BEBERAPA bloger senior sering memberi nasehat bahwa untuk konsumsi blog tulisan harus memenuhi antara lain dua syarat berikut. Pertama, hindari tulisan yang berpanjang-panjang. Sebab diyakini tak akan ada orang yang mau membuang-buang banyak waktu membaca tulisan yang panjang lebar itu.
Laku membaca di internet berbeda dengan kebiasaan membaca koran. Orang maunya yang ringkas, karena setiap waktu yang dipakai dalam kegiatan internet adalah uang. Makin lama waktu kita nongkrong di depan komputer, makin banyak duit atau ongkosnya. Beda dengan koran, mau dibaca berapa lama pun harga korannya ya tetap sebesar waktu koran itu dibeli.
Kedua, hindari bahasa yang sok resmi, apalagi “keriting”. Untuk blog, artikel yang dianggap baik adalah yang bahasanya nyantai, renyah dan gampang dikunyah. Syarat kedua ini melengkapi syarat pertama. Jadi kalau mau dirumuskan artikel yang “cocok” untuk blog adalah artikel yang ringkas, padat, tapi enteng cara penyampaiannya.
Saya juga setuju dengan anjuran “ringkas-padat-renyah” itu. Tapi kadang tidak mudah juga menaatinya. Ada tulisan yang memang harus dibuat “agak panjang”, dan “agak tidak mudah dikunyah”nya. Dan ternyata tidak selalu tulisan yang melanggar pakem “ringkas-padat-renyah” itu dijauhi pembaca.
Cobalah lihat blog Catatan Pinggirnya Goenawan Mohamad (GM). Artikel-artikel dalam blog itu sangat panjang untuk ukuran artikel blog umumnya (karena asalnya memang dibuat bukan untuk blog), dan bahasanya jauh dari renyah. Tapi pengunjungnya terus saja rame. Saya kira karena tulisan panjang dan “keriting” pun bisa nikmat dibaca.
Itu sangat tergantung dari bagaimana artikel itu diolah. GM, penulis catatan pinggir itu adalah seorang koki yang sangat piawai meramu tulisannya. Jadi kalau begitu masalahnya kembali ke rumus lama juga. Bukan masalah panjang pendek tulisannya, bukan juga apa yang ditulis, tapi “bagaimana” tulisan itu dibuat.
Jadi? Jangan takut sesekali bereksperimen melanggar aturan “ringkas-padat-renyah” itu.
Laku membaca di internet berbeda dengan kebiasaan membaca koran. Orang maunya yang ringkas, karena setiap waktu yang dipakai dalam kegiatan internet adalah uang. Makin lama waktu kita nongkrong di depan komputer, makin banyak duit atau ongkosnya. Beda dengan koran, mau dibaca berapa lama pun harga korannya ya tetap sebesar waktu koran itu dibeli.
Kedua, hindari bahasa yang sok resmi, apalagi “keriting”. Untuk blog, artikel yang dianggap baik adalah yang bahasanya nyantai, renyah dan gampang dikunyah. Syarat kedua ini melengkapi syarat pertama. Jadi kalau mau dirumuskan artikel yang “cocok” untuk blog adalah artikel yang ringkas, padat, tapi enteng cara penyampaiannya.
Saya juga setuju dengan anjuran “ringkas-padat-renyah” itu. Tapi kadang tidak mudah juga menaatinya. Ada tulisan yang memang harus dibuat “agak panjang”, dan “agak tidak mudah dikunyah”nya. Dan ternyata tidak selalu tulisan yang melanggar pakem “ringkas-padat-renyah” itu dijauhi pembaca.
Cobalah lihat blog Catatan Pinggirnya Goenawan Mohamad (GM). Artikel-artikel dalam blog itu sangat panjang untuk ukuran artikel blog umumnya (karena asalnya memang dibuat bukan untuk blog), dan bahasanya jauh dari renyah. Tapi pengunjungnya terus saja rame. Saya kira karena tulisan panjang dan “keriting” pun bisa nikmat dibaca.
Itu sangat tergantung dari bagaimana artikel itu diolah. GM, penulis catatan pinggir itu adalah seorang koki yang sangat piawai meramu tulisannya. Jadi kalau begitu masalahnya kembali ke rumus lama juga. Bukan masalah panjang pendek tulisannya, bukan juga apa yang ditulis, tapi “bagaimana” tulisan itu dibuat.
Jadi? Jangan takut sesekali bereksperimen melanggar aturan “ringkas-padat-renyah” itu.
No comments:
Post a Comment