27 January 2015

Cerita Silat: See Yan Tjin Djin dan Penerbit Lainnya



KETIKA mengawali seri tulisan cerita silat ini saya mengira (bahkan hampir memastikan) bahwa nasib genre sastra yang satu ini sudah bisa dipastikan “tamat”. Tapi penelusuran lebih jauh ternyata membawa saya pada kesimpulan yang tidak semata hitam putih belaka.  Arus besar penerbitan ulang buku-buku cerita silat lama memang sudah terhenti, tetapi untuk menyimpulkan bahwa cerita silat Cina sudah “selesai”, agaknya tidak tepat juga.

Saya baru mendusin bahwa di luar Binarto Gani (Pantja Satya) dan Bing Cahyono (Wastu Lanas Grafika) ternyata ada sejumlah pemain lain yang ikut juga meramaikan “dunia cerita persilatan” ini.  Tersebutlah ADD Publishing dan Anjaya Books yang fokus pada penerbitan buku-buku Oey Kim Tiang (OKT)  dan Boe Beng Tjoe.  Format buku terbitan mereka untuk sebagian masih setia pada tampilan buku aslinya, tapi sebagian lagi sudah mengambil tampilan yang lebih “hari ini”. Untuk bahasa dan gaya tutur, syuikurlah, mereka sejalan dengan Wastu Lanas Grafika. Hemat saya, buku-buku terbitan mereka digarap dengan cukup apik, tidak malu-maluin untuk ditenteng ke mana-mana.

Ada juga Tjan Brothers Publishing yang, dari namanya saja sudah bisa diraba, fokus pada karya-karya terjemahan Tjan Ing Djioe alias Tjan ID.  Penerjemah yang satu ini sejak awal sudah memiliki jalannya sendiri—ia berada di luar mainstream yang selama bertahun-tahun “dikuasai” duet Pantja Satya (Semarang) dan Keng Po-Mekar Jaya (Jakarta).  Publik cerita silat semula berharap banyak pada Tjan selewatnya generasi sepuh OKT dan Gan KL. Tapi harapan itu mungkin agak terlalu muluk. Karya-karya terjemahannya (meski cukup bejibun) ternyata seperti kurang memiliki perbawa jika dibanding dengan karya-karya dua Cianpwe legendaris pendahulunya.

Tapi yang paling membuat surpise adalah kehadiran penerbit See Yan Tjin Djin dari Bandung. Dari gudang cetak mereka sudah cukup banyak buku yang beredar saat ini. Dan jika saya tak khilaf, semuanya adalah buku-buku terjemahan anyar alias baru (bukan proyek lama yang diulang). Entah siapa yang bertindak selaku penerjemahnya. Buku-buku See Yan Tjin Djin memiliki tampilan yang baru pula, sangat beda dengan “saudara-saudaranya” terdahulu. Akan hal  bagaimana gerangan rasa kisahnya (cukup sedapkah atau biasa saja), saya belum lagi beruntung sempat menyicipinya.  Ssst, satu dua judul sudah saya incar.

Jadi memang tersedia sejumlah pilihan. Penggemar cerita silat yang netral bisa menjajal buku-buku keluaran See Yan Tjin Djin dan Tjan Publishing (atau penerbit macam Sanjaya yang sudah lama eksis sebetulnya, tapi tak cukup terekspos). Mereka yang fanatik pada karya-karya terjemahan klasik OKT dan Gan KL silakan meneruskan perburuannya ke” liang-liang rase”.  Kalau memang berjodoh, sejumlah kitab mestika bukan tak mungkin akan jadi milik mereka. Jika tak kunjung mendapatkannya bolehlah sedikit menurunkan standar buruan dan  kemudian mengalihkan sasaran ke Pantja Satya dan Wastu Lanas Grafika (bersama Masyarakat Tjerita Silat) seraya berharap mereka belum kapok berjualan buku-buku “ganjil” itu.

21 January 2015

Cerita Silat: Bing Cahyono dan Masyarakat Tjersil



BING CAHYONO, “sang Tongshia dari Surabaya” menempuh jalan yang lebih idealis. Bing, yang memang seorang kolektor buku cerita silat tulen, mencoba menghadirkan kembali buku-buku cerita silat lama sesuai aslinya.  Ia bukan hanya mempertahankan ejaan yang dipakai (khususnya untuk nama tokoh dan istilah “baku” semisal “liehiap” untuk sebutan “pendekar wanita” ) tapi juga mencoba mempertahankan ukuran buku dan perwajahan depan buku sesuai aslinya dulu.

