PARTAI Keadilan Sejahtera (PKS), salah satu parpol berbasis konstituen Islam yang sejauh ini berhasil tampil “bersih” dan “moderat” terpeleset dalam serangkaian blunder, yang bukan tidak mungkin akan berpengaruh pada perolehan suara mereka pada Pemilu 2009 kelak.
Blunder pertama terjadi sewaktu PKS mencantumkan nama mantan penguasa Orde Baru, Suharto, dalam sebuah “iklan politik” mereka belum lama ini. Dalam iklan itu, Suharto—yang oleh banyak kalangan masih dicap “nista”--disejajarkan dengan sejumlah tokoh pahlawan nasional yang nilai ketokohannya sudah dianggap “paten”. Iklan itu langsung menuai sinisme publik. PKS dianggap tengah mencoba “membaiki” kubu Cendana.
Tapi seperti sengaja melawan arus, tak lama sesudah manuver iklan itu, PKS malah bikin eksperimen lain lagi. Kali ini putri sulung Suharto, Tutut, yang digeret-geret, dihadiahi gelar “perempuan yang menginspirasi”. Protes pun bermunculan kembali, dan kali ini PKS cukup tanggap agaknya. Nama putri Suharto itu pun batal disertakan dalam hajatan mereka.
Heboh paling akhir dilakukan oleh Hidayat Nurwahid, mantan ketua PKS yang sekarang menduduki kursi pertama di MPR. Politikus kalem yang gemar tampil bersahaja itu meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar mengeluarkan fatwa “haram” bagi pemilih yang memutuskan “golput” pada Pemilu yang akan datang. Tentu banyak pihak heran dengan manuver ganjil (dan bodoh) dari tokoh PKS ini.
Partai Keadilan Sejahtera selama ini terkesan “percaya diri” dan “tidak grasa-grusu” dalam perilaku politiknya. Dan dengan gaya “slow but sure” itu sejauh ini mereka terus menunjukkan grafik prestasi yang bagus. Tapi serangkian blunder yang mereka buat mendadak menghapus kesan itu.
Kehebohan yang mereka timbulkan seolah “bukti” kecil (tapi penting) bahwa mereka ternyata tidak se-”low profile” dan se-“sabar” (pun tidak se-“demokratis”) seperti.selama ini disangka. Jadi, sungguh inikah wajah asli Partai Keadilan Sejahtera?
16 December 2008
09 December 2008
Jessy Gusman Kepingin Naik Bus Kota
SUATU ketika di tahun 1980-an, Jessy Gusman—yang kala itu masih seorang artis remaja papan atas nan cantik molek—mengatakan kepada seorang wartawan bahwa ia masih menyimpan sebuah keinginan terpendam yang sampai saat itu belum sempat dikecapnya. Anda tahu apa “keinginan terpendam” yang dimaksudnya? Ini : berjejalan naik bus kota di Jakarta.
Kemiskinan dan “hidup susah” memang bisa saja terlihat eksotis dan “indah” jika kita berkesempatan mengamatinya dari jarak yang cukup jauh dan aman. Artinya jika kita berada dalam posisi hanya sebagai “penonton”--atau paling jauh sekadar “saksi”—dan bukan pelaku, atau lebih tepat “korban”, dari lelakon hidup prihatin itu.
Begitu juga dengan pengalaman berjejalan dalam bus kota. Apa nikmatnya coba naik bus kota berdesakkan begitu : gerah, panas, bau, lengket? Setiap hari saya pulang pergi ke kantor dengan bus kota, dan saya tahu betul betapa tak nyamannya kondisi angkutan umum yang satu ini. Bukan hanya tak nyaman, pun tiada aman. Saya pernah dua kali digebukin copet—gara-gara mau meniru Bruce Lee hehehe--sampai hampir terlempar dari pintunya.
Maka jika si cantik Jessy Gusman dulu pernah berangan-angan kepengin merasakan pengalaman “berdesakkan dalam bus kota”, itu tentu harus dipahami sebagai keinginan seorang kaya dan mapan yang lagi sekadar haus pengalaman yang sedikit beda. Katakanlah itu semacam ovoturisme kecil-kecilan, yang tentu saja aman dan tak beresiko sama sekali. Karena sang artis masih berada dalam zona amannya sendiri.
Kemiskinan dan “hidup susah” memang bisa saja terlihat eksotis dan “indah” jika kita berkesempatan mengamatinya dari jarak yang cukup jauh dan aman. Artinya jika kita berada dalam posisi hanya sebagai “penonton”--atau paling jauh sekadar “saksi”—dan bukan pelaku, atau lebih tepat “korban”, dari lelakon hidup prihatin itu.
Begitu juga dengan pengalaman berjejalan dalam bus kota. Apa nikmatnya coba naik bus kota berdesakkan begitu : gerah, panas, bau, lengket? Setiap hari saya pulang pergi ke kantor dengan bus kota, dan saya tahu betul betapa tak nyamannya kondisi angkutan umum yang satu ini. Bukan hanya tak nyaman, pun tiada aman. Saya pernah dua kali digebukin copet—gara-gara mau meniru Bruce Lee hehehe--sampai hampir terlempar dari pintunya.
Maka jika si cantik Jessy Gusman dulu pernah berangan-angan kepengin merasakan pengalaman “berdesakkan dalam bus kota”, itu tentu harus dipahami sebagai keinginan seorang kaya dan mapan yang lagi sekadar haus pengalaman yang sedikit beda. Katakanlah itu semacam ovoturisme kecil-kecilan, yang tentu saja aman dan tak beresiko sama sekali. Karena sang artis masih berada dalam zona amannya sendiri.
02 December 2008
Tambah "Rapat"nya, Makin Krisisnya
RUANG rapat di kantor kami biasanya fully booked. Di ruang yang senantiasa berhawa sejuk itu biasa berkumpul “orang-orang pandai” : sebagian berdasi, kadang berjas sopan resmi.Biasanya mereka datang ke ruang itu dengan membawa berkas-berkas yang sepertinya telah dipersiapkan dengan “rumit & profesional”. Sebagian pada menenteng laptop. Sebagian dari mereka rupanya gemar bersuara keras—dalam arti bicara dengan nyaring. Kadang mereka terlihat saling berteriak, atau ketawa berkakakan seru sekali..
Menurut seorang pakar manajemen—Pablo Neruda atau Wislawa Symborska kalau tak keliru?—sebuah orgnanisasi yang baik akan berjalan hampir otomatis, karena ditunjang sistem yang rapi. Organisasi yang baik tidak tergantung pada kehadiran person-person tertentu—untuk level “top” ya, sebab merekalah “play maker” dan dalam situasi tertentu menjadi “imspirator” tim— tapi secara umum sistemlah yang menuntun semuanya mencapai tujuan. Tak diperlukan lagi rapat, kecuali mungkin rapat-rapat evaluasi rutin, sebab semua orang sudah pada tahu harus bikin apa dan bagaimana caranya.
Maka dalam organisasi yang benar, rapat adalah pertanda adanya “krisis”. Ada yang sedang tidak beres (seperti hari-hari ini), karena itu sejumlah orang lantas dipanggil, diminta berkumpul di ruang rapat, untuk bersama-sama duduk guna merumuskan kembali “apa” sasaran organisasi dan “bagaimana” mencapai sasaran kerja organisasi.
Karena itu silakan anda mulai mengira-ngira, apakah yang sedang terjadi dengan kantor anda, jika misalnya ruang rapat di sana selalu “penuh dipesan”? Jika kita setuju bahwa rapat adalah pertanda adanya “krisis”, apakah itu berarti kantor anda sedang begitu dilanda krisis, karena ada sejumlah orang sepanjang hari berkumpul di ruang rapat? Atau jika seringnya rapat adalah pertanda implisit “tidak beresnya sistem”, seberapa kacaukah sistem di kantor anda?
Aduh, mengapa saya menulis seperti ini, berlagak jadi pakar manajemen segala? Sebetulnya saya hanya sedang tertarik mengamati kelakuan orang-orang yang diundang ke ruang rapat. Bagi saya sendiri kata “rapat” memang mengandung konotasi yang tak nyaman. Rapat biasanya memang terkait dengan situasi yang tidak normal, yang darurat, bahkan sering gawat. Saya tak pernah tertarik diundang rapat—rapat kantor dan rapat lainnya. Kalau masih bisa saya mendingan “lari” saja, atau kirim wakil.
Rapat mungkin mirip juga sebuah pementasan : setiap person yang digiring ke dalam ruang rapat mempunyai tanggung jawab untuk menjaga supaya “pementasan rapat” berjalan sukses. Minimal ia bertanggung-jawab menjaga performanya sendiri supaya tidak kedodoran di depan yang lain—utamanya di depan atasan yang biasanya hadir juga. Bagi sejumlah orang, rapat memang ajang tempat dia “show” pamer “kepintaran” dengan cara “membantai” atau menggoblok-goblokkan yang lainnya.
Mungkin itu sebabnya perut saya suka mendadak mulas jika diundang rapat.
Menurut seorang pakar manajemen—Pablo Neruda atau Wislawa Symborska kalau tak keliru?—sebuah orgnanisasi yang baik akan berjalan hampir otomatis, karena ditunjang sistem yang rapi. Organisasi yang baik tidak tergantung pada kehadiran person-person tertentu—untuk level “top” ya, sebab merekalah “play maker” dan dalam situasi tertentu menjadi “imspirator” tim— tapi secara umum sistemlah yang menuntun semuanya mencapai tujuan. Tak diperlukan lagi rapat, kecuali mungkin rapat-rapat evaluasi rutin, sebab semua orang sudah pada tahu harus bikin apa dan bagaimana caranya.
