PENJAGA gawang sudah hilang posisi, gawangnya menganga terbuka, tinggal satu sontekan enteng dan akan tercipta gol. Tapi secara ajaib bola malah membentur tiang gawang dan gol pun batal. Kalau anda penggila bola momen semacam itu pasti tidak asing buat anda. Apakah yang sebetulnya terjadi? Sebuah kesialan? Sebuah mujizat? Relavankah kalau Tuhan kita bawa-bawa dalam urusan ini?
Ketika terjadi drama adu penalti antara Jepang melawan Australia dalam perempat final Asian Cup belum lama ini kamera televisi beberapa kali menyorot pelatih Australia, Graham Arnold. Apa yang kita lihat adalah bahwa sang pelatih itu sedang menunduk sembari mulutnya komat-kamit. Ah, dia boleh jadi sedang berdoa. Pada momen genting itu, Tuhan dimintai bantuanNya supaya gawang Australia tidak jebol.
Presiden SBY pun secara khusus meminta “seluruh rakyat” membantu dengan doa supaya tim nasional sepak bola kita sukses membuat sejarah dalam forum Asian Cup tahun ini. Menpora Adhyaksa Daud juga melakukan hal yang sama. Dan saya percaya bahwa banyak dari kita yang sungguh-sungguh berdoa untuk kemenangan tim nasional kemarin.
Kesimpulan apa yang bias ditarik dari paparan di atas? Mungkin setidaknya ada dua hal. Kabar baiknya adalah bahwa banyak dari kita ternyata masih percaya adanya “tangan tersembunyi” di tengah timbunan persoalan kita, dan kita pun percaya bahwa “beliau” sudi dimintai tolong. Dan kita memang tidak diharamkan malu melakukannya.
Kabar buruknya adalah bahwa pemahaman kita padaNya masih begitu naifnya. Sebagian besar kita tampaknya hanya ingat padaNya saat kepepet. Dan lebih konyol lagi, kita cenderung memperlakukannya sebagai, maaf, “pesuruh”, atau “algojo” guna pemuasan hasrat mau menang sendiri kita sendiri. Kita sering kecewa—mungkin juga mengomel—kalau merasa permohonan kita tidak terpenuhi. Kita kerap lupa bahwa Dia memang bukan “pesuruh” gajian kita.
Nanti malam, saat tim Arab Saudi berlaga melawan Irak dalam final Asian Cup 2007, marilah kita tidak mendoakan kemenangan atau kekalahan salah satu tim itu. Biarlah “sang tangan tersembunyi” bermain dengan leluasa. Kita cukup duduk dengan berdebar menunggu kesudahannya.
Ketika terjadi drama adu penalti antara Jepang melawan Australia dalam perempat final Asian Cup belum lama ini kamera televisi beberapa kali menyorot pelatih Australia, Graham Arnold. Apa yang kita lihat adalah bahwa sang pelatih itu sedang menunduk sembari mulutnya komat-kamit. Ah, dia boleh jadi sedang berdoa. Pada momen genting itu, Tuhan dimintai bantuanNya supaya gawang Australia tidak jebol.
Presiden SBY pun secara khusus meminta “seluruh rakyat” membantu dengan doa supaya tim nasional sepak bola kita sukses membuat sejarah dalam forum Asian Cup tahun ini. Menpora Adhyaksa Daud juga melakukan hal yang sama. Dan saya percaya bahwa banyak dari kita yang sungguh-sungguh berdoa untuk kemenangan tim nasional kemarin.
Kesimpulan apa yang bias ditarik dari paparan di atas? Mungkin setidaknya ada dua hal. Kabar baiknya adalah bahwa banyak dari kita ternyata masih percaya adanya “tangan tersembunyi” di tengah timbunan persoalan kita, dan kita pun percaya bahwa “beliau” sudi dimintai tolong. Dan kita memang tidak diharamkan malu melakukannya.
Kabar buruknya adalah bahwa pemahaman kita padaNya masih begitu naifnya. Sebagian besar kita tampaknya hanya ingat padaNya saat kepepet. Dan lebih konyol lagi, kita cenderung memperlakukannya sebagai, maaf, “pesuruh”, atau “algojo” guna pemuasan hasrat mau menang sendiri kita sendiri. Kita sering kecewa—mungkin juga mengomel—kalau merasa permohonan kita tidak terpenuhi. Kita kerap lupa bahwa Dia memang bukan “pesuruh” gajian kita.
Nanti malam, saat tim Arab Saudi berlaga melawan Irak dalam final Asian Cup 2007, marilah kita tidak mendoakan kemenangan atau kekalahan salah satu tim itu. Biarlah “sang tangan tersembunyi” bermain dengan leluasa. Kita cukup duduk dengan berdebar menunggu kesudahannya.