RENATE HONG (dahulunya Renate Kleinle) bertemu Hong Ok Geun sewaktu keduanya masih mahasiswa di Universitas Friedrich Schiller Jena (Jerman Timur, ketika itu). Hong adalah satu dari sekian ratus pemuda Korea yang dikirim pemerintahnya untuk belajar di universitas itu. Cinta mereka konon sudah bersemi pada tatapan pertama.
Itu terjadi pada 1955. Lima tahun kemudian (1960) mereka menikah, lalu Peter Hyon Choi Hong, putra pertama mereka lahir tahun itu juga. Apa mau dikata, setahun kemudian Hong dipanggil pulang ke negerinya. Saat itu Renate dalam kondisi hamil anak keduanya. Hubungan mereka lalu diteruskan dengan cara surat-suratan—karena waktu itu belum ada internet , tentu mereka nggak bisa chatting, atau saling berbalas email.
Selama 2 tahun, Hong mengirimi Renate sekitar 50 pucuk surat. Pada salah satu suratnya ia melampirkan selembar daun teratai. Tapi pada 1963 surat-surat dari Hong mendadak berhenti. Renate dengan setia terus menunggu, menyimpan lembaran daun yang disebutnya “bukti cinta terakhir yang pernah diberikan suaminya kepadanya”. Ia memilih bertahan seraya merawat dua orang putranya.
Puluhan tahun kemudian mendadak ia mendapat warta bahwa Hong, sang suami, ternyata masih hidup, tapi ada keluarga lain di sana mendampinginya. Ia pun menyusun ikhtiar untuk bisa menemui Hong lagi, meski ia tahu pertemuan ini—jika bisa terjadi—bukanlah sebuah ending yang bahagia. Ia, sukup tahu diri, karena itu ia berkata “Kami akan berbicara hanya mengenai masa lalu, karena kami tidak punya lagi masa depan.”
Kisah Renate, buat saya, begitu mengharukan sekaligus perih. Ia sudah mengajar kepada kita apa artinya setia—tidak dengan kata-kata, melainkan dengan laku. Adakah ia kemudian menyesali penantiannya selama 46 tahun yang ternyata berakhir seperti itu, kita tak tahu, atau sebaiknya kita tak perlu tahu saja. Sebab pelajaran yang diberikannya jauh lebih berarti dibanding akhir tidak bahagianya itu sendiri, menurut saya.
Pada Selembar Daun
- Renate Hong
Pada selembar daun
Pernah kau rekam ingatan itu
Kau berkisah tentang pohon-pohon elm
Dahan-dahannya yang menggigil dalam angin
Salju juga jatuh di sana
Kota jadi putih dan jam membisu
Sementara kau sendokkan suap
Penghabisan sepi pada mangkukmu itu
Kau pernah menuliskan itu semua
Pada selembar daun, lantas kau kirimkan
Dengan pos kilat khusus musim gugur
Ke sebuah alamat di dasar mimpi
Kini musim berangkat coklat di jendela
Pada secarik warta yang akhirnya melapuk
Ingin kuputar kembali ingatan itu, barangkali
Bakal kubawa ke sebuah addres lain di batas cuaca
Itu terjadi pada 1955. Lima tahun kemudian (1960) mereka menikah, lalu Peter Hyon Choi Hong, putra pertama mereka lahir tahun itu juga. Apa mau dikata, setahun kemudian Hong dipanggil pulang ke negerinya. Saat itu Renate dalam kondisi hamil anak keduanya. Hubungan mereka lalu diteruskan dengan cara surat-suratan—karena waktu itu belum ada internet , tentu mereka nggak bisa chatting, atau saling berbalas email.
Selama 2 tahun, Hong mengirimi Renate sekitar 50 pucuk surat. Pada salah satu suratnya ia melampirkan selembar daun teratai. Tapi pada 1963 surat-surat dari Hong mendadak berhenti. Renate dengan setia terus menunggu, menyimpan lembaran daun yang disebutnya “bukti cinta terakhir yang pernah diberikan suaminya kepadanya”. Ia memilih bertahan seraya merawat dua orang putranya.
Puluhan tahun kemudian mendadak ia mendapat warta bahwa Hong, sang suami, ternyata masih hidup, tapi ada keluarga lain di sana mendampinginya. Ia pun menyusun ikhtiar untuk bisa menemui Hong lagi, meski ia tahu pertemuan ini—jika bisa terjadi—bukanlah sebuah ending yang bahagia. Ia, sukup tahu diri, karena itu ia berkata “Kami akan berbicara hanya mengenai masa lalu, karena kami tidak punya lagi masa depan.”
Kisah Renate, buat saya, begitu mengharukan sekaligus perih. Ia sudah mengajar kepada kita apa artinya setia—tidak dengan kata-kata, melainkan dengan laku. Adakah ia kemudian menyesali penantiannya selama 46 tahun yang ternyata berakhir seperti itu, kita tak tahu, atau sebaiknya kita tak perlu tahu saja. Sebab pelajaran yang diberikannya jauh lebih berarti dibanding akhir tidak bahagianya itu sendiri, menurut saya.
Pada Selembar Daun
- Renate Hong
Pada selembar daun
Pernah kau rekam ingatan itu
Kau berkisah tentang pohon-pohon elm
Dahan-dahannya yang menggigil dalam angin
Salju juga jatuh di sana
Kota jadi putih dan jam membisu
Sementara kau sendokkan suap
Penghabisan sepi pada mangkukmu itu
Kau pernah menuliskan itu semua
Pada selembar daun, lantas kau kirimkan
Dengan pos kilat khusus musim gugur
Ke sebuah alamat di dasar mimpi
Kini musim berangkat coklat di jendela
Pada secarik warta yang akhirnya melapuk
Ingin kuputar kembali ingatan itu, barangkali
Bakal kubawa ke sebuah addres lain di batas cuaca