AKTOR-komedian Robin Williams ditemukan dalam kondisi tak bernyawa di kediamannya, di Marin Counter, California, Amerika Serikat, pada 11 Agustus 2014 Kuat dugaan kematiannya karena bunuh diri. Dunia hiburan pun tersentak. Betapa mudahnya kita terkecoh oleh yang nampak secara kasat mata. Betapa jauhnya ternyata jarak antara apa yang kita saksikan di panggung yang "gemerlap" itu dengan kenyataan yang sebenar-benarnya. Kita kerap lupa bahwa nun di luar panggung "gemerlap tapi semu" itu ternyata masih ada "panggung" lain, bahkan panggung ini disarati dengan kisah yang terlebih menyedot haru biru.
Kita pun diingatkan kembali bahwa "kebahagiaan" ternyata sering tidak ada hubungannya sama sekali dengan keberlimpahan materi, dengan popularitas, singkatnya dengan semua yang disebut sukses duniawi. Bahwa manusia sungguh sosok yang unik dan kompleks. Kita pun acap luput memahaminya. Ah, rasanya kita tak pernah bakal sanggup menyelami spesies absurd yang satu ini.
Jika diumpamakan "sumur", maka manusia adalah sebuah sumur yang mungkin tak berdasar. Kita harus puas hanya dengan bisa meraba kasar permukaannya, selebihnya hanya sunyi yang tak berkabar. Seperti larik sebuah puisi lawas Amerika, yang kemudian pernah dipahatkan juga pada batu nisan almarhum Soe Hok Gie: "Nobody knows the troubles, Nobody knows my sorrow ..." Tak seorang pun paham kesedihan-kesedihan saya.
.
Sampai klimaks itu terjadi, dan kita tertegun, bertanya-tanya, "Apa yang terjadi Williams?" Ah, tak adil rasanya menyodorkan lagi tanya itu kepadanya. Pertanyaan adalah bagian kita yang masih tinggal. Kita yang terus mencoba bertahan, dengan segala kepedihan hidup masing-masing. Dengan segala harapan, dengan panggilan-panggilannnya yang sayup dan rahasia. Good Bye Robin ...
14 August 2014
11 August 2014
Iman
DALAM keseharin kita sering menyebut dan mendengar orang di sekitar bicara tentang "iman". Tapi apa toh yang dimaksud dengan "iman" itu sebetulnya? Kita sering dengan latah meyebutnya sebagai "keyakinan". Baiklah, tapi "keyakinan" yang seperti apa? Oh, maksud Anda mungkin, "keyakinan pada kebenaran". Nah, Anda mulai menjadi kusut, karena kalau "kebenaran" sudah disebut-sebut, biasanya urusannya malah jadi tambah tidak jelas. Coba saja, memang bisa Anda menjelaskan apa toh yang disebut "kebenaran" itu sendiri?
Iman, memang adalah keyakinan pada suatu nilai, atau pandangan (yang dianggap benar). Tapi jawaban ini masih sangat kurang memadai dan jauh dari memecahkan masalah. Marilah kita lihat dua contoh berikut.
1. Kita sama meyakini bahwa 2 dikali 2 akan sama dengan 4. Apakah jenis "keyakinan" seperti ini yang disebut "Iman"? Jelas. keyakinan pada kebenaran matematis tidak bisa disebut iman..
2. Kita sama tahu dan meyakini bahwa bumi yang kita tempati ini berbentuk bulat. Jadi apakah keyakinan semacam ini yang disebut iman? Bukan, keyakinan pada sebuah kebenaran empirik bukanlah atau belumlah layak digolongkan sebagai "iman".
Iman, ada di atas kedua contoh itu. Kalau kita bicara iman, maka sebetulnya kita bicara soal "meta keyakinan", keyakinan yang mengatasi keyakinan Iman adalah bentuk keyakinan yang justru menguasai kita. Ini berbeda sekali dengan keyakinan pada kebenaran matematis ataupun empirik seperti dicontohkan di atas. Mari kita uji.
Meskipun kita yakin bahwa bumi itu bulat, keyakinan itu tidaklah menguasai kita, malahan kita yang menguasainya. Jadi, misalnya pada suatu hari nanti muncul seorang super jenius yang bisa membuktikan bahwa bumi ternyata tidak bulat, melainkan, katakanlah penyok bentuknya, kita pin tidak akan menjadi gundah dan galau karenanya. Kita akan santai saja (yah, mungkin ada kehebohan sebentar) dan dengan relatif mudah menyesuaikan keyakinan empitik kita dengan formula keyakinan empirik yang baru itu.
