MARI kita bicara sedikit perihal "sang kebetulan". Kita mulai dengan sejumlah contoh yang "kebetulan" saya ingat saat ini : "Kebetulan saya bekerja di perusahaan ini", "Kebetulan saya seorang penulis", "Kebetulan saja saya kenal padanya", "Kebetulan tadi pagi saya terlambat bangun jadi bisa ketemu kamu pas berangkat", atau "Kebetulan saya terlahir miskin", lagi "Kebetulan waktu itu presidennya masih pak Harto", dan seterusnya.
Kalau kita menyebut "kebetulan" tentu jelas maksudnya ada sebuah atau serangkaian kejadian atau peristiwa yang sudah terjadi "begitu saja" tanpa kita merencanakannya lebih dulu. Ada orang yang percaya bahwa kehidupan ini terjadi dan tersusun dari serangkaian peristiwa kebetulan. Aduh, jangan-jangan dulu Tuhan juga mencipta karena kebetulan?
Tapi betulkah begitu duduk soalnya? Kita comot saja pernyataan "kebetulan" yang pertama di atas. Kalau kita setuju pada paham "kebetulan-isme" itu berarti "saya" dalam contoh pernyataan di atas berada dalam kondisi 'tertidur pulas' atau 'pingsan', lalu sekonyong-konyong "saya" mendusin dan mendapatkan dirinya "sedang bekerja di perusahaan ini". Padahal tidak begitu, bukan?
Tapi bagaimana menjelaskan begitu banyak "kebetulan" lain yang ada di sekitar kita, dan begitu banyak "kebetulan" yang juga terjadi pada kita masing-masing? Musti buru-buru dikatakan dulu bahwa tidak akan pernah ada jawaban memadai untuk itu. Hidup akan tetap tinggal sebagai teka-teki. Pada suatu hari kita lahir, pada suatu hari kita menjadi tua, lalu pada suatu hari yang lain kita pun mati--siklus itu berlangsung kekal dan tak pernah ada jawaban memadai tentangnya, bukan?
Tapi bagaimana menjelaskan begitu banyak "kebetulan" lain yang ada di sekitar kita, dan begitu banyak "kebetulan" yang juga terjadi pada kita masing-masing? Musti buru-buru dikatakan dulu bahwa tidak akan pernah ada jawaban memadai untuk itu. Hidup akan tetap tinggal sebagai teka-teki. Pada suatu hari kita lahir, pada suatu hari kita menjadi tua, lalu pada suatu hari yang lain kita pun mati--siklus itu berlangsung kekal dan tak pernah ada jawaban memadai tentangnya, bukan?
Kecuali kalau kita, dengan segala kerendahan hati, mau mengakui segala "keterbatasan" kita, lalu dengan sepenuh hati berpaling kepada yang "tidak terbatas" di luar kita. Terserah anda mau menamakan yang "tak terbatas" itu "Apa" atau "Siapa". Hanya jika kita sungguh mau berpaling, maka "yang tak terbatas" itu akan membimbing dan meyakinkan anda bahwa tidak pernah ada yang "kebetulan" dalam hidup anda.
No comments:
Post a Comment