SEPAK terjang anggota DPR sudah lama bikin mual saya—mungkin anda juga merasa begitu? Di zaman Orba dulu mereka dikenal sebagai tukang stempel pemerintah, yang kerjanya cuma 4 D alias “datang, duduk, diam, duit”. Satu-satunya kata yang mereka tahu dan berani mereka ucapkan di ruang sidang adalah “setuju”. Ini sungguh beda dengan anggota DPR yang sekarang, yang sebentar-sebentar menjerit “interupsi!”—mungkin sembari dengan gagah mengebrak meja dan menaikinya. Seolah mereka mau bilang “saya menginterupsi, karena itu saya ada.”
Satu-satunya hal yang masih bisa “menghibur” saya adalah kenyataan bahwa saya dulu tidak ikutan nyoblos waktu Pemilu. Jadi kalau ada teman yang pada ribut memasalahkan perilaku aneh-aneh anggota DPR, saya bisa bilang dengan sedikit “bangga” bahwa “saya dulu nggak ikut memilih, jadi saya nggak ikut bertanggung jawab dengan kualitas anggota DPR kita yang ancur-ancuran begitu.” Ternyata keputusan saya dulu memilih menjadi golput tidak keliru.
Penamaan “TK” alias Taman Kanak-Kanak oleh Gus Dus ke alamat anggota parlemen sungguh tidak keliru. Tapi mungkin boleh juga kita menambahnya beberapa lagi mengingat perilaku dan “prestasi” TK Senayan ini memang sangat fenomenal. Bagaimana kalau misalnya DPR itu kita sebut saja kependekan dari “Dewan Pengibul Rakyat”? Faktanya kerja mereka sejauh ini memang hanya mengibuli rakyat yang sudah susah payah memilih mereka, bukan?
Bagaimana kalau “Dewan Penjarah Rakyat”, atau lebih halus sedikit “Dewan Penilep Rakyat”? Koran Tempo hari ini dalam portalnya memberi masukan baru, yaitu “Dewan Pembuat Ribut”. Lagi-lagi tidak salah, karena faktanya memang DPR ini kerjanya cuma ngeributin soal-soal yang sering nggak jelas urgensinya buat orang banyak. Misalnya, ribut-ribut interpelasi resolusi PBB atas Iran itu.
Daripada ngurusin Iran—yang juga kagak ngurusin kita—bukankah lebih “merakyat” dan elegan kalau mereka meributkan saja urusan lumpur Lapindo, kelangkaan minyak goreng, atau kisruhnya distribusi beras murah buat orang susah? Tapi barangkali di mata para “siswa-siswi” TK Senayan urusan beginian tidak tergolong “high politics”, jadi tidak perlulah dijadikan prioritas dan diributkan.
Satu-satunya hal yang masih bisa “menghibur” saya adalah kenyataan bahwa saya dulu tidak ikutan nyoblos waktu Pemilu. Jadi kalau ada teman yang pada ribut memasalahkan perilaku aneh-aneh anggota DPR, saya bisa bilang dengan sedikit “bangga” bahwa “saya dulu nggak ikut memilih, jadi saya nggak ikut bertanggung jawab dengan kualitas anggota DPR kita yang ancur-ancuran begitu.” Ternyata keputusan saya dulu memilih menjadi golput tidak keliru.
Penamaan “TK” alias Taman Kanak-Kanak oleh Gus Dus ke alamat anggota parlemen sungguh tidak keliru. Tapi mungkin boleh juga kita menambahnya beberapa lagi mengingat perilaku dan “prestasi” TK Senayan ini memang sangat fenomenal. Bagaimana kalau misalnya DPR itu kita sebut saja kependekan dari “Dewan Pengibul Rakyat”? Faktanya kerja mereka sejauh ini memang hanya mengibuli rakyat yang sudah susah payah memilih mereka, bukan?
Bagaimana kalau “Dewan Penjarah Rakyat”, atau lebih halus sedikit “Dewan Penilep Rakyat”? Koran Tempo hari ini dalam portalnya memberi masukan baru, yaitu “Dewan Pembuat Ribut”. Lagi-lagi tidak salah, karena faktanya memang DPR ini kerjanya cuma ngeributin soal-soal yang sering nggak jelas urgensinya buat orang banyak. Misalnya, ribut-ribut interpelasi resolusi PBB atas Iran itu.
Daripada ngurusin Iran—yang juga kagak ngurusin kita—bukankah lebih “merakyat” dan elegan kalau mereka meributkan saja urusan lumpur Lapindo, kelangkaan minyak goreng, atau kisruhnya distribusi beras murah buat orang susah? Tapi barangkali di mata para “siswa-siswi” TK Senayan urusan beginian tidak tergolong “high politics”, jadi tidak perlulah dijadikan prioritas dan diributkan.
No comments:
Post a Comment