GUS DUR dulu pernah menulis buku yang diberi judul “Tuhan tak Perlu Dibela”. Saya tak pernah membaca buku itu sebetulnya, hanya melihat covernya sepintas. Tapi karena penulisnya Gus Dur, sosok yang kita kenal penuh dengan kelokan dan kejutan, dan karena beliau dikenal juga sebagai tokoh yang “moderat”, yang tak suka main mutlak-mutlakan, sepertinya kita bisa sedikit mereka-reka maksud bukunya itu.
Sepertinya Gus Dur hanya kepingin ngomong bahwa dalam usaha kita “membela” Tuhan, tidak usahlah kita sampai jatuh pada ekstrimitas yang hanya membuat masalahnya malah jadi tidak karuan. Sebab hakikatnya Tuhan memang tidak perlu pembelaan apa pun dari kita yang hanya debu di kakiNya ini. Dia itu Maha, tak kurang apa jua, tak butuh apa pun, maka apa toh sebetulnya yang bisa kita banggakan padaNya? Menjadi satpamNya atau centengNya? Rasanya kok tidak ya.
Sering terlihat juga bahwa dalam usaha “perjuangan” kita “membela Tuhan” sebetulnya yang kita lakukan hakikatnya adalah membela ego kita sendiri. Kita merasa terganggu ketika ada orang lain atau kelompok lain mempertanyakan, atau bahkan menyerang apa yang menjadi keyakinan kita—yang sebetulnya, kalau kita berani jujur, belum tentu bener lho di mataNya. Sebab sejauh menyangkut keberadaanNya, memang tak siapa pun (ulangi, tak siapa pun) berhak mengklaim tahu dan paham tentangNya.
Tapi kekerdilan akal manusiawi sering membuat kita jatuh pada pemutlakan sepihak, pada penghakiman pribadi atau golongan yang semena-mena. Kita sering jadi begitu jumawa dengan keyakinan itu, dan lalu “menajiskan” kelompok lain begitu saja. Kita berang pada keyakinan pihak lain itu, karena kita merasa diusik dari kenyamanan tidur dan mimpi kita. Kita, sering tak cukup siap menerima bahwa kenyataan ternyata berjarak—dan seringkali jaraknya demikian jauh—dari yang selama ini kita impikan.
Dalam konteks itu menjadi menariklah melihat bagaimana heboh lukisan Last Supper yang diparodikan majalah Tempo telah diselesaikan. Di sana tak terlihat gerombolan yang marah, yang mengacung-acungkan clurit atau pedang samurai lokal seraya menyeru-nyeru namaNya, dan lalu dengan semangat “jihad” merusak kantor orang, yang artinya menjungkirkan pundi-pundi rizki orang lain. Juga tak ada juga fatwa mati untuk siapa pun. Tak ada pastor atau uskup yang merasa ditempeleng. Tak ada pemimpin redaksi yang merasa terancam nyawanya. Semuanya diselesaikan dengan santun.
Pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa itu agaknya paham betul, bahwa kekerasan bukan jalan keluar yang elok. Mereka pun tampaknya sadar bahwa kesalahpahaman jamak terjadi dalam keserbamajemukan. Perbedaan tafsir menjadi niscaya, tak terhindarkan. Mereka, majalah Tempo di satu pihak dan Gereja Katolik di pihak lainnya, secara tersirat agaknya juga mengakui bahwa tak satu pun di antara mereka berhak memonopoli persepsi.
Tak siapa pun di antara mereka berhak merasa benar sepenuhnya, atau sebaliknya menganggap pihak lain salah sepenuhnya. Alangkah indahnya, kalau kita bisa hidup dalam adab yang demikian.
Sepertinya Gus Dur hanya kepingin ngomong bahwa dalam usaha kita “membela” Tuhan, tidak usahlah kita sampai jatuh pada ekstrimitas yang hanya membuat masalahnya malah jadi tidak karuan. Sebab hakikatnya Tuhan memang tidak perlu pembelaan apa pun dari kita yang hanya debu di kakiNya ini. Dia itu Maha, tak kurang apa jua, tak butuh apa pun, maka apa toh sebetulnya yang bisa kita banggakan padaNya? Menjadi satpamNya atau centengNya? Rasanya kok tidak ya.
Sering terlihat juga bahwa dalam usaha “perjuangan” kita “membela Tuhan” sebetulnya yang kita lakukan hakikatnya adalah membela ego kita sendiri. Kita merasa terganggu ketika ada orang lain atau kelompok lain mempertanyakan, atau bahkan menyerang apa yang menjadi keyakinan kita—yang sebetulnya, kalau kita berani jujur, belum tentu bener lho di mataNya. Sebab sejauh menyangkut keberadaanNya, memang tak siapa pun (ulangi, tak siapa pun) berhak mengklaim tahu dan paham tentangNya.