Bersama dengan Masyarakat Tjerita Silat (MTjersil) Surabaya ia mengaku ingin menghilangkan kesan “murahan” yang menempel pada buku-buku cerita silat. Buku-buku terbitannya biasanya muncul dalam format tebal (tak lagi dalam jilid lepasan), tersedia dalam edisi Soft Cover dan Hard Cover, lengkap dengan box yang lumayan keren. Sebagai penggemar lama terus terang saya merasa sangat berterima kasih sekaligus beruntung bisa mendapatkan kembali buku-buku lawas tjianpwe Oey Kiem Tiang (OKT) dan Boe Beng Tjoe dalam kondisi yang sangat “mewah” itu
               
Sayang, pada  penerbitan-penerbitan yang paling akhir buku-buku mereka telah bersalin rupa. Kesan “artistik” yang pada awalnya hadir dengan kuat, kini pupus sudah. Entah ada kisah perseteruan apa di belakang bersalin rupanya buku-buku terbitan Bing Cahyono cs, yang pasti bagi saya justru buku-buku mereka sekarang malah jelas terkesan “murahan”—satu hal yang dulu ingin dijauhi. Lihatlah apa yang terjadi pada penerbitan ulang buku "Soat San Hoei Houw" dan "Hoei Ho Gwa Toan". Sungguh sebuah kecelakaan artistik yang sangat patut disayangkan.

Untunglah Bing masih konsisten mempertahannkan “gaya tutur” sebagaimana dalam kisah aslinya, sehingga “roh” tjianpwe OKT (dan Boe Beng Tjoe) masih bisa kita rasakan kehadirannya saat membolak-balik halaman kitabnya.

18 January 2015

Cerita Silat: Pantja Satya dan Binarto Gani



SUNGGUH menarik melihat bagaimana para penggagas penerbitan ulang buku-buku cerita silat djadoel menyiasati barang dagangannya agar tetap diterima zaman yang berbeda. Adalah Binarto Gani di Semarang dan Bing Cahyono di Surabaya yang pada mulanya mengawali usaha cetak ulang kitab-kitab antik dan langka itu.

Binarto Gani adalah anak dari tjianpwe Gan Kok Liang (Gan KL), itu sebabnya ia fokus pada usaha menerbitkan karya-karya sang ayahanda. Sementara Bing Cahyono, yang oleh majalah Rimba Hijau dijuluki “Tong Shia dari Surabaya” berkutat pada karya-karya tjianpwe Oey Kim Tiang (OKT) dan Boe Beng Tjoe. Ada juga karya tjianpwe Gan Kok Hwie (Gan KH, adik kandung tjianpwe Gan KL) yang ia terbitkan ulang. Gani dan Bing memiliki strategi pemasaran yang berbeda.  

Menyadari bahwa bahasa atawa “gaya tutur” menjadi penghalang utama bagi pembaca generasi masa kini untuk bisa menikmati cerita silat djadoel ini, Binarto Gani  lewat penerbit Pantja Satya sudah sejak semula mengobrak-abrik “gaya tutur” sang ayahanda menjadi gaya bercerita yang, menurutnya sendiri, “lebih sesuai dengan situasi sekarang”. Pembaca cersil dari generasi lama, macam saya ini, kecewa berat dengan pendekatan teknis Gani ini. Ia kelewat naïf, mengira bahwa kerja mengarang hanyalah bagaimana berkisah menurut kaidah ejaan bahasa yang baku. Entah bagaimana tanggapan sang ayahanda jika tahu hasil karyanya dipertukangkan seperti itu.

Karena itu belakangan saya pun “menjauhi” buku-buku terbitan Pantja Satya (Binarto Gani). Rasanya seperti menjamah barang-barang palsu atau tiruan. Jika menginginkan barang yang asli, saya akan mencari buku-buku lama Gan KL, tapi sungguh bukan kerja mudah (dan tidak pula murah) menemukan buku-buku asli Gan KL. Sampai sekarang saya hanya punya beberapa judul saja, itu pun bukan karya-karya "unggulan" beliau. Apa boleh buat, daripada membeli karya-karya "siucay tetiron" macam Binarto Gani.

