HARI-HARI ini sedang terjadi semacam “perang kecil” antara Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) versus Pemerintah, dalam hal ini Menteri Perhubungan. Tentu saja itu dalam kaitan dengan urusan ongkos transportasi angkutan dalam kota (yang luar kota sepertinya sudah bisa didamaikan). Pemicu awalnya adalah turunnya harga bensin beberapa waktu yang lalu menjadi kembali ke harga 4.500 per liter.
Kosumen (diwakili YLKI) dan didukung Pemerintah (Menteri Keuangan & Perhubungan) menuntut supaya pihak Organda bersikap adil dengan menurunkan juga tarif angkutan kota dengan jumlah yang signifikan. Jumlah yang dituntut adalah sebesar 500 rupiah. Ini adalah jumlah yang diyakini akan memberi stimulus bagi kemampuan belanja khalayak. Namun Organda rupanya berat mengabulkan tuntutan itu. Untuk berkelit lalu mereka menunculkan formula turun 200 maksimum 300 rupiah.
Mereka paham sekali apabila formula ajaib ini disetujui, dalam prakteknya nanti penurunan itu akan sulit diterapkan. Formula itu akan memudahkan para sopir dan kondektur berdalih “tidak ada uang kecil untuk kembalian", sehingga akhirnya penumpang akan dipaksa “mengalah” dan ujung-ujungnya menjadi terbiasa tetap membayar dengan kondisi tarif yang saat ini berlaku.
Banyak alasan diajukan pihak Organda. Misalnya mereka selalu menyebut mahalnya harga onderdil (yang tidak ikut turun) sebagai alasan utama keberatan mereka. Menurut mereka harga bensin juga hanya menyumbang “kecil” saja dalam hitung-hitungan cost. Jadi, dalam logika orang-orang “pandai” di Organda, turunnya harga bensin sampai 1.500 rupiah (25%) belum lama ini rupanya “tidak berarti banyak”.
Perseteruan itu kini memasuki babak baru setelah DPRD ternyata juga setuju pada tuntutan turun 500 rupiah. Kalau Fauzi Bowo selalu pimpinan kota (DKI) juga mengamini putusan DPRD (dan Foke sudah memberi sinyal ke arah itu) praktis Organda akan menjadi sendirian dan terpojok—dan secara logika hukum ketatanegraan mustinya mereka buru-buru “bertobat” dan mengaku kalah.
Tapi alih-alih mengaku keok, Organda justru berbalik mengancam akan memobilisasi pemogokan angkutan kota apabila penurunan tarif dengan jumlah 500 rupiah itu disetujui gubernur (Koran Tempo, 23 Januari 2009). Ini aneh, padahal para sopir angkotnya saja sudah bersedia menurunkan ongkos, dan bahkan mereka bilang penurunan itu masih menutup uang setoran, seperti dilansir Detik.com di sini.
Bagi saya sangat menarik menanti hasil akhir dari “perang kecil” ini. Jika berhadapan dengan “semut nakal” macam Organda saja sampai kalah gertak, bagaimana kita lalu musti menilai kewibawaan pemerintah ini?
Kosumen (diwakili YLKI) dan didukung Pemerintah (Menteri Keuangan & Perhubungan) menuntut supaya pihak Organda bersikap adil dengan menurunkan juga tarif angkutan kota dengan jumlah yang signifikan. Jumlah yang dituntut adalah sebesar 500 rupiah. Ini adalah jumlah yang diyakini akan memberi stimulus bagi kemampuan belanja khalayak. Namun Organda rupanya berat mengabulkan tuntutan itu. Untuk berkelit lalu mereka menunculkan formula turun 200 maksimum 300 rupiah.
Mereka paham sekali apabila formula ajaib ini disetujui, dalam prakteknya nanti penurunan itu akan sulit diterapkan. Formula itu akan memudahkan para sopir dan kondektur berdalih “tidak ada uang kecil untuk kembalian", sehingga akhirnya penumpang akan dipaksa “mengalah” dan ujung-ujungnya menjadi terbiasa tetap membayar dengan kondisi tarif yang saat ini berlaku.
Banyak alasan diajukan pihak Organda. Misalnya mereka selalu menyebut mahalnya harga onderdil (yang tidak ikut turun) sebagai alasan utama keberatan mereka. Menurut mereka harga bensin juga hanya menyumbang “kecil” saja dalam hitung-hitungan cost. Jadi, dalam logika orang-orang “pandai” di Organda, turunnya harga bensin sampai 1.500 rupiah (25%) belum lama ini rupanya “tidak berarti banyak”.
Perseteruan itu kini memasuki babak baru setelah DPRD ternyata juga setuju pada tuntutan turun 500 rupiah. Kalau Fauzi Bowo selalu pimpinan kota (DKI) juga mengamini putusan DPRD (dan Foke sudah memberi sinyal ke arah itu) praktis Organda akan menjadi sendirian dan terpojok—dan secara logika hukum ketatanegraan mustinya mereka buru-buru “bertobat” dan mengaku kalah.
Tapi alih-alih mengaku keok, Organda justru berbalik mengancam akan memobilisasi pemogokan angkutan kota apabila penurunan tarif dengan jumlah 500 rupiah itu disetujui gubernur (Koran Tempo, 23 Januari 2009). Ini aneh, padahal para sopir angkotnya saja sudah bersedia menurunkan ongkos, dan bahkan mereka bilang penurunan itu masih menutup uang setoran, seperti dilansir Detik.com di sini.
Bagi saya sangat menarik menanti hasil akhir dari “perang kecil” ini. Jika berhadapan dengan “semut nakal” macam Organda saja sampai kalah gertak, bagaimana kita lalu musti menilai kewibawaan pemerintah ini?
2 comments:
organda sepertinya hanya memberi alasan-alasan yang yang ga masuk akal..
andaikan memang bener BBM tidak begitu ngaruh sama ongkos angkutan, kenapa mereka secara otomatis naik saat BBM naik..
bila yang sangat berpengaruh adalah onderdil, kenapa harus menaikan ongkos nya saat BBM naik, kan ga ada pengaruh BBM dan onderdil..
blogwalking..
ya begitulah agaknya, trims udah blogwalking ke sini
Post a Comment