Tidak demikian halnya dengan iman. Sekali lagi, dalam urusan ini, imanlah yang menguasai kita, bukan sebaliknya. Seorang biarawati dikabarkan membakar diri sehabis membaca novel The Da Vinci Code. Ia tak bisa menerima Tuhannya, atau lebih tepat, imannya, dihinakan begitu rupa. Sementara itu, para teroris di seluruh dunia berdalih semua kebiadaban mereka dilakukan atas nama perjuangan membela iman.
Hmm, urusan "iman" jauh dari sederhana ya?
Iman, memang adalah keyakinan pada suatu nilai, atau pandangan (yang dianggap benar). Tapi jawaban ini masih sangat kurang memadai dan jauh dari memecahkan masalah. Marilah kita lihat dua contoh berikut.
1. Kita sama meyakini bahwa 2 dikali 2 akan sama dengan 4. Apakah jenis "keyakinan" seperti ini yang disebut "Iman"? Jelas. keyakinan pada kebenaran matematis tidak bisa disebut iman..
2. Kita sama tahu dan meyakini bahwa bumi yang kita tempati ini berbentuk bulat. Jadi apakah keyakinan semacam ini yang disebut iman? Bukan, keyakinan pada sebuah kebenaran empirik bukanlah atau belumlah layak digolongkan sebagai "iman".
Iman, ada di atas kedua contoh itu. Kalau kita bicara iman, maka sebetulnya kita bicara soal "meta keyakinan", keyakinan yang mengatasi keyakinan Iman adalah bentuk keyakinan yang justru menguasai kita. Ini berbeda sekali dengan keyakinan pada kebenaran matematis ataupun empirik seperti dicontohkan di atas. Mari kita uji.
Meskipun kita yakin bahwa bumi itu bulat, keyakinan itu tidaklah menguasai kita, malahan kita yang menguasainya. Jadi, misalnya pada suatu hari nanti muncul seorang super jenius yang bisa membuktikan bahwa bumi ternyata tidak bulat, melainkan, katakanlah penyok bentuknya, kita pin tidak akan menjadi gundah dan galau karenanya. Kita akan santai saja (yah, mungkin ada kehebohan sebentar) dan dengan relatif mudah menyesuaikan keyakinan empitik kita dengan formula keyakinan empirik yang baru itu.
Tidak demikian halnya dengan iman. Sekali lagi, dalam urusan ini, imanlah yang menguasai kita, bukan sebaliknya. Seorang biarawati dikabarkan membakar diri sehabis membaca novel The Da Vinci Code. Ia tak bisa menerima Tuhannya, atau lebih tepat, imannya, dihinakan begitu rupa. Sementara itu, para teroris di seluruh dunia berdalih semua kebiadaban mereka dilakukan atas nama perjuangan membela iman.
Hmm, urusan "iman" jauh dari sederhana ya?
04 August 2014
Tantangan Gubernur Ahok (2)
DALAM tugasnya selaku orang nomor satu di Jakarta kelak, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok akan "berperang" di dua front "nyata" dan satu front yang "tak nyata". Front nyata adalah agenda besarnya membereskan ibu kota dari masalah klasiknya yaitu banjir, kemacetan dan masalah keamanan. Satu front nyata lainnya adalah perangnya melawan anasir-anasir lama yang korup yang selama ini bercokol dalam sistem pemerintahan.
Sukses tidaknya perang di front pertama antara lain tergantung juga pada bisa tidaknya Ahok memenangi perangnya melawan pihak-pihak yang mencoba bertahan pada pola pemikiran lama dalam sistem. Mereka yang selama ini diuntungkan oleh macetnya birokrasi dan bobroknya mental pejabat sangat berpotensi menjadi penjegal suksesnya agenda kerja sang gubernur.
Sementara itu Gubernur Ahok juga masih mempunyai PR lain. Diakui atau tidak, latar belakang ke"cina"an sang gubernur memberikannya beban tambahan.Latar belakang yang dalam konteks Jakarta yang majemuk jadi tampak "tak lazim" itu, diakui atau tidak, membuat sebagian warga memendam rasa tak suka padanya. Inilah yang saya maksud dengan perang di front "tak nyata" itu. Disebut "tak nyata" karena kita enggan mengakuinya, padahal itu memang ada.
Gaya kerja Ahok yang cenderung "main hantam" tanpa memilih-milih korban (bebeapa kali ia bilang "tak takut dituduh melanggar HAM") bisa saja makin memperumit situasi perang di front ketiga ini. Jika boleh usul, mungkin sebaiknya ia sedikit mengerem nafsunya untuk gampang-gampang "main sikat", terutama kalau itu akan berdampak pada kelompok warga kelas bawah.