15 January 2015

Cerita Silat: Bangkit dan Pingsan Lagi



NASIB cerita silat Cina agaknya sudah ditentukan. Pernah mengalami “zaman keemasan” selama beberapa dasawarsa (1950 – 1970-an), “raib” sejak dekade 80, sejumlah pencinta fanatiknya kemudian mencoba menghidupkannya kembali sekitar 2004 yang lalu.  Mereka mencetak dan menerbitkan ulang buku-buku yang pernah menjadi “buah bibir” pada masanya: Serial Thian San buah kalam Liang I Shen yang legendaris itu, trilogi Pendekar Burung Rajawali-nya Chin Yung dan masih seabreg judul lagi. Sebuah majalah pun—Rimba Hijau--sempat diterbitkan guna menampung gelegak kerinduan yang mendadak meluap ketika itu, lantas ada pula pameran buku cersil , workshop, temu pengarang dan sebuah milis bernama Masyarakat Tjerita Silat menjadi ajang yang ramai tempat “para enghiong” pasang omong di dunia maya.   

Tapi eforia itu hanya berlangsung sebentar. Sejatinya komunitas penggemar cerita silat Cina memang hanya itu-itu saja. Mereka adalah para “pemain lama” yang sewaktu cersil mengalami zaman kejayaannya  umumnya masih para remaja tanggung. Persis memang mereka inilah yang paling gegap gempita menyambut kehadiran kembali buku-buku lama itu. Tapi usaha untuk “hadir kembali” itu ternyata tidak begitu berhasil untuk menggaet “anggota baru” dari generasi yang datang belakangan.

Generasi pembaca yang belakangan ini ternyata tidak bisa sepenuhnya “cocok” dengan kitab-kitab lawas itu. Mereka umumnya merasa tak nyaman dan "tak nyambung" dengan gaya tutur "aneh" yang menghuni buku-buku itu. Soalnya sederhana saja sebetulnya, zaman memang sudah berubah, selera pun berganti. Lagi pula sekarang ada pilihan yang lebih “menggoda” dan “mudah” untuk bisa menikmati cerita silat: nonton langsung video filmnya. Situasinya memang tak mudah untuk genre novel ini kembali eksis.

Jadi begitulah, gegap gempita penerbitan ulang cerita silat lama segera menjadi adem, majalah Rimba Hijau pun gugur sesudah sempat bertahan 5 nomor. Daya serap pasar terhadap buku-buku yang kadung terbit ulang itu membikin para pemrakarsanya ketar-ketir, meskipun setahu saya buku-buku itu akhirnya ludes terjual juga.

14 August 2014

Good Bye Robin Williams ...

AKTOR-komedian Robin Williams ditemukan dalam kondisi tak bernyawa di kediamannya, di Marin Counter, California, Amerika Serikat, pada 11 Agustus 2014  Kuat dugaan kematiannya karena bunuh diri. Dunia hiburan pun tersentak. Betapa mudahnya kita terkecoh oleh yang nampak secara kasat mata. Betapa jauhnya ternyata jarak antara apa yang kita saksikan di panggung yang "gemerlap" itu dengan kenyataan yang sebenar-benarnya. Kita kerap lupa bahwa nun di luar panggung "gemerlap tapi semu" itu ternyata masih ada "panggung" lain, bahkan panggung ini disarati dengan kisah yang terlebih menyedot haru biru.

Kita pun diingatkan kembali bahwa "kebahagiaan" ternyata sering tidak ada hubungannya sama sekali dengan keberlimpahan materi, dengan popularitas, singkatnya dengan semua yang disebut sukses duniawi. Bahwa manusia sungguh sosok yang unik dan kompleks. Kita pun acap luput memahaminya. Ah, rasanya kita tak pernah bakal sanggup menyelami spesies absurd yang satu ini.

Jika diumpamakan "sumur", maka manusia adalah sebuah sumur yang mungkin tak berdasar. Kita harus puas hanya dengan bisa meraba kasar permukaannya, selebihnya hanya sunyi yang tak berkabar.  Seperti larik sebuah puisi lawas Amerika, yang kemudian pernah dipahatkan juga pada batu nisan almarhum Soe Hok Gie: "Nobody knows the troubles, Nobody knows my sorrow ..." Tak seorang pun paham kesedihan-kesedihan saya.
.
Sampai klimaks itu terjadi, dan kita tertegun, bertanya-tanya, "Apa yang terjadi Williams?" Ah, tak adil rasanya menyodorkan lagi tanya itu kepadanya. Pertanyaan adalah bagian kita yang masih tinggal. Kita yang terus mencoba bertahan, dengan segala kepedihan hidup masing-masing. Dengan segala harapan, dengan panggilan-panggilannnya yang sayup dan rahasia. Good Bye Robin ...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...