PADA malam (atau dini hari) sewaktu gempa itu terjadi saya belum tidur. Memang sudah jadi kebiasaan saya tidur larut. Saya sedang duduk selonjor di lantai, televisi sudah dimatikan. Pikiran saya melantur ke sana ke mari. Anak-anak dan ibunya sudah pada terlelap di kamar lantai bawah. Saat itulah kisahnya dimulai..
Saya mendengar suara tak-tok-tak-tok di luar jendela kamar, yang tak saya paham bunyi apa. Sementara saya terlongong-longong menyimak bunyi itulah saya merasa kamar bergoyang. Seingat saya tidak keras. Masih belum ngeh. Baru pada goyangan berikutnya sewaktu saya merasa lantai di mana saya meletakkan pantat saya terangkat, jantung saya rasanya saat itu juga berhenti bekerja.
Langsung saya ingat pada ramalan heboh yang beberapa bulan lalu dikatakan Mama Lauren. Lantas kata pertama yang keluar dari mulut saya saat itu adalah “Tuhan, janganlah sampai ramalan itu terjadi”. Baru sesudah itu serangkaian tindakan teknis penyelamatan saya lakukan.
Kipas angin saya matikan, lalu sesudah itu hal pertama yang saya ingat—anda pasti tak percaya ini—adalah memasang gigi palsu saya yang kalau malam saya cempungkan di gelas. Baru sesudah itu menyambar senter dan meluncur ke lantai bawah, membuka pintu supaya akses pertama untuk evakuasi—jika memang diperlukan--terbuka.
Bahkan pada saat itu saya masih belum sepenuhnya yakin sudah terjadi gempa. Itu sebabnya saya tak serta merta membangunkan anak-anak dan ibunya. Apalagi begitu saya keluar rumah suasana gang di depan rumah langang! Tak ada kehebohan. Ah, orang-orang sudah pada kecapean rupanya sehabis siangnya menyoblos, dan mungkin malamnya sebagian ada yang “nyoblos” lagi.
Sedang terbengong begitu, saya mendengar suara seorang tetangga depan saya berteriak kepada seorang adiknya menanyakan “apa tadi lu ngerasa gempa”? Ya, baru saat itulah saya sepenuhnya yakin sudah terjadi gempa. Pelan-pelan saya bangunkan istri saya supaya tidak terjadi kepanikan. Lalu ia memasang televisi dan segalanya jelas sudah.
Kira-kira satu jam kemudian, sesudah yakin keadaan aman, ia kembali tidur. Saya sendiri baru bisa pulas mungkin sekitar pukul 1.30 pagi. Saya tidur tanpa mencopot lagi gigi palsu saya, dan dengan senter setia menunggui di sebelah saya.
Saya mendengar suara tak-tok-tak-tok di luar jendela kamar, yang tak saya paham bunyi apa. Sementara saya terlongong-longong menyimak bunyi itulah saya merasa kamar bergoyang. Seingat saya tidak keras. Masih belum ngeh. Baru pada goyangan berikutnya sewaktu saya merasa lantai di mana saya meletakkan pantat saya terangkat, jantung saya rasanya saat itu juga berhenti bekerja.
Langsung saya ingat pada ramalan heboh yang beberapa bulan lalu dikatakan Mama Lauren. Lantas kata pertama yang keluar dari mulut saya saat itu adalah “Tuhan, janganlah sampai ramalan itu terjadi”. Baru sesudah itu serangkaian tindakan teknis penyelamatan saya lakukan.
Kipas angin saya matikan, lalu sesudah itu hal pertama yang saya ingat—anda pasti tak percaya ini—adalah memasang gigi palsu saya yang kalau malam saya cempungkan di gelas. Baru sesudah itu menyambar senter dan meluncur ke lantai bawah, membuka pintu supaya akses pertama untuk evakuasi—jika memang diperlukan--terbuka.
Bahkan pada saat itu saya masih belum sepenuhnya yakin sudah terjadi gempa. Itu sebabnya saya tak serta merta membangunkan anak-anak dan ibunya. Apalagi begitu saya keluar rumah suasana gang di depan rumah langang! Tak ada kehebohan. Ah, orang-orang sudah pada kecapean rupanya sehabis siangnya menyoblos, dan mungkin malamnya sebagian ada yang “nyoblos” lagi.
Sedang terbengong begitu, saya mendengar suara seorang tetangga depan saya berteriak kepada seorang adiknya menanyakan “apa tadi lu ngerasa gempa”? Ya, baru saat itulah saya sepenuhnya yakin sudah terjadi gempa. Pelan-pelan saya bangunkan istri saya supaya tidak terjadi kepanikan. Lalu ia memasang televisi dan segalanya jelas sudah.
Kira-kira satu jam kemudian, sesudah yakin keadaan aman, ia kembali tidur. Saya sendiri baru bisa pulas mungkin sekitar pukul 1.30 pagi. Saya tidur tanpa mencopot lagi gigi palsu saya, dan dengan senter setia menunggui di sebelah saya.
No comments:
Post a Comment