BELUM lama ini saya membaca di sebuah koran ibu kota berita tentang perlakuan diskriminatif yang dipertontonkan penguasa dan sekelompok publik di negeri Abang Sam terhadap kelompok muslim di sana. Disebutkan dalam berita itu jumlah pengaduan atas tindakan diskriminatif kepada mereka--pasca 11 September 2001--terus meningkat sampai di atas 20 persen (Kompas, 16 Juni 2007).
Sewaktu membaca berita itu saya langsung teringat pada perlakuan berat sebelah yang juga sering diterima kelompok minoritas di negeri kita sendiri. Mendadak saya pun sadar bahwa praktek-praktek diskriminatif ini ternyata bersifat universal, bukan menjadi monopoli kelompok etnik, ras atau keyakinan tertentu saja.
Pada diri setiap manusia--mungkin juga pada setiap mahluk?--rupanya ada kecenderungan untuk selalu mau ber "show of force", dan kecenderungan itu kemudian seperti mendapatkan "pembenaran" manakala ia beruntung terhisap ke dalam kelompok mayoritas, yang mengantarnya pada posisi "aman" dan "sah" untuk memaksa pihak sana, yang kebetulan monoritas, menuruti apa maunya.
Naluri "mentang-mentang mayoritas" ini sangat kelihatan pada saat bocah. Dan rupanya tidak semua naluri "beast" itu bisa dihilangkan sewaktu kita berangkat dewasa. Setiap kita rupanya punya potensi untuk selalu gagal menetralisir naluri agresif itu, tidak peduli apa warna kulit, atau merek keyakinan kita. Tidak setiap kita berhasil keluar dari kurungan atmosfir "kebocahan" yang jadi penanda awal kehadiran kita.
Umur kita boleh saja bertanbah, tapi perilaku kita bisa saja terus "mboys". Itulah yang dipertontonkan sekelompok publik Amerika di awal tulisan ini, dan itu juga yang kerap dipamerkan oleh kelompok mayoritas dari agama tertentu di republik tercinta kita ini.
Sewaktu membaca berita itu saya langsung teringat pada perlakuan berat sebelah yang juga sering diterima kelompok minoritas di negeri kita sendiri. Mendadak saya pun sadar bahwa praktek-praktek diskriminatif ini ternyata bersifat universal, bukan menjadi monopoli kelompok etnik, ras atau keyakinan tertentu saja.
Pada diri setiap manusia--mungkin juga pada setiap mahluk?--rupanya ada kecenderungan untuk selalu mau ber "show of force", dan kecenderungan itu kemudian seperti mendapatkan "pembenaran" manakala ia beruntung terhisap ke dalam kelompok mayoritas, yang mengantarnya pada posisi "aman" dan "sah" untuk memaksa pihak sana, yang kebetulan monoritas, menuruti apa maunya.
Naluri "mentang-mentang mayoritas" ini sangat kelihatan pada saat bocah. Dan rupanya tidak semua naluri "beast" itu bisa dihilangkan sewaktu kita berangkat dewasa. Setiap kita rupanya punya potensi untuk selalu gagal menetralisir naluri agresif itu, tidak peduli apa warna kulit, atau merek keyakinan kita. Tidak setiap kita berhasil keluar dari kurungan atmosfir "kebocahan" yang jadi penanda awal kehadiran kita.
Umur kita boleh saja bertanbah, tapi perilaku kita bisa saja terus "mboys". Itulah yang dipertontonkan sekelompok publik Amerika di awal tulisan ini, dan itu juga yang kerap dipamerkan oleh kelompok mayoritas dari agama tertentu di republik tercinta kita ini.
No comments:
Post a Comment