Maka dalam organisasi yang benar, rapat adalah pertanda adanya “krisis”. Ada yang sedang tidak beres (seperti hari-hari ini), karena itu sejumlah orang lantas dipanggil, diminta berkumpul di ruang rapat, untuk bersama-sama duduk guna merumuskan kembali “apa” sasaran organisasi dan “bagaimana” mencapai sasaran kerja organisasi.
Karena itu silakan anda mulai mengira-ngira, apakah yang sedang terjadi dengan kantor anda, jika misalnya ruang rapat di sana selalu “penuh dipesan”? Jika kita setuju bahwa rapat adalah pertanda adanya “krisis”, apakah itu berarti kantor anda sedang begitu dilanda krisis, karena ada sejumlah orang sepanjang hari berkumpul di ruang rapat? Atau jika seringnya rapat adalah pertanda implisit “tidak beresnya sistem”, seberapa kacaukah sistem di kantor anda?
Aduh, mengapa saya menulis seperti ini, berlagak jadi pakar manajemen segala? Sebetulnya saya hanya sedang tertarik mengamati kelakuan orang-orang yang diundang ke ruang rapat. Bagi saya sendiri kata “rapat” memang mengandung konotasi yang tak nyaman. Rapat biasanya memang terkait dengan situasi yang tidak normal, yang darurat, bahkan sering gawat. Saya tak pernah tertarik diundang rapat—rapat kantor dan rapat lainnya. Kalau masih bisa saya mendingan “lari” saja, atau kirim wakil.
Rapat mungkin mirip juga sebuah pementasan : setiap person yang digiring ke dalam ruang rapat mempunyai tanggung jawab untuk menjaga supaya “pementasan rapat” berjalan sukses. Minimal ia bertanggung-jawab menjaga performanya sendiri supaya tidak kedodoran di depan yang lain—utamanya di depan atasan yang biasanya hadir juga. Bagi sejumlah orang, rapat memang ajang tempat dia “show” pamer “kepintaran” dengan cara “membantai” atau menggoblok-goblokkan yang lainnya.
Mungkin itu sebabnya perut saya suka mendadak mulas jika diundang rapat.
27 November 2008
Film "Lewat Djam Malam", Sebuah Mahakarya
SAYA tak pernah tertarik menonton film Indonesia, sejak film-film seperti “Lewat Djam Malam” dan “Krisis” tidak pernah dibuat orang lagi, begitu suatu kali Goenawan Mohamad menulis. Ketika membacanya saya tertegun : film macam apakah “Lewat Djam Malam” dan “Krisis” yang begitu dipujikan Goenawan itu? Rasa penasaran semakin bertambah setelah saya membaca juga ulasan seorang kritikus film asal Jepang. Sang kritikus menyebut film itu sebagai salah satu film terbaik dunia (!) yang pernah ditontonnya.
Kedua film itu meluncur dari tangan dingin sineas besar kita, Usmar Ismail (alm). Saya merasa beruntung pernah menonton keduanya lewat sajian layar TVRI entah berapa tahun yang lalu—rasanya masa itu sudah lama sekali. Saya kurang begitu ingat film “Krisis”, tapi “Lewat Djam Malam” bagi saya sungguh sebuah film hebat. Film itu berkisah tentang kekecewaan “para pejuang” revolusi ketika mereka kembali ke dalam kehidupan “damai” di kota. Tokoh utamanya diceritakan “gagal” berdaptasi dengan situasi kehidupan yang “normal” dan terlibat dalam sejumlah konflik, bahkan juga dengan bekas teman-temannya sesama “pejuang”.
Masa sewaktu film itu dibuat adalah masa-masa yang belum lagi jauh dari kalibut debu dan mesiu 1945. Situasi masih serba seadanya dan darurat. Tapi justru di tengah kondisi yang serba pas-pasan itu Usmar berhasil menelurkan sebuah “maha karya”—pujian yang tidaklah mengada-ada dan berlebihan—sebagaimana diutarakan oleh kritikus film asal Jepang itu. Konflik dalam film itu tertuang dengan jernih dan kuat. Sungguh sebuah karya yang menggetarkan.
Sesudah menontonnya saya pun terpaksa bersetuju dengan Goenawan Mohamad. Memang saya masih menyempatkan diri menonton sejumlah film nasional lain, dan ada sejumlah film yang cukup menarik, tapi pengalaman artistik yang menggetarkan—seperti ketika menyaksikan “Lewat Djam Malam”—belum pernah lagi saya alami. Sineas-sineas yang dianggap “besar” dan ”penting” pasca Usmar Ismail (dari Teguh Karya sampai yang paling mutakhir generasi Riri Riza) menurut saya belum bisa membuat film sebagus itu lagi.
Mungkin yang “agak mendekati” kebesaran Usmar Ismail adalah Syumanjaya. Salah satu filmnya, “Yang Muda Yang Bercinta”, bagi saya sangat menarik. Tapi Syumanjaya (seperti Usmar Ismail) juga sudah lama tiada.
Kedua film itu meluncur dari tangan dingin sineas besar kita, Usmar Ismail (alm). Saya merasa beruntung pernah menonton keduanya lewat sajian layar TVRI entah berapa tahun yang lalu—rasanya masa itu sudah lama sekali. Saya kurang begitu ingat film “Krisis”, tapi “Lewat Djam Malam” bagi saya sungguh sebuah film hebat. Film itu berkisah tentang kekecewaan “para pejuang” revolusi ketika mereka kembali ke dalam kehidupan “damai” di kota. Tokoh utamanya diceritakan “gagal” berdaptasi dengan situasi kehidupan yang “normal” dan terlibat dalam sejumlah konflik, bahkan juga dengan bekas teman-temannya sesama “pejuang”.
Masa sewaktu film itu dibuat adalah masa-masa yang belum lagi jauh dari kalibut debu dan mesiu 1945. Situasi masih serba seadanya dan darurat. Tapi justru di tengah kondisi yang serba pas-pasan itu Usmar berhasil menelurkan sebuah “maha karya”—pujian yang tidaklah mengada-ada dan berlebihan—sebagaimana diutarakan oleh kritikus film asal Jepang itu. Konflik dalam film itu tertuang dengan jernih dan kuat. Sungguh sebuah karya yang menggetarkan.
Sesudah menontonnya saya pun terpaksa bersetuju dengan Goenawan Mohamad. Memang saya masih menyempatkan diri menonton sejumlah film nasional lain, dan ada sejumlah film yang cukup menarik, tapi pengalaman artistik yang menggetarkan—seperti ketika menyaksikan “Lewat Djam Malam”—belum pernah lagi saya alami. Sineas-sineas yang dianggap “besar” dan ”penting” pasca Usmar Ismail (dari Teguh Karya sampai yang paling mutakhir generasi Riri Riza) menurut saya belum bisa membuat film sebagus itu lagi.
Mungkin yang “agak mendekati” kebesaran Usmar Ismail adalah Syumanjaya. Salah satu filmnya, “Yang Muda Yang Bercinta”, bagi saya sangat menarik. Tapi Syumanjaya (seperti Usmar Ismail) juga sudah lama tiada.
24 November 2008
"Sandiwara Politik" Koes Bersaudara
GRUP musik—dulu kita sempat terbiasa dengan istilah “band”—Koes Bersaudara (yang kemudian menjelma Koes Plus dan sekarang Koes Plus Pembaharuan—kayak nama koran hehe) pernah juga menorehkan kisah di halaman sejarah politik negeri ini. Itulah lelakon sudah lama berselang kala mereka dijebloskan ke penjara rejim Orde Lama.
Bung Karno (BK), sang pemimpin masa itu, menganggap mereka sebagai bagian dari “musuh” yang musti diganyang. Dari penggal kisah itulah kemudian lahir sebutan “musik ngak ngik ngok”—penamaan yang diberikan sang pemimpin untuk melecehkan model musik “barat” dan gaya “elvis-elvisan” yang “tidak sejalan dengan semangat revolusi”.
Tapi siapa nyana peritiwa kelam puluhan tahun yang lalu itu—yang sedikit atau banyak telah berjasa juga mendudukkan band legendaris itu selaku “hero”—ternyata hanya sebuah rekayasa politik alias sandiwara alias bohong-bohongan belaka? Adalah Yok Koeswoyo, salah satu personil kelompok musik itu sendiri, yang membeberkannya dalam tayangan acara Kick Andy pekan lalu.
Ceritanya saat itu ibu pertiwi kan lagi cekcok berat dengan Malaysia. Tetangga serumpun itu dipandang BK sebagai antek kapitalis Amerika di Asia. BK selaku pemimpin merasa perlu menciptakan semacam kehebohan di panggung politik guna mensupport gerakan “ Amerika kita seterika” dan “Inggris kita linggis” yang sedang beliau propagandakan. Maka didekatilah Koes Bersaudara untuk dibujuk agar mau “berkurban demi negara” dengan memainkan sandiwara sedih masuk bui itu.
Hebatnya BK, yang boleh tahu urusan ini hanya Yok, personil band yang lainnya tidak. Maka kejadianlah sewaktu mendekam di sel Nomo sering memarahi Yok sebab sang adik ini tidak pernah menunjukkan rasa prihatin layaknya orang masuk penjara. Ia kelihatan tenang-tenang saja dan malah kadang masih suka cengengesan bergurau, yang tentu saja tambah membikin Nomo dan yang lainnya sewot.
