NARKOBA dan dunia selebritis adalah dua hal yang tak terpisahkan—itu sudah menjadi rahasia umum. Maka tak perlulah kaget kalau Roy Marten ketangkep lagi gara-gara urusan yang sama. Aktor ganteng ini berdalih bahwa ia mengkonsumsi sabu untuk menggenjot tenaganya. Dunia film menuntut kesiapan stamina yang prima, sedang ia sudah merasa reyot dan tak muda lagi.
Alasan untuk memperoleh stimulans guna menjaga performa prima itu mungkin menjadi dalih pembenar bagi banyak pengguna narkoba lainnya. Di zaman yang katanya edan ini, di mana tingkat persaingan berlangsung gila-gilaan—sehingga tingkat stres dan ketegangan hidup juga menjadi meningkat tinggi--praktik doping dengan segala bentuk dan variasinya menjadi hal yang umum dilakukan.
Saya bahkan berani taruhan bahwa pemakaian narkoba sebagai doping bukan hanya monopoli artis dan seniman—politikus, pejabat, pengusaha, dan banyak anggota masyarakat lainnya juga ikut meramaikan. Bukankah narkoba sudah lama menerjang masuk ke balik tembok sekolah? Dan lebih absurd lagi malah sudah ada juga polisi yang ketangkep tangan sedang nyabu.
Karena begitu biasanya gaya hidup bernarkoba ria di kalangan artis, maka teman-teman dan kerabat dekat yang membesuk Roy Marten tidak akan bilang “Kenapa sih lu masih make juga? Katanya udah tobat”. Bukan, bukan begitu. Teman-teman dekat Roy akan mengomelinya begini “Lu kok bego amat sih, bisa ketangkep sampe dua kali. Lihat dong gua nih”.
Tapi, betul begitu begokah Roy Marten? Kini berkembang setidaknya 2 teori lain di seputar kasusnya ini. Teori pertama mengatakan bahwa sang aktor terlibat dalam sindikat narkoba—jadi ia bukan lagi sekedar pemakai. Mungkin ia “digarap” sewaktu ngendon di bui dulu, atau malah sebelum itu ia sudah ikut main. Cukup masuk akal.
Teori kedua mengatakan bahwa Roy justru tengah “dimanfaatkan”—atau lebih persisnya sedang diajak kerja sama dengan polisi—untuk bisa masuk ke dalam jejaring sindikat narkoba yang bak hantu, ada tapi tak nyata itu. Jadi ia akan pura-pura ditangkap, dinterogasi, nantinya pura-pura diadili lantas masuk bui lagi. Ia tengah memerankan sosok pecundang—padahal sebetulnya ialah sang heronya.
Kelewat spekulatif? Berlebihan? Mengada-ada? Mungkin. Tapi namanya kan baru teori, jadi sah saja. Lagian katanya dunia ini cuma “panggung sandiwara”, jadi segala kemungkinan boleh-boleh saja, atau bisa-bisa saja terjadi.
Alasan untuk memperoleh stimulans guna menjaga performa prima itu mungkin menjadi dalih pembenar bagi banyak pengguna narkoba lainnya. Di zaman yang katanya edan ini, di mana tingkat persaingan berlangsung gila-gilaan—sehingga tingkat stres dan ketegangan hidup juga menjadi meningkat tinggi--praktik doping dengan segala bentuk dan variasinya menjadi hal yang umum dilakukan.
Saya bahkan berani taruhan bahwa pemakaian narkoba sebagai doping bukan hanya monopoli artis dan seniman—politikus, pejabat, pengusaha, dan banyak anggota masyarakat lainnya juga ikut meramaikan. Bukankah narkoba sudah lama menerjang masuk ke balik tembok sekolah? Dan lebih absurd lagi malah sudah ada juga polisi yang ketangkep tangan sedang nyabu.
Karena begitu biasanya gaya hidup bernarkoba ria di kalangan artis, maka teman-teman dan kerabat dekat yang membesuk Roy Marten tidak akan bilang “Kenapa sih lu masih make juga? Katanya udah tobat”. Bukan, bukan begitu. Teman-teman dekat Roy akan mengomelinya begini “Lu kok bego amat sih, bisa ketangkep sampe dua kali. Lihat dong gua nih”.
Tapi, betul begitu begokah Roy Marten? Kini berkembang setidaknya 2 teori lain di seputar kasusnya ini. Teori pertama mengatakan bahwa sang aktor terlibat dalam sindikat narkoba—jadi ia bukan lagi sekedar pemakai. Mungkin ia “digarap” sewaktu ngendon di bui dulu, atau malah sebelum itu ia sudah ikut main. Cukup masuk akal.
Teori kedua mengatakan bahwa Roy justru tengah “dimanfaatkan”—atau lebih persisnya sedang diajak kerja sama dengan polisi—untuk bisa masuk ke dalam jejaring sindikat narkoba yang bak hantu, ada tapi tak nyata itu. Jadi ia akan pura-pura ditangkap, dinterogasi, nantinya pura-pura diadili lantas masuk bui lagi. Ia tengah memerankan sosok pecundang—padahal sebetulnya ialah sang heronya.
Kelewat spekulatif? Berlebihan? Mengada-ada? Mungkin. Tapi namanya kan baru teori, jadi sah saja. Lagian katanya dunia ini cuma “panggung sandiwara”, jadi segala kemungkinan boleh-boleh saja, atau bisa-bisa saja terjadi.
1 comment:
Kalau saya berpendapat, bahwa ini adalah "genderang perang" telah dibunyikan oleh bandar2 narkoba.
Jaringan bisnis narkoba bukan hanya jaringan lokal, tapi internasional.
Akhir2 ini BNN membuat operasi besar2 an, yang membuat bandar2 lokal tiarap. Roy Marten terjebak dan menjadi korban bandar, supaya dia tidak bisa jadi jurkam BNN.
Setelah ini, siapa lagi...........?
Post a Comment