Apakah hal semacam ini bisa masuk dalam pertimbangannya, saya tentu saja tak tahu.
Sukses tidaknya perang di front pertama antara lain tergantung juga pada bisa tidaknya Ahok memenangi perangnya melawan pihak-pihak yang mencoba bertahan pada pola pemikiran lama dalam sistem. Mereka yang selama ini diuntungkan oleh macetnya birokrasi dan bobroknya mental pejabat sangat berpotensi menjadi penjegal suksesnya agenda kerja sang gubernur.
Sementara itu Gubernur Ahok juga masih mempunyai PR lain. Diakui atau tidak, latar belakang ke"cina"an sang gubernur memberikannya beban tambahan.Latar belakang yang dalam konteks Jakarta yang majemuk jadi tampak "tak lazim" itu, diakui atau tidak, membuat sebagian warga memendam rasa tak suka padanya. Inilah yang saya maksud dengan perang di front "tak nyata" itu. Disebut "tak nyata" karena kita enggan mengakuinya, padahal itu memang ada.
Gaya kerja Ahok yang cenderung "main hantam" tanpa memilih-milih korban (bebeapa kali ia bilang "tak takut dituduh melanggar HAM") bisa saja makin memperumit situasi perang di front ketiga ini. Jika boleh usul, mungkin sebaiknya ia sedikit mengerem nafsunya untuk gampang-gampang "main sikat", terutama kalau itu akan berdampak pada kelompok warga kelas bawah.
Apakah hal semacam ini bisa masuk dalam pertimbangannya, saya tentu saja tak tahu.
03 August 2014
Tantangan Gubernur Ahok (1)
KALAU segala sesuatunya berjalan lancar, warga Jakarta akan secara resmi mendapat gubernur yang baru, Basuki Tjahaja Purnama, atau yang beken dipanggil Ahok.Kita sudah cukup mengenal gaya dan penampilannya selama ini ketika ia masih menjadi orang nomor dua di Pemprov DKI. Banyak yang suka dan memuji gayanya yang "tegas" itu. Rekam jejaknya sejauh ini jiga dinilai bersih.
Jika banyak yang suka, tentu banyak juga yang tak menyukainya. Kehadiran Ahok (bersama Jokowi) memang telah membuat "panas dingin" jajaran aparat di bawahnya. Gaya kerjanya yang "langsung tembak mati di tempat" pastilah telah menebar bibit kebencian dan permusuhan. Mereka yang selama ini bertindak macam raja-raja kecil di instansinya masing-masing sekarang pada mati kutu dan kena batunya.
Seorang kawan yang banyak berhubungan dengan aparat di Balai Kota belum lama ini bercerita bahwa di tempat itu Ahok (dan Jokowi) diam-diam sering menjadi sasaran sumpah serapah pegawainya sendiri. Mereka itulah contoh "tikus-tikus" yang terkena kepretan tangan saktinya.
Kita berharap Ahok akan tetap tegar menjalankan misi "revolusi mental" yang dicanangkan bersama Jokowi. Ini bukanlah pertarungan yang mudah, bahkan tak seimbang. Lawan yang dihadapinya bukanlah individu per individu atau kelompok tertentu, melainkan sebuah sistem yang telah membatu bahkan membusuk selama bertahun-tahun.
Jika banyak yang suka, tentu banyak juga yang tak menyukainya. Kehadiran Ahok (bersama Jokowi) memang telah membuat "panas dingin" jajaran aparat di bawahnya. Gaya kerjanya yang "langsung tembak mati di tempat" pastilah telah menebar bibit kebencian dan permusuhan. Mereka yang selama ini bertindak macam raja-raja kecil di instansinya masing-masing sekarang pada mati kutu dan kena batunya.
Seorang kawan yang banyak berhubungan dengan aparat di Balai Kota belum lama ini bercerita bahwa di tempat itu Ahok (dan Jokowi) diam-diam sering menjadi sasaran sumpah serapah pegawainya sendiri. Mereka itulah contoh "tikus-tikus" yang terkena kepretan tangan saktinya.
Kita berharap Ahok akan tetap tegar menjalankan misi "revolusi mental" yang dicanangkan bersama Jokowi. Ini bukanlah pertarungan yang mudah, bahkan tak seimbang. Lawan yang dihadapinya bukanlah individu per individu atau kelompok tertentu, melainkan sebuah sistem yang telah membatu bahkan membusuk selama bertahun-tahun.