Bung Karno (BK), sang pemimpin masa itu, menganggap mereka sebagai bagian dari “musuh” yang musti diganyang. Dari penggal kisah itulah kemudian lahir sebutan “musik ngak ngik ngok”—penamaan yang diberikan sang pemimpin untuk melecehkan model musik “barat” dan gaya “elvis-elvisan” yang “tidak sejalan dengan semangat revolusi”.
Tapi siapa nyana peritiwa kelam puluhan tahun yang lalu itu—yang sedikit atau banyak telah berjasa juga mendudukkan band legendaris itu selaku “hero”—ternyata hanya sebuah rekayasa politik alias sandiwara alias bohong-bohongan belaka? Adalah Yok Koeswoyo, salah satu personil kelompok musik itu sendiri, yang membeberkannya dalam tayangan acara Kick Andy pekan lalu.
Ceritanya saat itu ibu pertiwi kan lagi cekcok berat dengan Malaysia. Tetangga serumpun itu dipandang BK sebagai antek kapitalis Amerika di Asia. BK selaku pemimpin merasa perlu menciptakan semacam kehebohan di panggung politik guna mensupport gerakan “ Amerika kita seterika” dan “Inggris kita linggis” yang sedang beliau propagandakan. Maka didekatilah Koes Bersaudara untuk dibujuk agar mau “berkurban demi negara” dengan memainkan sandiwara sedih masuk bui itu.
Hebatnya BK, yang boleh tahu urusan ini hanya Yok, personil band yang lainnya tidak. Maka kejadianlah sewaktu mendekam di sel Nomo sering memarahi Yok sebab sang adik ini tidak pernah menunjukkan rasa prihatin layaknya orang masuk penjara. Ia kelihatan tenang-tenang saja dan malah kadang masih suka cengengesan bergurau, yang tentu saja tambah membikin Nomo dan yang lainnya sewot.
19 November 2008
Adam yang "Sexi", Pertanyaan Anak Saya
“Adam itu seksi ya, nggak pake baju lagi”, celutuk anak saya belum lama ini. Dengan kalem saya mencoba membantahnya. “Adam pasti pake baju, kalau nggak pake nanti masuk angin dong”. Tapi dia tak mau kalah, diangsurkannya buku pelajaran agama dari sekolahnya. “Lihat aja ini gambarnya, nggak pake baju kan”, katanya. Saya juga tidak menyerah begitu saja. “Adam pasti pake baju, yang di gambar itu baru mandi barangkali”. Tapi dia tertawa mendengar jawaban itu. “Baru mandi? Mandinya di kali ya, jorok dong …” Saya tak mencoba lagi membantah atau memperpanjang obrolan kami itu.
Seperti anak saya yang kelas 3 SD itu, ada banyak sekali orang yang sungguh percaya bahwa kisah Adam dan Hawa di Firdaus adalah sebuah kejadian nyata. Para fundamentalis dan barisan panjang pengikutnya terlalu takut (atau malas) untuk membaca dan mencari yang “tersirat” di belakang yang tersurat. Mereka membaca kitab suci bak memelototi kitab sejarah, dan meyakininya mentah-mentah sebagaimana tertulis di sana. Setiap huruf dan noktah dalam buku itu haram untuk dipersoalkan.
Tapi studi kitab suci modern mengajar dan berhasil membuktikan bahwa teks-teks yang dipandang suci itu sebetulnya juga sebuah produk sejarah yang tak bisa dilepaskan dari konteks budaya-tempat-waktu teks itu “diturunkan”. Karena sifatnya yang sedikit banyak “kontekstual” itu, bisa dan wajar jika ada teks yang tak lagi terasa “nyambung” dengan situasi hari ini. Maka supaya teks itu tidak menjadi mubazir perlu ada keberanian (dan kerelaan) untuk membacanya dalam semangat baru.
Kembali ke kisah Adam dan Hawa. Tafsir resmi gereja katolik mengajar bahwa kisah dua sejoli itu beserta sejumlah cerita ikutannya harus dipahami seperti kita membaca mitos. Di dalam mitos bukan kebenaran faktual atau historis yang dipentingkan, melainkan pesan moralnya. Seperti kalau kita membaca dongeng “Kancil dan Buaya”, yang penting di sana bukan soal “apakah betul kancil bisa ngobrol dengan buaya”, tetapi pesan bahwa “kekuatan” (buaya) bisa diatasi oleh “kecerdikan” (kancil).
Para pakar Alkitab katolik sampai pada kesimpulan bahwa sejarah keberadaan manusia hanya bisa terlacak sampai pada zaman Abraham (Ibrahim). Segala hal yang terjadi pada masa pra Abraham sesungguhnya gelap adanya. Dan asal muasal penciptaan dengan demikian tetap tinggal sebagai misteri, yang hanya diketahui ‘apa-bagaimana’nya oleh Sang Khalik sendiri.
Kisah Adam dan Hawa sebetulnya modifikasi dari sebuah dongeng (amat) tua Babilonia. Dongeng itu dicangkokkan oleh para guru Yahudi/Israel purba untuk “menyambung” mata rantai sejarah keselamatan manusia yang terputus jejaknya sampai periode Abraham. Dengan ditambahkannya kisah firdaus mata rantai yang terputus itu sekarang menjadi “lengkap” : semesta memiliki titik awal, dan titik awal itu Allah adanya. Itulah pesan kunci yang mau disampaikan kisah Firdaus—lain-lainnya hanya pelengkap, bumbu, mungkin juga sekadar ornamen.
Jawaban seperti itulah yang mustinya saya sodorkan kepada anak saya, tetapi tentu itu tidak mungkin dilakukan. Bayangkan, ia masih 8 tahun, baru kelas 3 SD, dan seperti jutaan orang lainnya, ia pasti belum siap dan lebih suka tinggal terlelap dalam “kebutaan” teologis yang melenakan, seraya belajar merasa “aman” dan “cukup” dengan kualitas iman yang seperti itu. Mungkin untuk sepanjang hidupnya.
Seperti anak saya yang kelas 3 SD itu, ada banyak sekali orang yang sungguh percaya bahwa kisah Adam dan Hawa di Firdaus adalah sebuah kejadian nyata. Para fundamentalis dan barisan panjang pengikutnya terlalu takut (atau malas) untuk membaca dan mencari yang “tersirat” di belakang yang tersurat. Mereka membaca kitab suci bak memelototi kitab sejarah, dan meyakininya mentah-mentah sebagaimana tertulis di sana. Setiap huruf dan noktah dalam buku itu haram untuk dipersoalkan.
Tapi studi kitab suci modern mengajar dan berhasil membuktikan bahwa teks-teks yang dipandang suci itu sebetulnya juga sebuah produk sejarah yang tak bisa dilepaskan dari konteks budaya-tempat-waktu teks itu “diturunkan”. Karena sifatnya yang sedikit banyak “kontekstual” itu, bisa dan wajar jika ada teks yang tak lagi terasa “nyambung” dengan situasi hari ini. Maka supaya teks itu tidak menjadi mubazir perlu ada keberanian (dan kerelaan) untuk membacanya dalam semangat baru.
Kembali ke kisah Adam dan Hawa. Tafsir resmi gereja katolik mengajar bahwa kisah dua sejoli itu beserta sejumlah cerita ikutannya harus dipahami seperti kita membaca mitos. Di dalam mitos bukan kebenaran faktual atau historis yang dipentingkan, melainkan pesan moralnya. Seperti kalau kita membaca dongeng “Kancil dan Buaya”, yang penting di sana bukan soal “apakah betul kancil bisa ngobrol dengan buaya”, tetapi pesan bahwa “kekuatan” (buaya) bisa diatasi oleh “kecerdikan” (kancil).
Para pakar Alkitab katolik sampai pada kesimpulan bahwa sejarah keberadaan manusia hanya bisa terlacak sampai pada zaman Abraham (Ibrahim). Segala hal yang terjadi pada masa pra Abraham sesungguhnya gelap adanya. Dan asal muasal penciptaan dengan demikian tetap tinggal sebagai misteri, yang hanya diketahui ‘apa-bagaimana’nya oleh Sang Khalik sendiri.
Kisah Adam dan Hawa sebetulnya modifikasi dari sebuah dongeng (amat) tua Babilonia. Dongeng itu dicangkokkan oleh para guru Yahudi/Israel purba untuk “menyambung” mata rantai sejarah keselamatan manusia yang terputus jejaknya sampai periode Abraham. Dengan ditambahkannya kisah firdaus mata rantai yang terputus itu sekarang menjadi “lengkap” : semesta memiliki titik awal, dan titik awal itu Allah adanya. Itulah pesan kunci yang mau disampaikan kisah Firdaus—lain-lainnya hanya pelengkap, bumbu, mungkin juga sekadar ornamen.
Jawaban seperti itulah yang mustinya saya sodorkan kepada anak saya, tetapi tentu itu tidak mungkin dilakukan. Bayangkan, ia masih 8 tahun, baru kelas 3 SD, dan seperti jutaan orang lainnya, ia pasti belum siap dan lebih suka tinggal terlelap dalam “kebutaan” teologis yang melenakan, seraya belajar merasa “aman” dan “cukup” dengan kualitas iman yang seperti itu. Mungkin untuk sepanjang hidupnya.
14 November 2008
Berdoa 9 X 9 X 9 Kali
SEBERAPA tekunkah anda berdoa? Jika anda misalnya menginginkan sesuatu yang begitu berharga—sebutlah keinginan mendapat anak, atau rumah tinggal yang layak huni—selain dengan usaha-usaha “duniawi”, seberapa rajinkah anda juga datang padaNya untuk memohon dikabulkannya permintaan itu?