Tapi kekerdilan akal manusiawi sering membuat kita jatuh pada pemutlakan sepihak, pada penghakiman pribadi atau golongan yang semena-mena. Kita sering jadi begitu jumawa dengan keyakinan itu, dan lalu “menajiskan” kelompok lain begitu saja. Kita berang pada keyakinan pihak lain itu, karena kita merasa diusik dari kenyamanan tidur dan mimpi kita. Kita, sering tak cukup siap menerima bahwa kenyataan ternyata berjarak—dan seringkali jaraknya demikian jauh—dari yang selama ini kita impikan.
Dalam konteks itu menjadi menariklah melihat bagaimana heboh lukisan Last Supper yang diparodikan majalah Tempo telah diselesaikan. Di sana tak terlihat gerombolan yang marah, yang mengacung-acungkan clurit atau pedang samurai lokal seraya menyeru-nyeru namaNya, dan lalu dengan semangat “jihad” merusak kantor orang, yang artinya menjungkirkan pundi-pundi rizki orang lain. Juga tak ada juga fatwa mati untuk siapa pun. Tak ada pastor atau uskup yang merasa ditempeleng. Tak ada pemimpin redaksi yang merasa terancam nyawanya. Semuanya diselesaikan dengan santun.
Pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa itu agaknya paham betul, bahwa kekerasan bukan jalan keluar yang elok. Mereka pun tampaknya sadar bahwa kesalahpahaman jamak terjadi dalam keserbamajemukan. Perbedaan tafsir menjadi niscaya, tak terhindarkan. Mereka, majalah Tempo di satu pihak dan Gereja Katolik di pihak lainnya, secara tersirat agaknya juga mengakui bahwa tak satu pun di antara mereka berhak memonopoli persepsi.
Tak siapa pun di antara mereka berhak merasa benar sepenuhnya, atau sebaliknya menganggap pihak lain salah sepenuhnya. Alangkah indahnya, kalau kita bisa hidup dalam adab yang demikian.
4 comments:
Jangan sok tahu mas
maaf ya, dalam hal ini saya bukan "sok tahu", tapi memang tahu setahu-tahunya, paham?
Assalamualaikum
saya seorang muslim,walau belum mendalami islam sedalam-dalamnya..Saya selama ini banyak merenung klo ada orang bilang Tuhan gak perlu dibela.
Secara sepintas,tanpa dipikir secara mendalam hal itu memang benar.Karena memang Tuhan Maha Segalanya,berkuasa tanpa batas.
Tapi kalo dipikir lebih mendalam lagi,rasanya hal itu tidak benar. Kita selayaknya atau seharusnya membela Tuhan dengan sebenar-benarnya..kenapa?
Karena dengan kita membela Tuhan atau tidak alias berdiam diri saja dan menyalahkan umat Islam yg berusaha menegakkan agama Allah..maka Allah SWT akan bisa menilai hamba macam apakah kita ini??!
Coba kita renungkan,apa2 saja yg Allah berikan kpd kita..rejeki,kesehatan,jodoh,kebahagiaan dan msh banyak lagi
Dgn rahmat Allah yg sedemikian melimpahnya,tidak adakah dlm hati kita utk membalas semua itu??
Jika ya,berarti kita adalah hamba yg tahu berterima kasih,klo gak yg berarti kita hamba yg mau menerima ENAKNYA saja,TIDAK TAHU BERTERIMA KASIH ..dan saya yakin,kelak Allah akan memberikan rapornya kpd kita dan akan kita lihat hamba bermental apakah kita ini...
Dan kita mmg seharusnya haqul yaqin dgn agama kita..masalah agama adalah sebuah masalah keyakinan,apapun agamanya pasti akan tersinggung bila ada agama2 baru tp fotocopyan dr agama yg sdh ada kemudian ditambahi catatan2 tambahan.
Jgnkan masalah agama,masalah pelanggaran hak cipta aja kita akan terkena sanksi hukum apalagi ini masalah agama..
sekian dulu dr saya..
wassalam
Salam,
Terlalu "kecil" rasanya pikiran manusia uantuk mendalami kekuasaan Sang Pencipta.
Terlalu kecil (akal, pikiran, tenaga)manusia untuk membela Tuhan.
Bagaimana Anda membela Tuhan, membela diri sendiri, keluarga (anak, isteri, dll) belum tentu Anda mampu.
Dalam upaya mensyukuri nikmat yang kita peroleh dariNya (apapun agamanya) adalah berbuat baik terhadap sesama. Melakukan yang "satu" inipun tidak ada manusia yang sempurna. Konon ceritanya membela Tuhan?
Naif....
Post a Comment