SOE HOK GIE barangkali telah menjadi separuh mitos. Belum lama ini saya melihat kumpulan catatan hariannya (Catatan Seorang Demonstran) kembali dicetak ulang LP3ES—saya tak sempat mengecek ini sudah cetak ulang yang keberapa. Tapi dari sisi ini, nyatalah Soe selain telah menjadi “separuh mitos”, juga telah menjadi sebuah komoditi yang sepertinya lumayan laris—meskipun film “Gie” yang dibesut Riri Riza ternyata tidak berhasil di pasar.
Soe Hok Gie barangkali memang “memenuhi syarat” untuk dimitoskan. Semasa hidupnya—yang singkat—ia dikenal sebagai—mulanya—aktivis mahasiswa 66 yang “berani”, lalu orang-orang di masa pasca Orde Lama mengenalnya juga sebagai sosok pemikir muda yang kritis dan kerap menebar kontroversi karena statemen-statemennya yang terus-terang dan sonder basa-basi. Almarhum Harsya W Bachtiar menggambarkannya sebagai sosok yang “mengerikan”, karena ia berjalan lurus dengan prinsip-prinsipnya.
Itu sebabnya selain banyak pengagumnya, ia pun jadi “mengoleksi” banyak lawan dan musuh. Ironisnya, yang kemudian menjadi “musuh”nya termasuk juga mereka yang pada masa pra Orde Baru ikut “berjuang” turun ke jalan. Begitulah, sementara banyak konco-konco aktivisnya pada bergabung menjilat kaki penguasa, Soe tetap memilih berjalan sendirian di luar sistem dan kekuasaan, meneruskan sepak terjangnya yang, kata Harsya W Bachtiar, “mengerikan” itu.
Kematiannya yang mendadak dan tragis di sebuah ceruk Semeru, hampir 40 tahun yang lalu—usianya baru 27 saat itu—karena terhisap gas beracun, di luar dugaan malah meluruskan jalan untuk di kemudian hari mengubahnya menjadi “dongeng”. Bukankah ada orang yang menjadi terkenal karena mati pada saat yang tepat? Soe Hok Gie, barangkali, telah mati pada “saat yang tepat”. Maka kita kini jadi punya gambaran yang sepertinya akan jadi semakin kukuh (dan tunggal) : Soe adalah seorang intelektual yang keras kepala (dan kesepian) dan yang (sayangnya?) mati muda.
Di hari-hari ini, ketika banyak orang hampir tak tahu lagi kepada siapa mereka masih boleh percaya dan menggantungkan harapan, sosok Soe—yang “mengerikan” itu—seperti menawarkan oasis di tengah kegersangan. Tak bisa disangsikan lagi, banyak dari kita diam-diam rupanya menantikan seorang Soe yang lain. Seorang yang berani menolak berkompromi dengan segala muslihat dan kebusukan. Seorang yang terus berjalan lurus dengan prinsip-prinsipnya.
Sampai di sini saya jadi pun jadi ragu : sungguh masih adakah “model pahlawan” yang seperti itu, hari-hari ini?
Soe Hok Gie barangkali memang “memenuhi syarat” untuk dimitoskan. Semasa hidupnya—yang singkat—ia dikenal sebagai—mulanya—aktivis mahasiswa 66 yang “berani”, lalu orang-orang di masa pasca Orde Lama mengenalnya juga sebagai sosok pemikir muda yang kritis dan kerap menebar kontroversi karena statemen-statemennya yang terus-terang dan sonder basa-basi. Almarhum Harsya W Bachtiar menggambarkannya sebagai sosok yang “mengerikan”, karena ia berjalan lurus dengan prinsip-prinsipnya.
Itu sebabnya selain banyak pengagumnya, ia pun jadi “mengoleksi” banyak lawan dan musuh. Ironisnya, yang kemudian menjadi “musuh”nya termasuk juga mereka yang pada masa pra Orde Baru ikut “berjuang” turun ke jalan. Begitulah, sementara banyak konco-konco aktivisnya pada bergabung menjilat kaki penguasa, Soe tetap memilih berjalan sendirian di luar sistem dan kekuasaan, meneruskan sepak terjangnya yang, kata Harsya W Bachtiar, “mengerikan” itu.
Kematiannya yang mendadak dan tragis di sebuah ceruk Semeru, hampir 40 tahun yang lalu—usianya baru 27 saat itu—karena terhisap gas beracun, di luar dugaan malah meluruskan jalan untuk di kemudian hari mengubahnya menjadi “dongeng”. Bukankah ada orang yang menjadi terkenal karena mati pada saat yang tepat? Soe Hok Gie, barangkali, telah mati pada “saat yang tepat”. Maka kita kini jadi punya gambaran yang sepertinya akan jadi semakin kukuh (dan tunggal) : Soe adalah seorang intelektual yang keras kepala (dan kesepian) dan yang (sayangnya?) mati muda.
Di hari-hari ini, ketika banyak orang hampir tak tahu lagi kepada siapa mereka masih boleh percaya dan menggantungkan harapan, sosok Soe—yang “mengerikan” itu—seperti menawarkan oasis di tengah kegersangan. Tak bisa disangsikan lagi, banyak dari kita diam-diam rupanya menantikan seorang Soe yang lain. Seorang yang berani menolak berkompromi dengan segala muslihat dan kebusukan. Seorang yang terus berjalan lurus dengan prinsip-prinsipnya.
Sampai di sini saya jadi pun jadi ragu : sungguh masih adakah “model pahlawan” yang seperti itu, hari-hari ini?
1 comment:
Jangan Ragu bung, Model / Prototype pahlawan masih tetap di butuhkan di Indonesia. karena selama tanah air masih terpuruk model tetap diperlukan sebagai mercu suara yg dapat menuntun dan menunjukan jalan yg baik dan benar agar tidak tersesat
Post a Comment