Di dalam tradisi gereja katolik terdapat ritual doa yang disebut Doa Novena. Ini adalah cara berdoa yang unik : kita mendaraskan permohonan kita selama 9 hari berturut-turut, di tempat yang sama dan pada waktu yang sama. Banyak kesaksian yang mengisahkan betapa untuk memenuhi janji “bertemu” selama 9 kali itu ternyata tidak mudah. Biasanya, begitulah cerita yang sering saya dengar, ada saja halangan ini dan itu yang merintangi.
Jika berdoa Novena dalam hitungan normal dan standar saja (9 kali) begitu sulit, terbayangkah oleh anda bahwa ada yang pernah melakoni doa ini dalam hitungan “tidak nornal”, yaitu : 9 X 9, alias 81 kali pertemuan! Ini pernah dilakukan oleh seorang pengajar dalam kelas Alkitab yang saya ikuti. Ia menceritakan pengalamannya itu beberapa pekan lalu.
Apakah itu sudah contoh yang paling heboh? Ternyata belum. Sebab pernah ada seorang ibu yang berdoa Novena sebanyak 9 X 9 X 9 kali alias 729 kali pertemuan. Atau jika dikonversi ke dalam satuan waktu hari, ia telah dengan setia berdoa mendaraskan permohonannya pada jam yang sama dan di tempat yang sama pula selama waktu (persis) 2 tahun kurang 1 hari!
Ceritanya ibu ini telah menikah selama 5 tahun dan belum juga dikaruniai anak. Lalu setelah segala usaha “duniawi”nya untuk mendapatkan anak mentok, ia pun berpaling pada doa Novena ini, dan ia tidak hanya mengikuti kebiasaan yang umum, yaitu berdoa sebanyak 9 kali (atau 81 kali), tetapi 729 kali. Tuhan maha mendengar! Sang ibu akhirnya berkesempatan juga menggendong anaknya. Saking senangnya anak itu dinamainya Novena.
Kisah ibu ini sangat menggugah saya :.seperti itulah seharusnya saya berdoa—yaitu dengan setia dan “tak jemu-jemu”. Tentu seraya selalu mengingat bahwa seberapa hebat pun usaha doa saya, dikabulkan atau tidaknya doa itu akhirnya menjadi hak prerogatif ‘Beliau’ di atas sana, yang tidak berhak saya gugat. Dan inilah hal lain yang juga “sulit” dalam urusan berdoa.
Di dalam tradisi gereja katolik terdapat ritual doa yang disebut Doa Novena. Ini adalah cara berdoa yang unik : kita mendaraskan permohonan kita selama 9 hari berturut-turut, di tempat yang sama dan pada waktu yang sama. Banyak kesaksian yang mengisahkan betapa untuk memenuhi janji “bertemu” selama 9 kali itu ternyata tidak mudah. Biasanya, begitulah cerita yang sering saya dengar, ada saja halangan ini dan itu yang merintangi.
Jika berdoa Novena dalam hitungan normal dan standar saja (9 kali) begitu sulit, terbayangkah oleh anda bahwa ada yang pernah melakoni doa ini dalam hitungan “tidak nornal”, yaitu : 9 X 9, alias 81 kali pertemuan! Ini pernah dilakukan oleh seorang pengajar dalam kelas Alkitab yang saya ikuti. Ia menceritakan pengalamannya itu beberapa pekan lalu.
Apakah itu sudah contoh yang paling heboh? Ternyata belum. Sebab pernah ada seorang ibu yang berdoa Novena sebanyak 9 X 9 X 9 kali alias 729 kali pertemuan. Atau jika dikonversi ke dalam satuan waktu hari, ia telah dengan setia berdoa mendaraskan permohonannya pada jam yang sama dan di tempat yang sama pula selama waktu (persis) 2 tahun kurang 1 hari!
Ceritanya ibu ini telah menikah selama 5 tahun dan belum juga dikaruniai anak. Lalu setelah segala usaha “duniawi”nya untuk mendapatkan anak mentok, ia pun berpaling pada doa Novena ini, dan ia tidak hanya mengikuti kebiasaan yang umum, yaitu berdoa sebanyak 9 kali (atau 81 kali), tetapi 729 kali. Tuhan maha mendengar! Sang ibu akhirnya berkesempatan juga menggendong anaknya. Saking senangnya anak itu dinamainya Novena.
Kisah ibu ini sangat menggugah saya :.seperti itulah seharusnya saya berdoa—yaitu dengan setia dan “tak jemu-jemu”. Tentu seraya selalu mengingat bahwa seberapa hebat pun usaha doa saya, dikabulkan atau tidaknya doa itu akhirnya menjadi hak prerogatif ‘Beliau’ di atas sana, yang tidak berhak saya gugat. Dan inilah hal lain yang juga “sulit” dalam urusan berdoa.
10 November 2008
Amrozi Mati, Terorisme Tidak ...
SESUDAH lama terkatung-katung, akhirnya trio bomber Bom Bali I Amrozi cs jadi juga dieksekusi mati pada Ahad dinihari pukul 00.15 WIB, di sebuah lokasi tersembunyi di hutan Nusakambangan. Ketiganya dikabarkan ditembak dengan mata tidak ditutup sesuai permintaan mereka sendiri.
Sementara itu, Imam Samudra, menulis surat wasiat yang isinya antara lain menyatakan bahwa sebutan “teroris” yang mereka sandang “jauh lebih terhormat” ketimbang sebutan “ulama” jika ulama itu hanya diam terhadap apa yang disebutnya “penindasan kaum kafir”. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri mengeluarkan pernyataan bahwa kematian ketiga teroris itu bukanlah “syahid”, karena cara “perjuangan” mereka dinilai salah kaprah, dan malah menganiaya Islam (Koran Tempo, 10 November 2008).
Pernyataan MUI itu tidak menyurutkan semangat ribuan orang untuk berdatangan ke pemakaman trio bomber tersebut. Bagi para pelayat ini Amrozi cs, tak bisa tidak, adalah pahlawan dan martir, seperti antara lain ditandaskan oleh tokoh Islam garis keras, Abubakar Ba’asyir. Memanglah sebutan “pahlawan” dan “pengkhianat” hanya soal persepsi belaka. Itu hanya menjelaskan di posisi mana kita berdiri.
Yang pasti kematian ketiga bomber Bom Bali I itu tidak lantas berarti ancaman teror berakhir. Masih ada “Noordin M(emang) Top” yang sampai hari ini masih bebas gentayangan, selain kelompok “pejuang anti kafir” lainnya. Kematian Amrozi cs diyakini malah semakin menyalakan semangat “jihad” mereka .Dan ancaman mereka sungguh nyata, meskipun keberadaan mereka sendiri seolah tak pernah nyata.
Memburu dan menangkap “para pejuang anti kafir” ini hidup atau mati jauh lebih mendesak ketimbang meributkan urusan gelar yang pantas disandangkan pada trio bomber yang kini mungkin sedang santai menikmati kenyamanan hidup di sorga, di antara para malaikat dan bidadari yang dengan telaten mengeloni mereka …
Sementara itu, Imam Samudra, menulis surat wasiat yang isinya antara lain menyatakan bahwa sebutan “teroris” yang mereka sandang “jauh lebih terhormat” ketimbang sebutan “ulama” jika ulama itu hanya diam terhadap apa yang disebutnya “penindasan kaum kafir”. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri mengeluarkan pernyataan bahwa kematian ketiga teroris itu bukanlah “syahid”, karena cara “perjuangan” mereka dinilai salah kaprah, dan malah menganiaya Islam (Koran Tempo, 10 November 2008).
Pernyataan MUI itu tidak menyurutkan semangat ribuan orang untuk berdatangan ke pemakaman trio bomber tersebut. Bagi para pelayat ini Amrozi cs, tak bisa tidak, adalah pahlawan dan martir, seperti antara lain ditandaskan oleh tokoh Islam garis keras, Abubakar Ba’asyir. Memanglah sebutan “pahlawan” dan “pengkhianat” hanya soal persepsi belaka. Itu hanya menjelaskan di posisi mana kita berdiri.
Yang pasti kematian ketiga bomber Bom Bali I itu tidak lantas berarti ancaman teror berakhir. Masih ada “Noordin M(emang) Top” yang sampai hari ini masih bebas gentayangan, selain kelompok “pejuang anti kafir” lainnya. Kematian Amrozi cs diyakini malah semakin menyalakan semangat “jihad” mereka .Dan ancaman mereka sungguh nyata, meskipun keberadaan mereka sendiri seolah tak pernah nyata.
Memburu dan menangkap “para pejuang anti kafir” ini hidup atau mati jauh lebih mendesak ketimbang meributkan urusan gelar yang pantas disandangkan pada trio bomber yang kini mungkin sedang santai menikmati kenyamanan hidup di sorga, di antara para malaikat dan bidadari yang dengan telaten mengeloni mereka …
03 November 2008
Belas Kasihan Untuk Amrozi?
HARI-HARI ini, menjelang waktu eksekusi terpidana mati Amrozi cs, sejumlah media televisi ganti-berganti menshoot (dan men-”zoom”) para “pahlawan” Islam itu. Lantas, mungkin dengan maksud untuk lebih menumbuhkan kesan dramatis, ditampilkan juga sejumlah anggota keluarga mereka. Tidak ketinggalan diperlihatkan juga komunitas “asli” mereka : desa sederhana dengan orang-orang yang tampaknya juga sederhana.
Menonton tayangan-tayangan itu sejumlah orang mungkin jadi merasa kasihan dan iba hati pada nasib Amrozi dan dua konconya. Mereka sekonyong sadar bahwa bagaimanapun para teroris itu juga “manusia biasa”. Mereka punya asal-muasal, para sanak, dan orang tua yang diam-diam meratapi nasib mereka.
