KAMI menyebutnya “Seng Plaza”, lokasinya persis di pinggir sebuah jalan utama ibukota. Anda tak akan menemukan “plaza” yang satu ini dalam buku panduan wisata manapun. Seng Plaza memang hanya dikenal di kalangan yang sangat terbatas. Di tempat itulah biasanya kami melakukan ritual makan siang kami. Bergerombol atau sendirian, berguyon, sesekali berteriak melepas stres sebentar, sembari larak-lirik cuci mata sedikit.
Tersedia menu yang “lumayan”, tapi memang sangat “proletar” : gado-gado, sate ayam, pecel lele, aneka soto, gudeg, nasi goreng, mi goreng, dan beberapa jenis lagi. Untuk minum kalau soft drink biasa aja selalu ready. Kalau bosen, ada juga dijual aneka jus. Lumayan rasanya. Cukuplah menu-menu itu untuk digilir seminggu. Dan harganya cocok untuk kantong karyawan kecil macam kami yang serba ngepas, di zaman yang kayaknya tambah ngenes ini.
Itulah Seng Plaza. Oh ya, kenapa sampai disebut “Seng Plaza”, tidak lain karena tempat itu dikelilingi seng, juga beratapkan seng. Semuanya seng butut. Jauh sekali dari kesan artistik, malah sedikit kumuh, dan sebetulnya rada jorok juga. Memang sejatinya Seng Plaza hanyalah sebuah bedeng darurat. Jadi nama yang betul seharusnya “Warung Bedeng”, atau cukup disebut bedeng saja. Tapi mengikuti “selera Jakarta” kami gantilah namanya, meskipun pasti terdengar jadi ganjil di kuping.
Bukan, kami tak bermaksud bergenit-genit. Saya sendiri melihat ini sebagai cara kami menertawakan nasib, sekalian menyindir kecenderungan, konon, “metropolis” di sekitar kami. Ibukota yang ngakunya modern tapi kebanjiran saban tahun.
Tersedia menu yang “lumayan”, tapi memang sangat “proletar” : gado-gado, sate ayam, pecel lele, aneka soto, gudeg, nasi goreng, mi goreng, dan beberapa jenis lagi. Untuk minum kalau soft drink biasa aja selalu ready. Kalau bosen, ada juga dijual aneka jus. Lumayan rasanya. Cukuplah menu-menu itu untuk digilir seminggu. Dan harganya cocok untuk kantong karyawan kecil macam kami yang serba ngepas, di zaman yang kayaknya tambah ngenes ini.
Itulah Seng Plaza. Oh ya, kenapa sampai disebut “Seng Plaza”, tidak lain karena tempat itu dikelilingi seng, juga beratapkan seng. Semuanya seng butut. Jauh sekali dari kesan artistik, malah sedikit kumuh, dan sebetulnya rada jorok juga. Memang sejatinya Seng Plaza hanyalah sebuah bedeng darurat. Jadi nama yang betul seharusnya “Warung Bedeng”, atau cukup disebut bedeng saja. Tapi mengikuti “selera Jakarta” kami gantilah namanya, meskipun pasti terdengar jadi ganjil di kuping.
Bukan, kami tak bermaksud bergenit-genit. Saya sendiri melihat ini sebagai cara kami menertawakan nasib, sekalian menyindir kecenderungan, konon, “metropolis” di sekitar kami. Ibukota yang ngakunya modern tapi kebanjiran saban tahun.
No comments:
Post a Comment