PAK HARTO akhirnya jadi juga mangkat. Ramalan Mama Lauren yang mengatakan “kita akan kehilangan seorang negarawan besar yang disegani kawan dan ditakuti lawan” (Intisari, Desember 2007) ternyata akurat. Sementara omongan sejumlah paranormal lain yang bilang bahwa beliau “masih akan bertahan lama” karena diyakini memiliki sejumlah “simpanan” sakti yang akan menjaganya, ternyata ngawur. Ketahuan deh mana paranormal yang betul jago, dan mana yang “bodo”.
Yang juga ngawur adalah analisis teman saya bang Asbun. Ia menaruh curiga bahwa mantan bos Orde Baru itu tidak betul-betul “gawat” keadaannya. Justru ia percaya ada semacam “muslihat” politik tingkat tinggi di belakang semua hiruk-pikuk pemberitaan geringnya “sang babe”, yang goalnya adalah mendapatkan pengampunan politik tanpa peradilan. Dan goal itu sepertinya memang tidak jauh lagi, karena koor “maaf” kepada sang tiran dari hari ke hari berkumandang semakin nyaring.
Tapi ternyata dugaan serem itu terpatahkan. Kemarin Ahad, 27 Januari 2008, “berhala” Orde Baru yang selama lebih dari 30 tahun disembah dan ditakuti itu, akhirnya tumbang. Kabar mangkatnya pak Harto cukup mengejutkan, karena beberapa hari sebelumnya disebut-sebut kesehatan beliau cenderung terus “membaik” dan malah sudah akan dibolehkan pulang ke Cendana—bukan “pulang” ke alam sana.
Di luar dugaan juga, ternyata cukup banyak khalayak yang mempertontonkan simpatinya kepada beliau, antara lain dengan cara mengelu-elukan iring-iringan prosesi ke pamakamannya. Tapi aktivis Fajroel Rahman mengatakan bahwa kerumunan itu lebih banyak terdiri dari wajah anonim yang datang ke jalan lebih dengan niat kepingin nonton keramaian, ketimbang memberikan rasa hormatnya. Mungkin Fajroel Rahman benar, karena jumlah warga yang bersedia repot memasang bendera setengah tiang juga sedikit (Koran Tempo, 29 Januari 2008).
Saya pribadi tak punya penilaian khusus tentang pak Harto. Saya sepakat dia memang seorang yang “besar”. Maksudnya, besar jasanya, dan besar juga dosa-dosanya. Jadi, atas jasa-jasanya yang memang besar itu marilah kita mengenangnya seraya kita haturkan terima kasih untuk itu. Sedang dosa-dosanya, ya diberesin dong lewat jalur hukum yang tersedia. Dasar hukumnya kan jelas ada dan sahih : TAP MPR 1998 (nomornya lupa). Simpel kan? Gitu aja kok repot sih.
Yang juga ngawur adalah analisis teman saya bang Asbun. Ia menaruh curiga bahwa mantan bos Orde Baru itu tidak betul-betul “gawat” keadaannya. Justru ia percaya ada semacam “muslihat” politik tingkat tinggi di belakang semua hiruk-pikuk pemberitaan geringnya “sang babe”, yang goalnya adalah mendapatkan pengampunan politik tanpa peradilan. Dan goal itu sepertinya memang tidak jauh lagi, karena koor “maaf” kepada sang tiran dari hari ke hari berkumandang semakin nyaring.
Tapi ternyata dugaan serem itu terpatahkan. Kemarin Ahad, 27 Januari 2008, “berhala” Orde Baru yang selama lebih dari 30 tahun disembah dan ditakuti itu, akhirnya tumbang. Kabar mangkatnya pak Harto cukup mengejutkan, karena beberapa hari sebelumnya disebut-sebut kesehatan beliau cenderung terus “membaik” dan malah sudah akan dibolehkan pulang ke Cendana—bukan “pulang” ke alam sana.
Di luar dugaan juga, ternyata cukup banyak khalayak yang mempertontonkan simpatinya kepada beliau, antara lain dengan cara mengelu-elukan iring-iringan prosesi ke pamakamannya. Tapi aktivis Fajroel Rahman mengatakan bahwa kerumunan itu lebih banyak terdiri dari wajah anonim yang datang ke jalan lebih dengan niat kepingin nonton keramaian, ketimbang memberikan rasa hormatnya. Mungkin Fajroel Rahman benar, karena jumlah warga yang bersedia repot memasang bendera setengah tiang juga sedikit (Koran Tempo, 29 Januari 2008).
Saya pribadi tak punya penilaian khusus tentang pak Harto. Saya sepakat dia memang seorang yang “besar”. Maksudnya, besar jasanya, dan besar juga dosa-dosanya. Jadi, atas jasa-jasanya yang memang besar itu marilah kita mengenangnya seraya kita haturkan terima kasih untuk itu. Sedang dosa-dosanya, ya diberesin dong lewat jalur hukum yang tersedia. Dasar hukumnya kan jelas ada dan sahih : TAP MPR 1998 (nomornya lupa). Simpel kan? Gitu aja kok repot sih.
No comments:
Post a Comment