Perasaan “simpati” dadakan itu sah dan wajar saja. Meskipun itu belum cukup membuktikan bahwa kita masih manuusia, mengingat hewan pun sampai batas tertentu bisa menampilkan kualitas serupa itu dengan baiknya. Tapi mudah-mudahan orang-orang yang menaruh belas kasihan kepada Amrozi cs juga tidak pernah lupa bahwa para korban teror mereka pun hakikatnya sama.
Artinya mereka pun bukan segunduk mayat hangus yang anonim belaka. Mereka semua, juga punya keluarga dan asal-muasal dari mana mereka pernah tumbuh dan datang. Punya seorang ibu, yang tak pernah bisa paham mengapa gerangan anak mereka musti mati atas cara yang demikian mengerikan dan atas nama sebuah alasan yang juga begitu abssurd?
Menonton tayangan-tayangan itu sejumlah orang mungkin jadi merasa kasihan dan iba hati pada nasib Amrozi dan dua konconya. Mereka sekonyong sadar bahwa bagaimanapun para teroris itu juga “manusia biasa”. Mereka punya asal-muasal, para sanak, dan orang tua yang diam-diam meratapi nasib mereka.
Perasaan “simpati” dadakan itu sah dan wajar saja. Meskipun itu belum cukup membuktikan bahwa kita masih manuusia, mengingat hewan pun sampai batas tertentu bisa menampilkan kualitas serupa itu dengan baiknya. Tapi mudah-mudahan orang-orang yang menaruh belas kasihan kepada Amrozi cs juga tidak pernah lupa bahwa para korban teror mereka pun hakikatnya sama.
Artinya mereka pun bukan segunduk mayat hangus yang anonim belaka. Mereka semua, juga punya keluarga dan asal-muasal dari mana mereka pernah tumbuh dan datang. Punya seorang ibu, yang tak pernah bisa paham mengapa gerangan anak mereka musti mati atas cara yang demikian mengerikan dan atas nama sebuah alasan yang juga begitu abssurd?
02 November 2008
Untuk Sebuah Kenangan
BULAN Oktober 28 tahun yang lalu adalah bulan yang gerah dan berkeringat—mirip sekali dengan pekan-pekan terakhir Oktober tahun ini. Saya kerap terkenang malam-malam sewaktu sendirian berjaga, mencoba “membunuhi” bala tentara nyamuk yang tiada putus-putusnya menyerang, sementara ayah saya terbaring di ranjang, di kamarnya yang, sebetulnya kalau saya kenang sekarang, nyaman juga keadaannya, meskipun agak sempit.
Sesekali suara batuknya terdengar, dan setiap kali mendengar ia batuk, saya pun merasa “lega”. Ketika itu kondisinya sudah semakin memburuk (kanker menggerogotinya tanpa ampun), maka kadang kalau dari kamarnya tidak terdengar suara apa-apa, saya malah suka was-was, sebab jangan-jangan “yang terburuk sudah terjadi”. Maka diam-diam saya suka berharap ia terbatuk, sebab batuk itu menjadi tanda bahwa ia masih bertahan, masih ada di kamarnya.
Sesungguhnya saya tak pernah percaya bahwa “yang terburuk” itu akan terjadi padanya. Ibu saya pernah bercerita bahwa ayah sudah dua kali “nyaris meninggal”, tapi toh senantiasa selamat. Maka saya pun percaya bahwa ia akan kembali selamat kala itu. Tapi barangkali juga keyakinan saya lahir karena di rumah kami sejauh itu memang belum pernah terjadi “hal yang terburuk” itu. Juga mungkin sebab pemahaman saya yang teramat miskin mengenai ganas dan buasnya kanker. Begitulah, ketidakpahaman rupanya malah bisa menjadi sumber kekuatan.
Pun sewaktu kemudian saya bermimpi “aneh” (sebuah mobil jenazah berhenti di depan rumah kami, dan beberapa orang terlihat mengusung peti mati ke dalam rumah), perasaan saya tetap biasa saja. Baru sewaktu “yang terburuk” itu kemudian sungguh terjadi, saya tersentak. Mendadak maut menjadi sesuatu yang nyata bagi saya, setelah sebelumnya (rupanya) ia sekadar sebuah kabar (dari jauh) yang seolah ada tapi tiada.
Setiap kali almanak mendekati penghujung Oktober, kenangan akan hari-hari itu terasa menguat kembali. Meskipun ia semakin mirip sejilid buku tua yang kertasnya sudah menguning, huruf-hurufnya mulai meluntur, dan isinya boleh jadi semakin tak relevan, tapi setiap kali pula saya ingin kembali “membaca” buku itu, atau paling tidak sekadar menyentuhnya.
Lebih dari sekadar keinginan bernostalgia belaka, saya merasa memiliki semacam kewajiban untuk menjaga agar “buku tua” itu tetap terawat baik. Mungkin karena kepergian ayah membuat saya seperti disorongkan ke dalam situasi yang sebetulnya belum siap saya arungi. Kejadian itu adalah salah satu momentum penting dalam hidup saya. Sebab sesudah itu setiap hal menjadi tak sama lagi.
Maka setiap tahun, pada penghujung Oktober dan awal November (ayah saya berpulang 2 November 1980), saya raih kembali buku itu, hati-hati dan dengan rasa haru (yang anehnya tak menjadi makin pudar) saya bolak-balik lagi halaman-halamannya yang sudah menguning itu. Mungkin seraya membersihkannya dari debu waktu yang mau mencoba menguruknya dalam semak belukar ingatan.
Sesekali suara batuknya terdengar, dan setiap kali mendengar ia batuk, saya pun merasa “lega”. Ketika itu kondisinya sudah semakin memburuk (kanker menggerogotinya tanpa ampun), maka kadang kalau dari kamarnya tidak terdengar suara apa-apa, saya malah suka was-was, sebab jangan-jangan “yang terburuk sudah terjadi”. Maka diam-diam saya suka berharap ia terbatuk, sebab batuk itu menjadi tanda bahwa ia masih bertahan, masih ada di kamarnya.
Sesungguhnya saya tak pernah percaya bahwa “yang terburuk” itu akan terjadi padanya. Ibu saya pernah bercerita bahwa ayah sudah dua kali “nyaris meninggal”, tapi toh senantiasa selamat. Maka saya pun percaya bahwa ia akan kembali selamat kala itu. Tapi barangkali juga keyakinan saya lahir karena di rumah kami sejauh itu memang belum pernah terjadi “hal yang terburuk” itu. Juga mungkin sebab pemahaman saya yang teramat miskin mengenai ganas dan buasnya kanker. Begitulah, ketidakpahaman rupanya malah bisa menjadi sumber kekuatan.
Pun sewaktu kemudian saya bermimpi “aneh” (sebuah mobil jenazah berhenti di depan rumah kami, dan beberapa orang terlihat mengusung peti mati ke dalam rumah), perasaan saya tetap biasa saja. Baru sewaktu “yang terburuk” itu kemudian sungguh terjadi, saya tersentak. Mendadak maut menjadi sesuatu yang nyata bagi saya, setelah sebelumnya (rupanya) ia sekadar sebuah kabar (dari jauh) yang seolah ada tapi tiada.
Setiap kali almanak mendekati penghujung Oktober, kenangan akan hari-hari itu terasa menguat kembali. Meskipun ia semakin mirip sejilid buku tua yang kertasnya sudah menguning, huruf-hurufnya mulai meluntur, dan isinya boleh jadi semakin tak relevan, tapi setiap kali pula saya ingin kembali “membaca” buku itu, atau paling tidak sekadar menyentuhnya.
Lebih dari sekadar keinginan bernostalgia belaka, saya merasa memiliki semacam kewajiban untuk menjaga agar “buku tua” itu tetap terawat baik. Mungkin karena kepergian ayah membuat saya seperti disorongkan ke dalam situasi yang sebetulnya belum siap saya arungi. Kejadian itu adalah salah satu momentum penting dalam hidup saya. Sebab sesudah itu setiap hal menjadi tak sama lagi.
Maka setiap tahun, pada penghujung Oktober dan awal November (ayah saya berpulang 2 November 1980), saya raih kembali buku itu, hati-hati dan dengan rasa haru (yang anehnya tak menjadi makin pudar) saya bolak-balik lagi halaman-halamannya yang sudah menguning itu. Mungkin seraya membersihkannya dari debu waktu yang mau mencoba menguruknya dalam semak belukar ingatan.
30 October 2008
Agama yang Menindas : Saksi Yehovah sebagai Contoh
RANI (bukan nama sebenarnya), penganut fanatik “Saksi Yehovah”-- sebuah sekte yang oleh arus utama Kristen dipandang “sesat”-- menjalin hubungan.dengan Gabriel (juga nama samaran), seorang katolik yang lumayan ngotot. Sesudah pacaran beberapa waktu, mereka pun sepakat untuk menikah. Tapi soalnya menjadi tidak mudah karena adanya perbedaan keyakinan di antara mereka.
Rani menuntut harga mati supaya pernikahan dilakukan menurut cara “Saksi”. Jika itu dijalankan maka bagi Gabriel (yang katolik) “ongkos” yang musti dibayarnya lumayan absurd. Ia memang tidak diminta untuk masuk atau pindah ke “Saksi Yehovah”, tapi ia wajib mengikuti pelajaran agama “Saksi Yehovah” selama sisa hidupnya. Absurd bukan? Tidak diminta meninggalkan iman katoliknya, tapi diharuskan seumur hidup menelan isi perut “Saksi”.
