KALAU ada berita yang paling malas saya baca di koran, maka salah satunya adalah berita tentang korupsi. Sudah jadi klise yang diulang-ulang bahwa korupsi sudah menjadi “budaya” di sini. Artinya, perilaku “mengutil duit rakyat” ini sudah disepakati sebagai hal yang lumrah dan dianggap biasa sekali. Begitu gilanya “wabah” ini menjangkiti negeri, sampai kita pun agaknya diminta supaya tidak usah kaget atau ribut atas perilaku “korupsi berjamaah” ini.
Dan nyatanya saya memang tidak jadi kaget ketika hari-hari ini koran seperti tidak ada putusnya memberitakan kabar tentang mantan pejabat anu, atau politisi parpol A, yang tadinya dianggap “bersih” dan karenanya dijadikan “panutan” ternyata maling juga, sama sebangun seperti yang lain-lainnya. Begitu banyak nama yang terbukti “kotor” sampai kita pun mungkin jadi bertanya, “lalu siapa lagi tokoh yang masih boleh dipercaya”?
Padahal usaha pemerintah menangkapi para pengutil ini masih jauh dari maksimal. Yang dipilih untuk disikat baru kelompok maling kelas teri—dan yang penting secara politis sudah dihitung masak mereka tidak bakal bisa bikin “serangan balik” yang merepotkan. Jadi usaha itu masih dalam tingkatan “tebang pilih” dan “tebar pesona”, sehingga apa yang sekarang muncul di koran setiap hari sebetulnya hanya puncak dari gunung es yang sebetetulnya.
Saya teringat pada statemen Rendra tahun 1970-an. Ia bilang kalau Indonesia mau bebas korupsi, itu artinya seluruh pemerintahan harus diganti. Tentu saja omongan seperti itu tidak punya daya kejut lagi jika diletakkan dalam perspektif waktu hari ini. Yang menarik dari pernyataan itu memang bukanlah pesona retorisnya yang kini jadi melapuk, tetapi kenyataan bahwa Rendra sudah mengatakan apa yang agaknya memang “benar”—bahkan “benar” sampai hari ini.
Kita belum bisa seperti Cina, umpamanya, yang berani bertindak keras dan cepat dalam upaya menumpas korupsi. Kita, agaknya lebih suka mendahulukan “musyawarah” dan pendekatan “kekeluargaan”—bahkan juga dalam banyak urusan di luar korupsi. Seorang yang sudah terbukti jelas teroris dan pembunuh, umpamanya, masih bisa terus berlama-lama cengengesan dalam kamar selnya yang nyaman.
Kita memang bangsa yang penuh dengan rasa toleran, kekeluargaan, dan berbelas kasih pula. Kadang belas kasihan itu kita limpahkan untuk hal-hal yang jelas salah dan ngawur.Tapi, sudahlah.
(Image diambil dari media-ide-bajingloncat.com)
Dan nyatanya saya memang tidak jadi kaget ketika hari-hari ini koran seperti tidak ada putusnya memberitakan kabar tentang mantan pejabat anu, atau politisi parpol A, yang tadinya dianggap “bersih” dan karenanya dijadikan “panutan” ternyata maling juga, sama sebangun seperti yang lain-lainnya. Begitu banyak nama yang terbukti “kotor” sampai kita pun mungkin jadi bertanya, “lalu siapa lagi tokoh yang masih boleh dipercaya”?
Padahal usaha pemerintah menangkapi para pengutil ini masih jauh dari maksimal. Yang dipilih untuk disikat baru kelompok maling kelas teri—dan yang penting secara politis sudah dihitung masak mereka tidak bakal bisa bikin “serangan balik” yang merepotkan. Jadi usaha itu masih dalam tingkatan “tebang pilih” dan “tebar pesona”, sehingga apa yang sekarang muncul di koran setiap hari sebetulnya hanya puncak dari gunung es yang sebetetulnya.
Saya teringat pada statemen Rendra tahun 1970-an. Ia bilang kalau Indonesia mau bebas korupsi, itu artinya seluruh pemerintahan harus diganti. Tentu saja omongan seperti itu tidak punya daya kejut lagi jika diletakkan dalam perspektif waktu hari ini. Yang menarik dari pernyataan itu memang bukanlah pesona retorisnya yang kini jadi melapuk, tetapi kenyataan bahwa Rendra sudah mengatakan apa yang agaknya memang “benar”—bahkan “benar” sampai hari ini.
Kita belum bisa seperti Cina, umpamanya, yang berani bertindak keras dan cepat dalam upaya menumpas korupsi. Kita, agaknya lebih suka mendahulukan “musyawarah” dan pendekatan “kekeluargaan”—bahkan juga dalam banyak urusan di luar korupsi. Seorang yang sudah terbukti jelas teroris dan pembunuh, umpamanya, masih bisa terus berlama-lama cengengesan dalam kamar selnya yang nyaman.
Kita memang bangsa yang penuh dengan rasa toleran, kekeluargaan, dan berbelas kasih pula. Kadang belas kasihan itu kita limpahkan untuk hal-hal yang jelas salah dan ngawur.Tapi, sudahlah.
(Image diambil dari media-ide-bajingloncat.com)
No comments:
Post a Comment