01 August 2014
Bisul Pilpres 2014
MULANYA saya, seperti kebanyakan orang, termasuk yang skeptis pada penyelenggaraan Pemilu dan Pilpres 2014. Saat itu nama Jokowi belum lagi disebut-sebut--masih semacam wacana yang jauh mengawang. Bahkan nama Prabowo Subianto pun kala itu masih terdengar seperti "gosip" yang jauh. Sementara calon-calon presiden yang ketika itu sudah dimunculkan melulu diisi sejumlah "stok lama" yang sama sekali tidak menggugah selera. Kalau begini pesertanya, ini akan menjadi Pilpres rutin yang paling tidak menarik.
Kini seperti banyak orang lain, saya pun sependapat bahwa Pilpres ini kali ternyata Pilpres yang paling dramatis dan "menarik". Ini adalah Pilpres dengan tingkat keikutsertaan yang "tinggi" dibanding Pilpres-Pilpres sebelumnya. Ini adalah Pilpres dengan tingkat kebisingan dan kehitaman yang luar biasa dalam ritual kampanyenya. Dan barangkali ini juga Pilpres dengan tingkat skandal kecurangan yang paling tinggi pasca Orde Baru. Paling akhir tapi bukan yang terakhir, inilah Pilpres yang masih meninggalkan "bisul" sementara proses hajatan resminya sendiri (seharusnya) sudah selesai.
Masih ada pihak yang merasa "gondok" dan "tidak bisa percaya" dengan hasil resmi Pilpres itu. Kita sebetulnya terusik untuk bertanya, kelompok yang masih saja uring-uringan itu memang asli "tidak bisa percaya" ataukah hanya pura-pura belaka? Masak iya sih mereka sepandir itu? Tapi pura-pura atau tidak kenyataannya proses hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mereka gulirkan.
Pertanyaan yang sekarang mengedepan adalah, akankah proses hukum di MK menjadi pertarungan terakhir yang menyudahi segala hingar bingar Pemilu 2014 ini? Kita berharap demikian, kita berharap agar "bisul" yang sudah sempat ada itu nantinya kempis.Kita sungguh berharap bahwa kelompok yang dikecewakan bisa dengan besar hati menerima putusan yang nantinya dijatuhkan MK.Artinya, sesudah itu tidak perlulah ada tambahan agenda, apakah namanya "perjuangan politik" atau "perjuanan" entah apa lagi. Sesungguhnya kami sudah lelah dan (maaf) muak dengan segala keributan itu.
(Adapun soal putusan MK itu nanti akan seperti apa, kita--yang masih punya akal waras--sebetulnya sudah pada tahu. Hanya kita diminta sekali lagi bersabar dan untuk sementara berpura-pura tidak tahu saja).
Kini seperti banyak orang lain, saya pun sependapat bahwa Pilpres ini kali ternyata Pilpres yang paling dramatis dan "menarik". Ini adalah Pilpres dengan tingkat keikutsertaan yang "tinggi" dibanding Pilpres-Pilpres sebelumnya. Ini adalah Pilpres dengan tingkat kebisingan dan kehitaman yang luar biasa dalam ritual kampanyenya. Dan barangkali ini juga Pilpres dengan tingkat skandal kecurangan yang paling tinggi pasca Orde Baru. Paling akhir tapi bukan yang terakhir, inilah Pilpres yang masih meninggalkan "bisul" sementara proses hajatan resminya sendiri (seharusnya) sudah selesai.
Masih ada pihak yang merasa "gondok" dan "tidak bisa percaya" dengan hasil resmi Pilpres itu. Kita sebetulnya terusik untuk bertanya, kelompok yang masih saja uring-uringan itu memang asli "tidak bisa percaya" ataukah hanya pura-pura belaka? Masak iya sih mereka sepandir itu? Tapi pura-pura atau tidak kenyataannya proses hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mereka gulirkan.
Pertanyaan yang sekarang mengedepan adalah, akankah proses hukum di MK menjadi pertarungan terakhir yang menyudahi segala hingar bingar Pemilu 2014 ini? Kita berharap demikian, kita berharap agar "bisul" yang sudah sempat ada itu nantinya kempis.Kita sungguh berharap bahwa kelompok yang dikecewakan bisa dengan besar hati menerima putusan yang nantinya dijatuhkan MK.Artinya, sesudah itu tidak perlulah ada tambahan agenda, apakah namanya "perjuangan politik" atau "perjuanan" entah apa lagi. Sesungguhnya kami sudah lelah dan (maaf) muak dengan segala keributan itu.
(Adapun soal putusan MK itu nanti akan seperti apa, kita--yang masih punya akal waras--sebetulnya sudah pada tahu. Hanya kita diminta sekali lagi bersabar dan untuk sementara berpura-pura tidak tahu saja).
Subscribe to:
Posts (Atom)