TUKUL yang pertama tentu saja Wiji Thukul--penyair yang raib tak tentu rimbanya sejak lebih dari 10 tahun yang lalu. Tak ada yang tahu nasib apa yang sebetulnya menimpanya. Santer diwartakan bahwa ia “dilenyapkan” oleh penguasa dari rejim yang lampau. Tapi kapan persisnya, bagaimana ia “dihabisi”, dan di mana jasadnya dibenamkan—andai benar semiris itu lakonnya--tak ada yang paham. Ada spekulasi ia sebetulnya masih hidup dan sengaja menyembunyikan diri, tapi kabar ini pun tak sulit dikonfirmasi.
Tukul yang satunya masih sehat afiat dan banyak ketawa. Ia memang pernah juga “raib” belum lama ini, tapi hanya sebulan saja, gara-gara kebablasan menyuruh orang makan kodok mentah. Tukul Arwana, yaitu Tukul yang kedua ini, selalu tampil necis dengan jas dan dasi plus komputer jinjing—simbol-simbol yang dianggap mewakili citra “hidup mapan” dan “terpelajar”. Aksesoris penting lain yang selalu “ditentengnya” adalah beberapa orang perempuan cantik.
Dunia Tukul yang pertama adalah dunia yang “muram, sunyi dan keras”. Sedemikian sunyi dan kerasnya hingga untuk menyiasatinya hanya tersedia satu cara, “hanya ada satu kata”, kata Tukul yang pertama, yaitu : “lawan!” Tapi perlawanan itu pun kita tahu sia-sia.
Sebaliknya hidup dalam dunia Tukul Arwana terlihat nyaman, aman, dan siapa tahu juga mudah. Sebuah dunia yang dipenuhi seloroh dan gelak tawa. Di dunia Tukul yang kedua berpikir kelewat serius seakan tabu. Daripada stres berkerut jidat, mari kita tertawa ria melupakan karut-marut kehidupan. Tak ada yang musti “dilabrak!”, tak ada yang kudu diperangi dengan tanda seru. Semua bisa didamaikan, hidup bisa diselorohka, bukan?.
Dan kalau masih ada yang nekat juga “melawan”, maka Tukul yang kedua akan buru-buru mengingatkan supaya kita “kembali ke laptop”, artinya kembali kepada hidup yang “aman” dan “nyaman”, yang ramai oleh seloroh itu.
Jadi begitulah, dua Tukul itu telah menjalani pilihan nasibnya dan menerima ganjaran yang jadi jatah masing-masing pula. Pilihan yang satu berujung pada ending yang muram dan tragis, sedang pilihan satunya lagi bergulir menjadi hidup yang nyaman dan aman. Tapi sungguhkah lakon mereka (khususnya untuk Tukul yang kedua) sudah “tamat” sepenuhnya, tentu hanya waktu yang berhak menjawabnya.
Tukul yang satunya masih sehat afiat dan banyak ketawa. Ia memang pernah juga “raib” belum lama ini, tapi hanya sebulan saja, gara-gara kebablasan menyuruh orang makan kodok mentah. Tukul Arwana, yaitu Tukul yang kedua ini, selalu tampil necis dengan jas dan dasi plus komputer jinjing—simbol-simbol yang dianggap mewakili citra “hidup mapan” dan “terpelajar”. Aksesoris penting lain yang selalu “ditentengnya” adalah beberapa orang perempuan cantik.
Dunia Tukul yang pertama adalah dunia yang “muram, sunyi dan keras”. Sedemikian sunyi dan kerasnya hingga untuk menyiasatinya hanya tersedia satu cara, “hanya ada satu kata”, kata Tukul yang pertama, yaitu : “lawan!” Tapi perlawanan itu pun kita tahu sia-sia.
Sebaliknya hidup dalam dunia Tukul Arwana terlihat nyaman, aman, dan siapa tahu juga mudah. Sebuah dunia yang dipenuhi seloroh dan gelak tawa. Di dunia Tukul yang kedua berpikir kelewat serius seakan tabu. Daripada stres berkerut jidat, mari kita tertawa ria melupakan karut-marut kehidupan. Tak ada yang musti “dilabrak!”, tak ada yang kudu diperangi dengan tanda seru. Semua bisa didamaikan, hidup bisa diselorohka, bukan?.
Dan kalau masih ada yang nekat juga “melawan”, maka Tukul yang kedua akan buru-buru mengingatkan supaya kita “kembali ke laptop”, artinya kembali kepada hidup yang “aman” dan “nyaman”, yang ramai oleh seloroh itu.
Jadi begitulah, dua Tukul itu telah menjalani pilihan nasibnya dan menerima ganjaran yang jadi jatah masing-masing pula. Pilihan yang satu berujung pada ending yang muram dan tragis, sedang pilihan satunya lagi bergulir menjadi hidup yang nyaman dan aman. Tapi sungguhkah lakon mereka (khususnya untuk Tukul yang kedua) sudah “tamat” sepenuhnya, tentu hanya waktu yang berhak menjawabnya.
No comments:
Post a Comment