Mungkin terdengar rada konyol nasehat itu, tapi coba perhatikan fakta bahwa ketika sedang liburan kita biasa melakukan hampir segala sesuatu dengan tempo lebih lambat dari biasa, dan nyatanya kita jadi merasa jauh lebih nyaman, bukan? Bukankah sudah lama ditengarai bahwa gaya hidup modern yang selalu terbirit-birit macam lomba itu menjadi penyebab timbulnya berbagai penyakit, dan pada gilirannya menyebabkan ketidakbahagiaan.
Sebuah temuan mengejutkan (seharusnya tidak lagi mengejutkan) belum lama ini menyebutkan bahwa penduduk Singapura ternyata tergolong penduduk yang "tidak bahagia" di dunia. Mengherankan (seharusnya juga tidak perlu diherani) bahwa ternyata kemakmuran fisik; keserbacukupan materi di negeri mungil nan tajir itu tidak otomatis mengantar pada kebahagiaan. Bahkan kita mungkin menjadi sah untuk bertanya, apakah bukan tidak mungkin kemakmuran fisik itu yang jadi penyebab ketidakbahagiaan di sana?
Temuan itu selanjutnya menyodorkan fakta bahwa penduduk di sejumlah negara Amerika Latin (yang lebih "miskin" ketimbang Singapura) ternyata malah terglolong "bahagia" dengan hidupnya. Mengapa bisa begitu? Mungkin perbedaan gaya hidup di Singapura dan Amerika Latin itulah penyebabnya. Di Singapura hidup begitu bergegas sehingga orang di sana dipaksa menjalani segala sesuatunya mungkin lebih cepat 5 menit dari biasanya. Sementara di Amerika Latin irama hidup berjalan lebih pelan, dan orang di sana masih bisa melakukan segala sesuatunya 5 menit lebih lambat ...
Mungkin menarik menambahkan satu catatan lagi, yaitu bahwa Singapura adalah contoh negara sekuler di mana hal-hal spiritual makin dianggap sebagai "tidak relevan" lagi. Hal sebaliknya terjadi di negara-negara Amerika Latin. Jadi bolehkah kita pun sedikit bergurau: penduduk Singapura memetik banyak kekayaan duniawi tapi pada saat yang sama mereka dipaksa mencicipi juga pahitnya bebuah sekulerisme?