Meski dengan persiapan yang tidak maksimal—karena perhatian dan waktunya tersedot oleh kesibukan di panggung politik—Manny Pacman Pacquiao membuktikan bahwa ia memang bukan sembarang juara. Di Cowboys Stadium, Arlington Texas, kemarin ia sukses mempecundangi lawannya, jawara tinju asal Meksiko dengan nama tidak sembarangan pula, Antonio Margarito. Dengan delapan gelar yang sudah dimenanginya itu, kini bahkan sebutan “superman” pun rasanya tidak kelewat berlebihan untuk disandangkan pada namanya.
Betul, karena keharusan menambah berat badan, tenaga jotosan Pacquiao masih belum memadai untuk bisa menjatuhkan Margarito yang bertubuh jauh lebih tinggi itu. Tapi kecepatan pukulan petinju kebanggaan Filipina itu tidaklah berkurang. Dengan leluasa ia “menyiksa” lawannya, menghajarnya bolak-balik hingga wajah Margarito kehilangan bentuk aslinya.
Pacquiao membuktikan bahwa tubuh pendek Asia samasekali tidak menjadi halangan untuk membuat prestasi luar biasa di ring tinju. Selain kecepatan tangannya, footworknya juga bagus. Beberapa kali Maragarito berhasil mengurungnya, dan sepertinya bakal berhasil “menelan” lawannya, tapi setiap kali juga dengan cerdik sang Pacman lolos dari kurungan berbahaya itu.
Seusai laga sensasional kemarin, orang kembali membincangkan kemungkinan mempertemukan Pacquiao dengan Flyod Mayweather Jr, pemegang juara di 5 gelar berbeda, yang belum pernah kalah. Apakah mungkin “super laga” mereka bakal terlaksana? Faktanya sejauh ini Mayweather terus menghindar dari Manny. Bob Arum sampai meledaknya “pengecut”, tapi Mayweather sepertinya “pura-pura” tak mendengar ejekan itu. (Aih, mungkin betul ia “jeri” pada si Filipino, dan lebih suka memilih menggebuki istrinya sendiri).
Manny Pacquiao sendiri sebetulnya punya pilihan bijak lain.Dengan prestasi monumentalnya saat ini, ia memang tak perlu lagi membuktikan apa pun. Inilah waktu terbaiknya untuk mundur secara terhormat dari ring tinju. Jika pilihan ini yang diambilnya maka namanya bakal kekal melegenda. Tapi banyak orang agaknya masih terus penasaran dan mengharapkan terjadinya super laga melawan Floyd Mayweather itu. Pun pacquiao sendiri sepertinya juga masih memendam hasrat itu.
Mungkin, Manny memang sebaiknya mundur, kecuali ia bisa mendapatkan Mayweather.
15 November 2010
12 November 2010
Maaf, Blog Tak Akan Mati
Blog tak akan mati, setidaknya tidak akan secepat ini. Situs jejaring sosial, sebutlah Facebook atau Twitter, boleh saja semakin banyak mengumpulkan peminat dan penggilanya, tapi blog tak akan gampang-gampang ditaklukkan.
Mengapa Facebook bisa begitu digemari? Karena ia menawari penggunanya kemudahan. Kemudahan mengaksesnya, tapi terutama adalah kemudahan mengumpulkan jaringan teman yang lalu pada akhirnya membentuk komunitasnya.
Jalan dan proses yang super instan ini tidak tersedia pada blog. Ketika seseorang membuat blog ia memerlukan jauh lebih banyak kerja keras (dan waktu) sebelum bisa membentuk jaringan komunitasnya. Masalahnya, tidak semua blog (atau blogger) cukup punya stamina untuk sampai ke sana
Seorang blogger dituntut untuk bisa disiplin mengisi blognya, dengan artikel fresh dan dalam jumlah memadai (dua atau tiga artikel seminggu, paling tidak), atau ia akan ditinggalkan pembacanya. Tapi menulis 2 atau 3 artikel baru dalam sepekan jelaslah pekerjaan yang jauh lebih berkeringat (dan “berdarah”) ketimbang hanya melemparkan celutukan ngasal seperti kita terbiasa melakukannya di Twitter.
Sejauh ini kita belum lagi menyenggol masalah seputar “bagaimana memanfaatkan jasa gratis mesin pencari” (SEO), karena sebuah blog—sebagus apa pun isinya, setenar apa pun penulisnya—tidak bisa serta merta ngetop, dan dikenali. Kita perlu tahu juga cara dan trik bagaimana “mengakali” mesin pencari, supaya blog kita tidak perlu kelewat lama ada dalam posisi “anonim”.
