MESKIPUN ada hukum agama tertentu yang mengijinkannya, dalam prakteknya berpoligami ternyata memang merepotkan. Konon laku berpoligami itu akan oke-oke saja sepanjang pelakunya bisa berlaku adil dalam membagi perhatian dan membagi “lain-lain”nya kepada pasangan poligaminya. Tapi justru itulah sumber keruwetannya : “berbagi” dengan adil itu nonsens faktanya.
Agaknya hukum poligami dalam perilaku beragama juga berlaku dalam urusan ngeblog. Artinya kita tidak pernah dilarang punya lebih dari satu blog. Mau punya seratus blog juga silakan saja. Tapi masalahnya kemudian, bagaimana lalu anda mengatur waktu dan membagi-bagi “kasih sayang” anda kepada blog-blog itu? Bisakah anda berlaku adil dan tidak berat sebelah sehingga tidak ada blog anda yang merasa “terzalimi”—sehingga lalu merana, dan akhirnya mati kesepian?
Begitulah, seperti lazimnya “blogger yang normal” dan merasa “masih perkasa” saya tidak tahan juga untuk tidak “berpoligami”. Tidak puas hanya “mengawini” satu blog, sudah hampir setahun ini saya memaksakan diri hidup seiring semati dengan dua blog sekaligus. Awalnya kehidupan “poligami” saya berjalan beres-beres saja. Tapi kemudian ternyata saya mulai suka mencong dan plintat-plintut dengan salah satu blog saya.
Tidak bisa saya pungkiri ternyata saya lebih sayang kepada blog sastra saya, ketimbang blog gado-gado saya yang ini. Mau bilang apa, diputar-putar ke manapun itulah faktanya. Blog sastra saya ternyata lebih sering saya “nafkahi”, minimal seminggu dua kali, malah kadang kalau lagi ngebet kami malah bisa “bercintaan” saban hari. Sementara blog gado-gado [Ruang Samping] ini hanya sesekali saja saya jamah dan belai.
Sebetulnya saya masih cinta sama blog gado-gado saya ini. Masalahnya sampai saat ini saya belum punya “kendaraan” (alias komputer) sendiri. Jadi kalau mau menengokinya saya terpaksa naik “kendaraan umum” (maksudnya warnet). Itu sangat melelahkan dan tidak praktis. Sering terjadi mendadak pada tengah malam yang sepi dan dingin saya ngebet dan kepingin sekali “mengencaninya”, tapi karena ketiadaan sarana saya hanya bisa menahan “gejolak” saya itu.diam-diam, sampai akhirnya padam sendiri.
Tapi saya belum berpikir untuk meninggalkan apalagi menceraikannya. Seperti saya katakan di atas, sebetulnya saya masih sayang sama “dia”, hanya keadaanlah yang memaksa kami jadi jarang bisa ketemu. Lagi pula “dia” tampaknya cukup mengerti kok dengan keadaan saya yang hanya pegawai rendahan dengan gaji pas-pasan ini. Dan yang paling penting dia sama sekali tak keberatan saya “madu”. Jadi tidak ada masalah kan?
Agaknya hukum poligami dalam perilaku beragama juga berlaku dalam urusan ngeblog. Artinya kita tidak pernah dilarang punya lebih dari satu blog. Mau punya seratus blog juga silakan saja. Tapi masalahnya kemudian, bagaimana lalu anda mengatur waktu dan membagi-bagi “kasih sayang” anda kepada blog-blog itu? Bisakah anda berlaku adil dan tidak berat sebelah sehingga tidak ada blog anda yang merasa “terzalimi”—sehingga lalu merana, dan akhirnya mati kesepian?
Begitulah, seperti lazimnya “blogger yang normal” dan merasa “masih perkasa” saya tidak tahan juga untuk tidak “berpoligami”. Tidak puas hanya “mengawini” satu blog, sudah hampir setahun ini saya memaksakan diri hidup seiring semati dengan dua blog sekaligus. Awalnya kehidupan “poligami” saya berjalan beres-beres saja. Tapi kemudian ternyata saya mulai suka mencong dan plintat-plintut dengan salah satu blog saya.
Tidak bisa saya pungkiri ternyata saya lebih sayang kepada blog sastra saya, ketimbang blog gado-gado saya yang ini. Mau bilang apa, diputar-putar ke manapun itulah faktanya. Blog sastra saya ternyata lebih sering saya “nafkahi”, minimal seminggu dua kali, malah kadang kalau lagi ngebet kami malah bisa “bercintaan” saban hari. Sementara blog gado-gado [Ruang Samping] ini hanya sesekali saja saya jamah dan belai.
Sebetulnya saya masih cinta sama blog gado-gado saya ini. Masalahnya sampai saat ini saya belum punya “kendaraan” (alias komputer) sendiri. Jadi kalau mau menengokinya saya terpaksa naik “kendaraan umum” (maksudnya warnet). Itu sangat melelahkan dan tidak praktis. Sering terjadi mendadak pada tengah malam yang sepi dan dingin saya ngebet dan kepingin sekali “mengencaninya”, tapi karena ketiadaan sarana saya hanya bisa menahan “gejolak” saya itu.diam-diam, sampai akhirnya padam sendiri.
Tapi saya belum berpikir untuk meninggalkan apalagi menceraikannya. Seperti saya katakan di atas, sebetulnya saya masih sayang sama “dia”, hanya keadaanlah yang memaksa kami jadi jarang bisa ketemu. Lagi pula “dia” tampaknya cukup mengerti kok dengan keadaan saya yang hanya pegawai rendahan dengan gaji pas-pasan ini. Dan yang paling penting dia sama sekali tak keberatan saya “madu”. Jadi tidak ada masalah kan?
2 comments:
wuih sama mas. aku poligamier yang gagal
lebih banyak nulis yang menye2 daripada bidangku di ekonomi
atau ini justru menunjukkan jati diriku?
Kalo aku sih, setelah aku pikir2 sebabnya memang lebih karena ketiadaan sarana itu, jadi sering gagal memanfaatkan momen yang bagus. Salam.
Post a Comment