Sebetulnya urusan akan menjadi gampang kalau pernikahan dilakukan saja menurut aturan katolik. Sebab dalam urusan perkawinan, gereja katolik memberi toleransi yang sangat longgar apabila terjadi kasus kawin campur, atau beda keyakinan seperti antara Rani dan Gabriel ini. Pihak yang non-katolik tidak diharuskan sama sekali pindah ke katolik. Juga tidak ada keharusan mengikuti kursus pelajaran agama katolik segala macam, umpamanya.
Satu-satunya hal yang diminta dari pihak “non-katolik” adalah merelakan anak yang kelak lahir dari perkawinan itu untuk dibaptis secara katolik, yang dalam prakteknya bisa saja diatur fleksibel waktunya. Lagi pula, jika di belakang hari sang anak (sesudah dewasa) ternyata “tidak krasan” di katolik dan pengin pindah agama, pintu selalu terbuka baginya. Tidak ada satu pasal pun dari hukum gereja katolik yang melarang umatnya “menyebrang”.
Tapi kalau jalur katolik ini yang dipilih, maka Rani terancam “dipecat” dan bahkan “dikucilkan” dari komunitas “Saksi Yehovah”nya. Ia akan dicap “murtad”, dan kita tahu apa artinya dianggap murtad. Rani pun ngeper, tambahan lagi ia sangat menguatirkan keluarganya yang pasti akan tertimpa “aib” apabila itu terjadi. Maka perkawinan mereka pun terancam batal.
Di sini kita melihat sebuah ironi. Agama yang konon diturunkan ke dunia untuk membahagiakan umat manusia, dalam prakteknya—karena sempitnya wawasan pikir (dan kesombongan) para pemimpinnya serta umatnya sendiri--malah berbalik menjadi “sumber bencana” yang menghalangi kebahagiaan pemeluknya, seperti terbukti dari kasus Rani dan Gabriel di atas.
Rani menuntut harga mati supaya pernikahan dilakukan menurut cara “Saksi”. Jika itu dijalankan maka bagi Gabriel (yang katolik) “ongkos” yang musti dibayarnya lumayan absurd. Ia memang tidak diminta untuk masuk atau pindah ke “Saksi Yehovah”, tapi ia wajib mengikuti pelajaran agama “Saksi Yehovah” selama sisa hidupnya. Absurd bukan? Tidak diminta meninggalkan iman katoliknya, tapi diharuskan seumur hidup menelan isi perut “Saksi”.
Sebetulnya urusan akan menjadi gampang kalau pernikahan dilakukan saja menurut aturan katolik. Sebab dalam urusan perkawinan, gereja katolik memberi toleransi yang sangat longgar apabila terjadi kasus kawin campur, atau beda keyakinan seperti antara Rani dan Gabriel ini. Pihak yang non-katolik tidak diharuskan sama sekali pindah ke katolik. Juga tidak ada keharusan mengikuti kursus pelajaran agama katolik segala macam, umpamanya.
Satu-satunya hal yang diminta dari pihak “non-katolik” adalah merelakan anak yang kelak lahir dari perkawinan itu untuk dibaptis secara katolik, yang dalam prakteknya bisa saja diatur fleksibel waktunya. Lagi pula, jika di belakang hari sang anak (sesudah dewasa) ternyata “tidak krasan” di katolik dan pengin pindah agama, pintu selalu terbuka baginya. Tidak ada satu pasal pun dari hukum gereja katolik yang melarang umatnya “menyebrang”.
Tapi kalau jalur katolik ini yang dipilih, maka Rani terancam “dipecat” dan bahkan “dikucilkan” dari komunitas “Saksi Yehovah”nya. Ia akan dicap “murtad”, dan kita tahu apa artinya dianggap murtad. Rani pun ngeper, tambahan lagi ia sangat menguatirkan keluarganya yang pasti akan tertimpa “aib” apabila itu terjadi. Maka perkawinan mereka pun terancam batal.
Di sini kita melihat sebuah ironi. Agama yang konon diturunkan ke dunia untuk membahagiakan umat manusia, dalam prakteknya—karena sempitnya wawasan pikir (dan kesombongan) para pemimpinnya serta umatnya sendiri--malah berbalik menjadi “sumber bencana” yang menghalangi kebahagiaan pemeluknya, seperti terbukti dari kasus Rani dan Gabriel di atas.
27 October 2008
Hemat Pangkal Sesal?
SAYA mendengar cerita ini di kelas Alkitab pekan lalu, yang disampaikan sebagai ilustrasi dari bab “Orang Kaya yang Bodoh” dalam Injil Lukas. Dikisahkan ada sepasang suami istri, yang belum lama menikah. Dasar tokcer, hanya dalam tempo sebulan, sang istri sudah hamil. Tapi kemudian ada masalah : sang istri ternyata mengidap kanker payudara. Karena alasan yang kurang jelas ia tak segera menceritakan masalah ini pada suaminya. Mungkin ia berpikir, masih akan ada cukup waktu mengobati kankernya, kelak, sehabis urusan si bayi selesai.
Sang jabang bayi kemudian lahir dengan selamat, sementara ibunya masih tetap merahasiakan penyakitnya. Malahan ia merayu sang suami untuk jalan-jalan ke Bali. Suaminya, dengan alasan “sayang ‘membuang-buang’ duit untuk keluyuran semacam itu”, menolak rayuan itu. Beberapa bulan berlalu, kanker yang menggerogoti sang istri mulai menunjukkan taringnya, terus mengganas, sampai akhirnya, singkat kisah, si istri pun meninggal.
Di tengah kesedihan karena kepergian istrinya, ada satu hal yang sangat disesalkan sang suami : soal tamasya ke Bali yang batal itu. Kepada teman-teman dekatnya ia selalu bilang bahwa hal yang paling disesalinya seumur hidupnya adalah karena ia sudah menolak ajakan tamasya ke Bali itu. Seandainya ketika itu ia tidak menolak, katanya, seandainya ia setuju saja pergi ke Bali, “paling tidak sekarang saya (masih) memiliki kenangan pernah bersama istri saya ke Bali”. Tapi penyesalan selalu datang belakangan, bukan?
Pesan teologis yang mau disampaikan cerita itu adalah bahwa kita sebaiknya belajar menghargai rahmat yang diberikan kepada kita, dan tidak bersikap defensif kaku. Kalau memang ada kesempatan tamasya, artinya waktunya memungkinkan, dan duitnya juga ada—meski mungkin betul rada ‘mahal’—ya ambil saja, seraya sebagai orang beriman kita senantiasa percaya, bahwa rejeki dan rahmat dari “beliau” tidak akan berhenti sampai di sini saja. Nanti pulang dari Bali, rahmat yang lain sudah menanti.
Saya teringat istri saya ketika kisah ini dituturkan. Sudah beberapa kali ia bilang kepingin sekali ikut tour ke Jerusalem. Berbeda dengan saya, yang hanya pegawai gurem, kondisi keuangan dia lebih mendingan. Dari bonus tahunan yang didapatnya, jika mau sedikit nekat ia bisa saja melampiaskan mimpinya itu. Tapi saya selalu bilang padanya, “sayang membuang-buang duit hanya untuk sekadar keluyuran”, karena “masih banyak keperluan lain (biaya sekolah anak, misalnya) yang lebih urgen”. Menurut saya dia sungguh “egois” kalau tetap memaksakan diri pergi juga.
Bukankah lebih baik kalau uang itu disimpan saja—sebagai dana talangan--apalagi kondisi semakin hari semakin tak pasti. Siapa tahu sewaktu-waktu kita mungkin saja perlu dana besar untuk mengkaver keadaan yang sangat darurat, begitu kata saya selalu, penuh keyakinan. Tapi ketika pekan lalu saya mendengar kisah suami istri yang batal ke Bali itu, saya jadi berpikir dan bertanya-tanya. Sudah betulkah sikap saya terhadap keinginan istri saya itu? Betulkah dia “egois”, atau sayakah yang sebetulnya “egois”?
Sang jabang bayi kemudian lahir dengan selamat, sementara ibunya masih tetap merahasiakan penyakitnya. Malahan ia merayu sang suami untuk jalan-jalan ke Bali. Suaminya, dengan alasan “sayang ‘membuang-buang’ duit untuk keluyuran semacam itu”, menolak rayuan itu. Beberapa bulan berlalu, kanker yang menggerogoti sang istri mulai menunjukkan taringnya, terus mengganas, sampai akhirnya, singkat kisah, si istri pun meninggal.
Di tengah kesedihan karena kepergian istrinya, ada satu hal yang sangat disesalkan sang suami : soal tamasya ke Bali yang batal itu. Kepada teman-teman dekatnya ia selalu bilang bahwa hal yang paling disesalinya seumur hidupnya adalah karena ia sudah menolak ajakan tamasya ke Bali itu. Seandainya ketika itu ia tidak menolak, katanya, seandainya ia setuju saja pergi ke Bali, “paling tidak sekarang saya (masih) memiliki kenangan pernah bersama istri saya ke Bali”. Tapi penyesalan selalu datang belakangan, bukan?
Pesan teologis yang mau disampaikan cerita itu adalah bahwa kita sebaiknya belajar menghargai rahmat yang diberikan kepada kita, dan tidak bersikap defensif kaku. Kalau memang ada kesempatan tamasya, artinya waktunya memungkinkan, dan duitnya juga ada—meski mungkin betul rada ‘mahal’—ya ambil saja, seraya sebagai orang beriman kita senantiasa percaya, bahwa rejeki dan rahmat dari “beliau” tidak akan berhenti sampai di sini saja. Nanti pulang dari Bali, rahmat yang lain sudah menanti.
