SEBERAPA pentingkah doa dalam hidup anda? Jika anda jarang sembahyang, atau melakukannya kalau lagi merasa betul-betul kepepet saja, atau anda melakukannya juga setiap hari tapi tanpa greget, tanpa suatu “kerinduan” di dalamnya, jelaslah bahwa doa bukan urusan yang anda anggap penting.
Dan kalau doa bukan hal penting, maka konsekuensinya Tuhan juga bukan hal penting buat anda. Kecuali mungkin pas anda sedang betul-betul terdesak, sewaktu pertolongan dari sana-sini tidak bisa diharapkan lagi. Perilaku begini—mencari Tuhan hanya pada saat kepepet--sebetulnya sama dengan memperlakukan Tuhan sebagai “pesuruh”, bukan? Baru kalau lagi ada musibah dan mentok “beliau” dipanggil, disuruh bantu membereskan.
Itu pun biasanya pake syarat : musti cepat jawabannya. Kalau malam ini sembahyang, besok sore paling lambat urusan harus sudah ketemu solusinya. Wah gile betul.! Kecenderungan mau serba kilat dan instant yang makin jadi gejala umum inilah yang makin membuat berdoa menjadi—buat sebagian orang—terasa lucu, tidak relevan dan mengada-ada.
Kita sering juga mendengar ucapan begini, “Yah, saya ‘hanya’ bisa membantu dengan doa”. Atau, “Saya tahu problem anda berat sekali, dan saya bukan apa-apa, jadi ‘hanya’ doalah yang bisa saya berikan” Orang-orang itu sebetulnya juga mau mengatakan bahwa doa adalah sebuah iktiar yang “kurang penting”, sebuah upaya yang tidak perlu kelewat diharapkan hasilnya. Doa dalam keseharian kebanyakan kita menjadi sekedar basa-basi pergaulan. Tuhan, dengan demikian, menjadi institusi yang jauh sekali, yang dianggap tidak akan sudi ikut-ikutan mengurusi segala masalah kita di sini.
Jika anda termasuk orang yang menganggap bahwa perilaku ber“doa” masuk kategori “hanya”, dan bukan sebuah kegiatan “utama”, bacalah kesaksian mengharukan almarhum pendeta Eka Darmaputra di sini. Sewaktu membacanya .saya begitu tersentuh dan tergugah, entah apakah anda juga akan begitu? Tapi cobalah sempatkan membacanya.
Dan kalau doa bukan hal penting, maka konsekuensinya Tuhan juga bukan hal penting buat anda. Kecuali mungkin pas anda sedang betul-betul terdesak, sewaktu pertolongan dari sana-sini tidak bisa diharapkan lagi. Perilaku begini—mencari Tuhan hanya pada saat kepepet--sebetulnya sama dengan memperlakukan Tuhan sebagai “pesuruh”, bukan? Baru kalau lagi ada musibah dan mentok “beliau” dipanggil, disuruh bantu membereskan.
Itu pun biasanya pake syarat : musti cepat jawabannya. Kalau malam ini sembahyang, besok sore paling lambat urusan harus sudah ketemu solusinya. Wah gile betul.! Kecenderungan mau serba kilat dan instant yang makin jadi gejala umum inilah yang makin membuat berdoa menjadi—buat sebagian orang—terasa lucu, tidak relevan dan mengada-ada.
Kita sering juga mendengar ucapan begini, “Yah, saya ‘hanya’ bisa membantu dengan doa”. Atau, “Saya tahu problem anda berat sekali, dan saya bukan apa-apa, jadi ‘hanya’ doalah yang bisa saya berikan” Orang-orang itu sebetulnya juga mau mengatakan bahwa doa adalah sebuah iktiar yang “kurang penting”, sebuah upaya yang tidak perlu kelewat diharapkan hasilnya. Doa dalam keseharian kebanyakan kita menjadi sekedar basa-basi pergaulan. Tuhan, dengan demikian, menjadi institusi yang jauh sekali, yang dianggap tidak akan sudi ikut-ikutan mengurusi segala masalah kita di sini.
Jika anda termasuk orang yang menganggap bahwa perilaku ber“doa” masuk kategori “hanya”, dan bukan sebuah kegiatan “utama”, bacalah kesaksian mengharukan almarhum pendeta Eka Darmaputra di sini. Sewaktu membacanya .saya begitu tersentuh dan tergugah, entah apakah anda juga akan begitu? Tapi cobalah sempatkan membacanya.
No comments:
Post a Comment