SUATU kali, menjelang musim haji, saya mendatangi seorang teman. Saya tanyakan kepadanya, apakah pada musim haji ini ia punya teman atau sanak yang akan pergi haji. Kalau ada, mohon titip dibelikan tasbih, tapi betul tasbih dari Arab—jangan beli di Tanah Abang lalu diaku sebagai bukinan Arab.
Teman saya yang muslim itu heran, buat apa saya yang nasrani memesan tasbih, dan kenapa pula mesti jauh-jauh memesannya ke tanah Arab. Atas keheranan itu saya hanya menjawab singkat. Saya memang menyukai benda-benda “rohani”, atau apa saja yang memiliki nuansa relijius. Tasbih, adalah salah satunya. Tapi kenapa mesti dari Arab? Ya, pasti bedalah menggenggam tasbih Arab dengan tasbih Tanah Abang, kata saya sembari nyengir.
Kabar saya memesan tasbih itu sampai ke kuping beberapa teman lain yang nasrani seperti saya. Karena mereka tahu saya seorang nasrani yang “lumayan serius” (cailah), mereka pada heran. Kenapa lu cari tasbih segala, apa tidak cukup itu rosario—begitulah mereka bertanya, separuh complain. Seorang teman yang agak bijak bilang ini bukan soal yang perlu diributkan. Tasbih sekadar sarana, yang penting kan doanya, ibadahnya.
Persis seperti itulah sikap saya. Meskipun saya seorang nasrani—yang insyallah “saleh”--bagi saya bukanlah tabu atau halangan untuk belajar dari khazanah relijius yang lain. Saya membaca sejumlah buku tasauf, juga Zen, sama bergairahnya dengan saya menjelajah Injil Yohanes atau Surat Ibrani, umpamanya.
Keluyuran ke luar “kampung sendiri” lalu masuk ke “kampung orang lain” itu, juga dilakoni oleh banyak peziarah batin. Anthony de Mello, seorang pastor Jesuit, misalnya, tak merasa canggung “mencuri” banyak hal dari Zen,.Hinduisme, di samping dari khazanah mistik Islam. Hasilnya? Alih-alih menjadi bingung, atau membingungkan, sang pastor malah bertumbuh menjadi sosok katolik panutan yang tangguh.
Kini saya telah punya seuntai tasbih. Bukan bikinan Arab, tapi asli buatan lokal. Saya membelinya di bis kota. Bahannya dari kayu stiki, kata penjualnya. Saya tak tahu apa itu kayu stiki, dan apa pula “kesaktiannya”. Konon tasbih Sunan Kalijaga terbikin dari bahan yang sama. Entahlah. Yang penting bagi saya tasbih itu terlihat bagus, angker, penuh wibawa, dan terasa mantap dalam genggaman. Karena itu saya membelinya—lagian harganya cuma 10 ribu..
Sering kalau malam-malam susah tidur, saya ambil tasbih itu. Seraya berbaring mulailah saya daraskan dzikir.Tentu saja dzikir menurut cara saya sendiri—dijamin tidak bakal bisa anda temukan dalam buku liturgi agama manapun. Lalu apakah yang saya lakukan ini salah, atau “sesat”, menyalahi akidah, syirik, musyrik? Ah, mana ada waktu saya mengurusi pertanyaan gawat itu. Yang begituan biar saja jadi lahannya MUI atau FPI. Saya tak berhubungan dengan mereka. Lagi pula dalam urusan dengan “beliau” setahu saya jasa “calo” tak diperlukan.
Teman saya yang muslim itu heran, buat apa saya yang nasrani memesan tasbih, dan kenapa pula mesti jauh-jauh memesannya ke tanah Arab. Atas keheranan itu saya hanya menjawab singkat. Saya memang menyukai benda-benda “rohani”, atau apa saja yang memiliki nuansa relijius. Tasbih, adalah salah satunya. Tapi kenapa mesti dari Arab? Ya, pasti bedalah menggenggam tasbih Arab dengan tasbih Tanah Abang, kata saya sembari nyengir.
Kabar saya memesan tasbih itu sampai ke kuping beberapa teman lain yang nasrani seperti saya. Karena mereka tahu saya seorang nasrani yang “lumayan serius” (cailah), mereka pada heran. Kenapa lu cari tasbih segala, apa tidak cukup itu rosario—begitulah mereka bertanya, separuh complain. Seorang teman yang agak bijak bilang ini bukan soal yang perlu diributkan. Tasbih sekadar sarana, yang penting kan doanya, ibadahnya.
Persis seperti itulah sikap saya. Meskipun saya seorang nasrani—yang insyallah “saleh”--bagi saya bukanlah tabu atau halangan untuk belajar dari khazanah relijius yang lain. Saya membaca sejumlah buku tasauf, juga Zen, sama bergairahnya dengan saya menjelajah Injil Yohanes atau Surat Ibrani, umpamanya.
Keluyuran ke luar “kampung sendiri” lalu masuk ke “kampung orang lain” itu, juga dilakoni oleh banyak peziarah batin. Anthony de Mello, seorang pastor Jesuit, misalnya, tak merasa canggung “mencuri” banyak hal dari Zen,.Hinduisme, di samping dari khazanah mistik Islam. Hasilnya? Alih-alih menjadi bingung, atau membingungkan, sang pastor malah bertumbuh menjadi sosok katolik panutan yang tangguh.
Kini saya telah punya seuntai tasbih. Bukan bikinan Arab, tapi asli buatan lokal. Saya membelinya di bis kota. Bahannya dari kayu stiki, kata penjualnya. Saya tak tahu apa itu kayu stiki, dan apa pula “kesaktiannya”. Konon tasbih Sunan Kalijaga terbikin dari bahan yang sama. Entahlah. Yang penting bagi saya tasbih itu terlihat bagus, angker, penuh wibawa, dan terasa mantap dalam genggaman. Karena itu saya membelinya—lagian harganya cuma 10 ribu..
Sering kalau malam-malam susah tidur, saya ambil tasbih itu. Seraya berbaring mulailah saya daraskan dzikir.Tentu saja dzikir menurut cara saya sendiri—dijamin tidak bakal bisa anda temukan dalam buku liturgi agama manapun. Lalu apakah yang saya lakukan ini salah, atau “sesat”, menyalahi akidah, syirik, musyrik? Ah, mana ada waktu saya mengurusi pertanyaan gawat itu. Yang begituan biar saja jadi lahannya MUI atau FPI. Saya tak berhubungan dengan mereka. Lagi pula dalam urusan dengan “beliau” setahu saya jasa “calo” tak diperlukan.
1 comment:
"Keyakinan" adalah hak masing2 pribadi, karena sebenarnya Yang Maha Tahu hanyalah Allah semata.
Sama tapi berbeda, saya pernah mengikuti retreat beberapa tahun yl, yang kebetulan dipimpin oleh almarhum Uskup Hadiwikarta (waktu itu beliau belum menjadi Uskup, masih Romo Paroki), mengapa saya sampai ikut ? Jujur, karena waktu itu saya diajak pacar ini alasan pertama, alasan kedua adalah "rasa ingin tahu".
Makna yang saya dapat, adalah : agama mengajarkan yang terbaik, kemudian tinggal manusia-nya yang menjalankan, dia mau belok atau jalan lurus ?
Post a Comment