Saya teringat istri saya ketika kisah ini dituturkan. Sudah beberapa kali ia bilang kepingin sekali ikut tour ke Jerusalem. Berbeda dengan saya, yang hanya pegawai gurem, kondisi keuangan dia lebih mendingan. Dari bonus tahunan yang didapatnya, jika mau sedikit nekat ia bisa saja melampiaskan mimpinya itu. Tapi saya selalu bilang padanya, “sayang membuang-buang duit hanya untuk sekadar keluyuran”, karena “masih banyak keperluan lain (biaya sekolah anak, misalnya) yang lebih urgen”. Menurut saya dia sungguh “egois” kalau tetap memaksakan diri pergi juga.
Bukankah lebih baik kalau uang itu disimpan saja—sebagai dana talangan--apalagi kondisi semakin hari semakin tak pasti. Siapa tahu sewaktu-waktu kita mungkin saja perlu dana besar untuk mengkaver keadaan yang sangat darurat, begitu kata saya selalu, penuh keyakinan. Tapi ketika pekan lalu saya mendengar kisah suami istri yang batal ke Bali itu, saya jadi berpikir dan bertanya-tanya. Sudah betulkah sikap saya terhadap keinginan istri saya itu? Betulkah dia “egois”, atau sayakah yang sebetulnya “egois”?
23 October 2008
Ryan Mau Jadi Presiden
Ryan mau jadi presiden. Dia tak malu-malu lagi sekarang. Setiap hari wajahnya nongol di televisi. Menebar senyum dan janji. Memamerkan taringnya. Dia bilang, dia membawa amanat bumi dan langit. Dia bilang merasa terpanggil melihat barisan orang susah bertambah panjang saja di republik yang ganjil ini. Dia berjanji bakal membereskan semua itu. Sepertinya dia teramat yakin dengan performanya. Dia muncul setiap hari di ruang tamu kita..Mengemis perhatian. Tak bosan mengulang-ulang janji sorganya. Mungkin ada juga yang kesengsem. Ibu-ibu yang suka nonton sinetron sepertinya bakal suka dengan tampang klimisnya. Dan rambut licinnya. Mungkin sudah banyak yang lupa Ryan dulu pernah membakar sebuah negeri seperti membakar sampah. Dan menembaki demonstran bagaikan bocah memencet semut.
17 October 2008
Tawuran dan Bangsa yang "Sakit"
TAWURAN di Jakarta (dan juga di kota-kota besar Indonesia lainnya) ternyata bukan hanya monopoli siswa sekolah lanjutan, yang nota bene masih dalam fase usia “baru gede”. Tawuran juga terbukti kini “diminati” oleh para mahasiswa. Kecuali itu tawuran juga sering dilakukan kelompok preman, anggota organisasi massa tertentu, bahkan oleh warga masyarakat biasa yang sehari-harinya dikenal sebagai warga yang santun dan baik.
Tak pelak lagi, tawuran agaknya telah menjadi fenomena yang bukan lagi lokal, tapi me-nasional Ajang yang dijadikan medan tawuran pun semakin meluas. Lihatlah, bahkan di forum-forum di mana sportivitas mestinya dipertontonkan dengan anggun, sebutlah di lapangan sepak bola kita, tawuran—antara sesama pemain, pemain lawan wasit, pendukung versus pendukung, dan sejumlah variasi lain--seperti sudah menjadi “menu tanbahan” yang wajib.
Ada yang bilang semua itu akibat dari belum becusnya kita berperilaku demokratis. Sejak Orde Baru terguling 10 tahun yang lalu, orang jadi lebih bebas menuangkan ekspresinya. Barangkali karena sudah puluhan tahun terkondisi hidup dalam sistem politik yang “membisukan”, yang tidak memungkinkan kita belajar bagaimana caranya ngomong dengan benar dan sopan, ekspresi kita lalu cenderung menjadi liar dan kampungan.
Sebagian orang mungkin malah mengartikan bahwa berperilaku demokratis itu identik dengan boleh berbuat apa saja kepada “pihak sana”. Perbedaan pendapat adalah barang najis yang tidak boleh ada dan bahkan musti ditumpas. Kebenaran menjadi monopoli “pihak kita”, sedang “mereka”, atau “pihak sana”, pasti salah, pasti sesat dan membahayakan, dan karenanya “halal hukumnya kalau mereka diganyang”.
Ada juga teori yang bilang bahwa tawuran adalah ekspresi dari luka kolektif yang terakumulasi selama bertahun-tahun. Banyak orang begitu menaruh harapan akan adanya perbaikan situasi kehidupan yang signifikan sewaktu Orde Baru tergelimpang. Tapi mereka kemudian kecewa berat karena perbaikan yang mereka impikan itu bukan saja tidak muncul, malahan situasi dalam banyak segi menjadi lebih buruk dari sebelum Orde Baru tamat.
Luka dan kekecewaan itu bisa dengan gamblang kita “tonton” setiap hari di halaman koran dan media massa lain dalam bentuk, atau berupa sinyal di mana angka kriminalitas dan kekerasan terus meningkat tajam. Ada dua pola umum yang terlihat. Pertama, mereka yang sudah merasa habis daya biasanya ramai-ramai memilih bunuh diri—bukankah angka bunuh diri dan jumlah pasien rumah sakit jiwa dikabarkan naik tajam belakangan ini?
Kedua, mereka yang merasa masih punya daya, biasanya mencoba melampiaskan kekecewaan mereka dalam bentuk perilaku kekerasan, baik sendirian atau rame-rame. Demikianlah, tawuran menjadi salah satu “jalan keluar” yang dianggap wajar (oleh pelakunya) dari kondisi hidup serba sumpek dan buntu. Mereka menjadi cenderung ekstrim karena percaya bahwa cara-cara atau jalan keluar yang baik dan normal sudah tidak bisa dipakai lagi.
Tak pelak lagi, tawuran agaknya telah menjadi fenomena yang bukan lagi lokal, tapi me-nasional Ajang yang dijadikan medan tawuran pun semakin meluas. Lihatlah, bahkan di forum-forum di mana sportivitas mestinya dipertontonkan dengan anggun, sebutlah di lapangan sepak bola kita, tawuran—antara sesama pemain, pemain lawan wasit, pendukung versus pendukung, dan sejumlah variasi lain--seperti sudah menjadi “menu tanbahan” yang wajib.
Ada yang bilang semua itu akibat dari belum becusnya kita berperilaku demokratis. Sejak Orde Baru terguling 10 tahun yang lalu, orang jadi lebih bebas menuangkan ekspresinya. Barangkali karena sudah puluhan tahun terkondisi hidup dalam sistem politik yang “membisukan”, yang tidak memungkinkan kita belajar bagaimana caranya ngomong dengan benar dan sopan, ekspresi kita lalu cenderung menjadi liar dan kampungan.
Sebagian orang mungkin malah mengartikan bahwa berperilaku demokratis itu identik dengan boleh berbuat apa saja kepada “pihak sana”. Perbedaan pendapat adalah barang najis yang tidak boleh ada dan bahkan musti ditumpas. Kebenaran menjadi monopoli “pihak kita”, sedang “mereka”, atau “pihak sana”, pasti salah, pasti sesat dan membahayakan, dan karenanya “halal hukumnya kalau mereka diganyang”.
Ada juga teori yang bilang bahwa tawuran adalah ekspresi dari luka kolektif yang terakumulasi selama bertahun-tahun. Banyak orang begitu menaruh harapan akan adanya perbaikan situasi kehidupan yang signifikan sewaktu Orde Baru tergelimpang. Tapi mereka kemudian kecewa berat karena perbaikan yang mereka impikan itu bukan saja tidak muncul, malahan situasi dalam banyak segi menjadi lebih buruk dari sebelum Orde Baru tamat.
Luka dan kekecewaan itu bisa dengan gamblang kita “tonton” setiap hari di halaman koran dan media massa lain dalam bentuk, atau berupa sinyal di mana angka kriminalitas dan kekerasan terus meningkat tajam. Ada dua pola umum yang terlihat. Pertama, mereka yang sudah merasa habis daya biasanya ramai-ramai memilih bunuh diri—bukankah angka bunuh diri dan jumlah pasien rumah sakit jiwa dikabarkan naik tajam belakangan ini?
Kedua, mereka yang merasa masih punya daya, biasanya mencoba melampiaskan kekecewaan mereka dalam bentuk perilaku kekerasan, baik sendirian atau rame-rame. Demikianlah, tawuran menjadi salah satu “jalan keluar” yang dianggap wajar (oleh pelakunya) dari kondisi hidup serba sumpek dan buntu. Mereka menjadi cenderung ekstrim karena percaya bahwa cara-cara atau jalan keluar yang baik dan normal sudah tidak bisa dipakai lagi.
06 October 2008
Soe Hok Gie, Sebuah Model
SOE HOK GIE barangkali telah menjadi separuh mitos. Belum lama ini saya melihat kumpulan catatan hariannya (Catatan Seorang Demonstran) kembali dicetak ulang LP3ES—saya tak sempat mengecek ini sudah cetak ulang yang keberapa. Tapi dari sisi ini, nyatalah Soe selain telah menjadi “separuh mitos”, juga telah menjadi sebuah komoditi yang sepertinya lumayan laris—meskipun film “Gie” yang dibesut Riri Riza ternyata tidak berhasil di pasar.
Soe Hok Gie barangkali memang “memenuhi syarat” untuk dimitoskan. Semasa hidupnya—yang singkat—ia dikenal sebagai—mulanya—aktivis mahasiswa 66 yang “berani”, lalu orang-orang di masa pasca Orde Lama mengenalnya juga sebagai sosok pemikir muda yang kritis dan kerap menebar kontroversi karena statemen-statemennya yang terus-terang dan sonder basa-basi. Almarhum Harsya W Bachtiar menggambarkannya sebagai sosok yang “mengerikan”, karena ia berjalan lurus dengan prinsip-prinsipnya.