Singkatnya, sebuah blog memerlukan jauh lebih banyak daya sebelum bisa eksis di jagat maya.
Facebook dan Twitter hadir pada waktu yang pas, yakni ketika orang mulai merasakan kejenuhan karena kehadiran blog yang begitu bejibun. Tawaran instan yang dijajakannya serta merta menarik hati mereka yang merasa tak begitu nyaman dengan pilihan sunyi dan melelahkan yang disyaratkan kepada seorang blogger.
Ada baiknya juga kehadiran situs jejaring sosial ini. Kemunculannya telah menciptakan seleksi alamiah besar-besaran di ranah blog: para blogger yang hanya ngeblog dengan setengah hati, dengan segera berguguran, dan beralih ke Facebook atau Twitter.
Mereka yang pada akhirnya tetap setia ngeblog adalah mereka yang memang mencintai blog, atau pekerjaan menulis itu sendiri. Mereka tak begitu hirau meskipun tak ada teman yang heboh bermomentar. Mereka akan tetap menulis dengan passion, ada atau tidak ada orang yang menyoraki.
Maka blog memang tidak akan mati. Tapi ia kini hanya menjadi milik “segelintir” mereka yang “lebih serius”. Sedang mereka yang hanya kepingin sekedar “numpang pipis” atau “buang ingus” akan dengan sendirinya berkerumun di sekitar situs jejaring sosial yang riuh rendah itu.
Mengapa Facebook bisa begitu digemari? Karena ia menawari penggunanya kemudahan. Kemudahan mengaksesnya, tapi terutama adalah kemudahan mengumpulkan jaringan teman yang lalu pada akhirnya membentuk komunitasnya.
Jalan dan proses yang super instan ini tidak tersedia pada blog. Ketika seseorang membuat blog ia memerlukan jauh lebih banyak kerja keras (dan waktu) sebelum bisa membentuk jaringan komunitasnya. Masalahnya, tidak semua blog (atau blogger) cukup punya stamina untuk sampai ke sana
Seorang blogger dituntut untuk bisa disiplin mengisi blognya, dengan artikel fresh dan dalam jumlah memadai (dua atau tiga artikel seminggu, paling tidak), atau ia akan ditinggalkan pembacanya. Tapi menulis 2 atau 3 artikel baru dalam sepekan jelaslah pekerjaan yang jauh lebih berkeringat (dan “berdarah”) ketimbang hanya melemparkan celutukan ngasal seperti kita terbiasa melakukannya di Twitter.
Sejauh ini kita belum lagi menyenggol masalah seputar “bagaimana memanfaatkan jasa gratis mesin pencari” (SEO), karena sebuah blog—sebagus apa pun isinya, setenar apa pun penulisnya—tidak bisa serta merta ngetop, dan dikenali. Kita perlu tahu juga cara dan trik bagaimana “mengakali” mesin pencari, supaya blog kita tidak perlu kelewat lama ada dalam posisi “anonim”.
Singkatnya, sebuah blog memerlukan jauh lebih banyak daya sebelum bisa eksis di jagat maya.
Facebook dan Twitter hadir pada waktu yang pas, yakni ketika orang mulai merasakan kejenuhan karena kehadiran blog yang begitu bejibun. Tawaran instan yang dijajakannya serta merta menarik hati mereka yang merasa tak begitu nyaman dengan pilihan sunyi dan melelahkan yang disyaratkan kepada seorang blogger.
Ada baiknya juga kehadiran situs jejaring sosial ini. Kemunculannya telah menciptakan seleksi alamiah besar-besaran di ranah blog: para blogger yang hanya ngeblog dengan setengah hati, dengan segera berguguran, dan beralih ke Facebook atau Twitter.
Mereka yang pada akhirnya tetap setia ngeblog adalah mereka yang memang mencintai blog, atau pekerjaan menulis itu sendiri. Mereka tak begitu hirau meskipun tak ada teman yang heboh bermomentar. Mereka akan tetap menulis dengan passion, ada atau tidak ada orang yang menyoraki.
Maka blog memang tidak akan mati. Tapi ia kini hanya menjadi milik “segelintir” mereka yang “lebih serius”. Sedang mereka yang hanya kepingin sekedar “numpang pipis” atau “buang ingus” akan dengan sendirinya berkerumun di sekitar situs jejaring sosial yang riuh rendah itu.
Subscribe to:
Posts (Atom)