17 January 2008

Betulkah Suharto (Maaf) Sekarat?

TEMAN saya, bang Asbun, mengajukan pertanyaan “gila” itu kemarin sore. “Cobalah pikir”, katanya dengan gaya yang dibikin polemis, “Betul nggak sih sebetulnya Pak Harto sekarat?” Karena tahu siapa dia saya tak menanggapi, tapi saya yakin dia akan terus nyerocos. Dan betul. Dia ngomong lagi, dengan suara yang sekarang agak dipelankan, soalnya yang bisa masuk ke dalam kamar sang ‘babe’ kan hanya orang-orang tertentu saja. Sangat ketat seleksinya. Jadi? Ya, karena itu kita kan jadi nggak tahu apa yang sebetulnya terjadi di sana.

Saya tak tahan juga dan coba membantah. Tapi mosok dokter-dokter terhormat itu bisa-bisanya bohong? Atas pertanyaan saya itu, bang Asbun melempar senyum penuh arti sebelum menjawab. You selalu begitu. You naif you, katanya menirukan gaya bicara Meriam Belina dalam sebuah sinetron. Ini politik bung, you tahu kan dalam politik semua bisa dibuat, bisa diaturlah. Apalagi ini menyangkut urusan orang yang pernah begitu “maha kuasa” di sini. You jangan lupa you, si ‘babe’ kita ini masih punya segalanya—biarpun kelihatannya sudah bangkrut begitu.

Baiklah, kata saya, tapi apa dong “goal” atau target yang mau diuber dengan sandiwara super mahal—dan riskan ini? Bang Asbun kelihatan heran dengan pertanyaan saya. Ya jelas “pengampunan” dong tujuannya. Coba kita lihat sekarang dampak psikologis yang sudah berhasil dihimpun gara-gara televisi secara maraton menayangkan kabar sekaratnya pak Harto. Simpati mengalir kayak banjir. Bahkan ada sekelompok WTS di Wonogiri ikut membuat acara doa bersama.

Sebab apa? Sebab mereka tahu kita ini bangsa “tempe”, katanya sedikit emosional. Maksudnya kita ini suka gampang berkasihan pada sosok yang kelihatan “tidak berdaya”, dan teraniaya You tahu, mereka manfaatkan kondisi psikologis kita yang lembek itu. Hasilnya tidak kelewat mengecewakan, bukan? Bahkan orang nomor dua kita sudah buru-buru—seolah takut keduluan—kasih sinyal ke arah itu--pengampunan gratis bung, tanpa proses peradilan lagi. Apa nggak spektakuler tuh?

Diam-diam saya manggut-manggur. Bener-bener gila kalau skenario teman saya ini terjadi. Tapi saya masih tetap sangsi karena merasa ada banyak “bolong” pada teorinya yang aneh itu. Begini saja, kata bang Asbun lagi, kita taruhan saja. Kita tunggu sampai dua minggu lagi, kalau betul pak Harto mangkat, berarti teori saya salah. Tapi kalau lewat dua minggu kondisi beliau begitu-begitu saja, atau malah membaik, itu artinya teori saya mungkin saja benar. Bagaimana, Bbrani nggak taruhan? Saya cepat menggeleng. Ogah ah, masak nyawa orang dibikin taruhan. Emangnya apaan.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...