setiap orang di sini untuk bebas memilih sendiri keyakinan dan agamanya. Secara implisit bisa saja tindakan anarkis itu digolongkan juga sebagai kegiatan “makar” kecil-kecilan.
Seruan menuntut adanya tindakan hukum tegas dan kalau perlu pembubaran Ormas Islam yang suka bikin sebal banyak orang itu kontan timbul bersahutan. Akankah tuntutan itu ditanggapi? Saya kok tidak yakin ya. Saya rasa seperti yang lalu-lalu, insiden barbar dan biadab ala FPI ini pun akan lewat begitu saja. Sudah bukan rahasia lagi bahwa aparat kepolisian di sini terkesan “jeri” kalau sudah bersinggungan dengan kelompok agama mayoritas ini.
Dari kelompok umat sendiri tertangkap adanya kesan mendua dalam menanggapi keberadaan FPI. Contoh paling gamblang ditunjukkan sendiri oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Seperti pernah ditulis di halaman ini juga, MUI di satu pihak sering mengeluarkan imbauan “anti kekerasan”, tapi kenyataannya tidak pernah mereka mengutuk kekerasan yang dilakukan FPI—juga kelompok umat garis keras lainnya.
Keberadaan FPI sebetulnya mirip dengan keberadaan kelompok seperti FBR (Forum Betawi Reseh eh Rempug), atau PP (Pemuda Pancasila), FKPPI dan beberapa lagi di zaman Orba dulu. Sudah jadi rahasia umum bahwa ada sejumlah “orang kuat” yang mengongkosi dan jadi deking mereka, sehingga mereka terkesan begitu leluasa bertindak apa saja, dan sebaliknya teramat susah untuk ditertibkan.
Maka kalau sekarang kembali ada tuntutan supaya “FPI bubar”, pahamilah itu bukan urusan mudah. Tapi sekiranya kelompok preman bersorban itu toh dinyatakan bubar, sama sekali tidak sulit untuk mendirikan kembali kelompok sejenis, dengan nama dan seragam berbeda, tapi dengan pola perilaku yang sama-sama saja, bukan?
2 comments:
Hoee... Semua Nehh da Lagu Hinaan Buat FPI.
http://www.indowebster.com/Free_Mind_Fuck_FPI.html
beto..betol..betol bro..
saya suka gaya elo.
FPI itu memang taik anjing busuk.
fpi itu teroris terbuka. mesti di berantas kalo perlu setiap anggotanya di kuliti jadi makanan anjing aja. sip bro? kalo ada gerakan anti fpi, gua dukung materi maopun semuanya.
Post a Comment