DALAM tugasnya selaku orang nomor satu di Jakarta kelak, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok akan "berperang" di dua front "nyata" dan satu front yang "tak nyata". Front nyata adalah agenda besarnya membereskan ibu kota dari masalah klasiknya yaitu banjir, kemacetan dan masalah keamanan. Satu front nyata lainnya adalah perangnya melawan anasir-anasir lama yang korup yang selama ini bercokol dalam sistem pemerintahan.
Sukses tidaknya perang di front pertama antara lain tergantung juga pada bisa tidaknya Ahok memenangi perangnya melawan pihak-pihak yang mencoba bertahan pada pola pemikiran lama dalam sistem. Mereka yang selama ini diuntungkan oleh macetnya birokrasi dan bobroknya mental pejabat sangat berpotensi menjadi penjegal suksesnya agenda kerja sang gubernur.
Sementara itu Gubernur Ahok juga masih mempunyai PR lain. Diakui atau tidak, latar belakang ke"cina"an sang gubernur memberikannya beban tambahan.Latar belakang yang dalam konteks Jakarta yang majemuk jadi tampak "tak lazim" itu, diakui atau tidak, membuat sebagian warga memendam rasa tak suka padanya. Inilah yang saya maksud dengan perang di front "tak nyata" itu. Disebut "tak nyata" karena kita enggan mengakuinya, padahal itu memang ada.
Gaya kerja Ahok yang cenderung "main hantam" tanpa memilih-milih korban (bebeapa kali ia bilang "tak takut dituduh melanggar HAM") bisa saja makin memperumit situasi perang di front ketiga ini. Jika boleh usul, mungkin sebaiknya ia sedikit mengerem nafsunya untuk gampang-gampang "main sikat", terutama kalau itu akan berdampak pada kelompok warga kelas bawah.
Apakah hal semacam ini bisa masuk dalam pertimbangannya, saya tentu saja tak tahu.
No comments:
Post a Comment