ANTARA Amrozi, teroris bom Bali, dan Ryan, waria tersangka pembunuhan berantai itu, ternyata ada kemiripan. Keduanya keluaran pesantren, keduanya dikenal sebagai seorang muslim yang tekun beribadah. Ryan malah pernah jadi guru mengaji. Diceritakan bahwa ia pun seorang penyayang tanaman dan ikan yang takzim. Kabarnya ia suka mengajak “ngobrol” ikan-ikannya.
Tapi persamaan paling penting tentu saja bahwa keduanya pembunuh, dan tidak merasa bersalah melakukan hal itu. Tapi kalau Ryan, sejauh ini tampak tampil cuek dan dingin, Amrozi malah sering kelihatan cengengesan. Mungkin dia bangga sudah berhasil membantai nyawa ratusan orang yang tidak tahu apa dosanya sampai harus bernasib apes begitu.
Apabila ada perbedaan di antara mereka, maka itu hanyalah soal persepsi belaka. Kalau Ryan mungkin membunuh karena desakan kebutuhan perut, adalah Amrozi membantai korbannya dengan alasan “luhur” dan “mulia”, yakni “memerangi” kemaksiatan. Bahwa ternyata banyak di antara korbannya “orang baik-baik”, biarlah nanti Amrozi sendiri yang membereskan soal itu
Perbedaan lain antara mereka adalah soal cap atau label yang dipasangkan pada keduanya. Kalau untuk “monster” sejenis Ryan kita tak ragu menyebutnya “jagal”, maka untuk Amrozi agaknya ada sedikit “kebingungan”. Bagi sebagian orang, khususnya orang Bali, Amrozi jelas penjahat besar, tapi tidak demikian untuk kelompok lainnya. Kita tahu, ada yang malah menganggap Amrozi itu “pahlawan”, “martir” yang layak dikenang dan ditangisi kalau nanti ia jadi juga dieksekusi.
Tapi persamaan paling penting tentu saja bahwa keduanya pembunuh, dan tidak merasa bersalah melakukan hal itu. Tapi kalau Ryan, sejauh ini tampak tampil cuek dan dingin, Amrozi malah sering kelihatan cengengesan. Mungkin dia bangga sudah berhasil membantai nyawa ratusan orang yang tidak tahu apa dosanya sampai harus bernasib apes begitu.
Apabila ada perbedaan di antara mereka, maka itu hanyalah soal persepsi belaka. Kalau Ryan mungkin membunuh karena desakan kebutuhan perut, adalah Amrozi membantai korbannya dengan alasan “luhur” dan “mulia”, yakni “memerangi” kemaksiatan. Bahwa ternyata banyak di antara korbannya “orang baik-baik”, biarlah nanti Amrozi sendiri yang membereskan soal itu
Perbedaan lain antara mereka adalah soal cap atau label yang dipasangkan pada keduanya. Kalau untuk “monster” sejenis Ryan kita tak ragu menyebutnya “jagal”, maka untuk Amrozi agaknya ada sedikit “kebingungan”. Bagi sebagian orang, khususnya orang Bali, Amrozi jelas penjahat besar, tapi tidak demikian untuk kelompok lainnya. Kita tahu, ada yang malah menganggap Amrozi itu “pahlawan”, “martir” yang layak dikenang dan ditangisi kalau nanti ia jadi juga dieksekusi.