Itu sebabnya selain banyak pengagumnya, ia pun jadi “mengoleksi” banyak lawan dan musuh. Ironisnya, yang kemudian menjadi “musuh”nya termasuk juga mereka yang pada masa pra Orde Baru ikut “berjuang” turun ke jalan. Begitulah, sementara banyak konco-konco aktivisnya pada bergabung menjilat kaki penguasa, Soe tetap memilih berjalan sendirian di luar sistem dan kekuasaan, meneruskan sepak terjangnya yang, kata Harsya W Bachtiar, “mengerikan” itu.
Kematiannya yang mendadak dan tragis di sebuah ceruk Semeru, hampir 40 tahun yang lalu—usianya baru 27 saat itu—karena terhisap gas beracun, di luar dugaan malah meluruskan jalan untuk di kemudian hari mengubahnya menjadi “dongeng”. Bukankah ada orang yang menjadi terkenal karena mati pada saat yang tepat? Soe Hok Gie, barangkali, telah mati pada “saat yang tepat”. Maka kita kini jadi punya gambaran yang sepertinya akan jadi semakin kukuh (dan tunggal) : Soe adalah seorang intelektual yang keras kepala (dan kesepian) dan yang (sayangnya?) mati muda.
Di hari-hari ini, ketika banyak orang hampir tak tahu lagi kepada siapa mereka masih boleh percaya dan menggantungkan harapan, sosok Soe—yang “mengerikan” itu—seperti menawarkan oasis di tengah kegersangan. Tak bisa disangsikan lagi, banyak dari kita diam-diam rupanya menantikan seorang Soe yang lain. Seorang yang berani menolak berkompromi dengan segala muslihat dan kebusukan. Seorang yang terus berjalan lurus dengan prinsip-prinsipnya.
Sampai di sini saya jadi pun jadi ragu : sungguh masih adakah “model pahlawan” yang seperti itu, hari-hari ini?
Soe Hok Gie barangkali memang “memenuhi syarat” untuk dimitoskan. Semasa hidupnya—yang singkat—ia dikenal sebagai—mulanya—aktivis mahasiswa 66 yang “berani”, lalu orang-orang di masa pasca Orde Lama mengenalnya juga sebagai sosok pemikir muda yang kritis dan kerap menebar kontroversi karena statemen-statemennya yang terus-terang dan sonder basa-basi. Almarhum Harsya W Bachtiar menggambarkannya sebagai sosok yang “mengerikan”, karena ia berjalan lurus dengan prinsip-prinsipnya.
Itu sebabnya selain banyak pengagumnya, ia pun jadi “mengoleksi” banyak lawan dan musuh. Ironisnya, yang kemudian menjadi “musuh”nya termasuk juga mereka yang pada masa pra Orde Baru ikut “berjuang” turun ke jalan. Begitulah, sementara banyak konco-konco aktivisnya pada bergabung menjilat kaki penguasa, Soe tetap memilih berjalan sendirian di luar sistem dan kekuasaan, meneruskan sepak terjangnya yang, kata Harsya W Bachtiar, “mengerikan” itu.
Kematiannya yang mendadak dan tragis di sebuah ceruk Semeru, hampir 40 tahun yang lalu—usianya baru 27 saat itu—karena terhisap gas beracun, di luar dugaan malah meluruskan jalan untuk di kemudian hari mengubahnya menjadi “dongeng”. Bukankah ada orang yang menjadi terkenal karena mati pada saat yang tepat? Soe Hok Gie, barangkali, telah mati pada “saat yang tepat”. Maka kita kini jadi punya gambaran yang sepertinya akan jadi semakin kukuh (dan tunggal) : Soe adalah seorang intelektual yang keras kepala (dan kesepian) dan yang (sayangnya?) mati muda.
Di hari-hari ini, ketika banyak orang hampir tak tahu lagi kepada siapa mereka masih boleh percaya dan menggantungkan harapan, sosok Soe—yang “mengerikan” itu—seperti menawarkan oasis di tengah kegersangan. Tak bisa disangsikan lagi, banyak dari kita diam-diam rupanya menantikan seorang Soe yang lain. Seorang yang berani menolak berkompromi dengan segala muslihat dan kebusukan. Seorang yang terus berjalan lurus dengan prinsip-prinsipnya.
Sampai di sini saya jadi pun jadi ragu : sungguh masih adakah “model pahlawan” yang seperti itu, hari-hari ini?
23 September 2008
Entah Siapa Membaca Blog Ini
KADANG suka terbersit pertanyaan itu : siapa ya membaca tulisan-tulisan dalam blog ini? Keberadaan sebuah blog memang tidak bisa dilepaskan dari pembacanya. Blog sebagus apa pun menjadi mubazir kalau ternyata tidak ada pengunjungnya. Ada yang bilang keberadaan seorang blogger ada miripnya dengan seorang politikus. Maksudnya, keduanya memerlukan dukungan nyata: massa bagi sang politikus, dan pengunjung setia untuk sebuah blog. Tapi saya kira setiap profesi memang memerlukan adanya dukungan “orang lain”.Itulah agaknya bukti bahwa kita memang nggak bisa hidup sendirian.
Politikus bukan apa-apa tanpa massa pendukung, dan seorang blogger pun tak berarti apa-apa tanpa pengunjung setia blognya. Banyak peran bisa dimainkan seorang blogger sebetulnya. Menjadi sekadar penghibur, atau sedikit lebih serius, menjadi seorang pembentuk opini. Tapi sekali lagi sukses tidaknya semua peran itu bergantung pada ada tidaknya dukungan.
Sesungguhnya seorang blogger (atau sebuah blog) bisa menjadi sangat berbahaya, bagi pihak mana saja. Ia misalnya bisa memainkan peranan sebagai oposan kritis bagi penguasa, atau menjadi penyuara lantang terhadap segala fenomena destruktif dan jahat yang berlangsung di masyarakatnya. Di Malaysia dan di Cina setahu saya sudah ada blog yang dicekal karena dianggap “berbahaya”, dan bloggernya dibui. Di sini, hal seperti itu belum lagi terjadi. Mungkin karena media blog masih dianggap “bayi”, atau “anak kecil” yang belum bisa apa-apa.
Saya sendiri tak punya angan muluk dengan blog saya. Bagi saya blog adalah sarana untuk saya berlatih berdisiplin. Pada dasarnya saya memang suka menulis, maka blog adalah media yang sangat strategis dan cukup ideal buat saya “berlatih” merumuskan pikiran dan pendapat-pendapat saya. Bahwa kemudian ternyata tulisan-tulisan itu hanya dibaca oleh sedikit saja pengunjung, tak kelewat masalah bagi saya. Yah, namanya juga usaha …
Politikus bukan apa-apa tanpa massa pendukung, dan seorang blogger pun tak berarti apa-apa tanpa pengunjung setia blognya. Banyak peran bisa dimainkan seorang blogger sebetulnya. Menjadi sekadar penghibur, atau sedikit lebih serius, menjadi seorang pembentuk opini. Tapi sekali lagi sukses tidaknya semua peran itu bergantung pada ada tidaknya dukungan.
Sesungguhnya seorang blogger (atau sebuah blog) bisa menjadi sangat berbahaya, bagi pihak mana saja. Ia misalnya bisa memainkan peranan sebagai oposan kritis bagi penguasa, atau menjadi penyuara lantang terhadap segala fenomena destruktif dan jahat yang berlangsung di masyarakatnya. Di Malaysia dan di Cina setahu saya sudah ada blog yang dicekal karena dianggap “berbahaya”, dan bloggernya dibui. Di sini, hal seperti itu belum lagi terjadi. Mungkin karena media blog masih dianggap “bayi”, atau “anak kecil” yang belum bisa apa-apa.
Saya sendiri tak punya angan muluk dengan blog saya. Bagi saya blog adalah sarana untuk saya berlatih berdisiplin. Pada dasarnya saya memang suka menulis, maka blog adalah media yang sangat strategis dan cukup ideal buat saya “berlatih” merumuskan pikiran dan pendapat-pendapat saya. Bahwa kemudian ternyata tulisan-tulisan itu hanya dibaca oleh sedikit saja pengunjung, tak kelewat masalah bagi saya. Yah, namanya juga usaha …
06 August 2008
Kisah "Ryan", yang "Ngantor" di Toilet
IBU KOTA Jakarta, yang kata sebuah ungkapan usang “lebih kejam dari ibu tiri” menyimpan banyak cerita menarik dan kadang bahkan ajaib bin aneh. Salah satu cerita itu adalah perihal seorang lelaki, yang namanya sebut saja, Ryan. Pria bernama Ryan ini bukan gay, tapi “profesi”nya memang berhubungan dengan kelompok gay. Jam dinas Ryan tak tentu, fleksibel, tergantung suasana hati, dan yang juga menarik ia selalu “ngantor” di toilet-toilet mal.
Ryan, yang adalah “tulen lelaki” ini, punya tongkrongan macho, tinggi besar, dengan rambut yang kerap dipotong model cepak. Ia tak bisa dibilang ganteng memang, tapi lumayanlah. Nah, Ryan ini rajin nongkrong di mal mencari mangsanya yang adalah para gay. Ia punya “radar” yang canggih hingga segera bisa tahu kalau ketemu “lawan”. Kalau sudah begitu ia akan mulai beraksi, misalnya, dengan mengajak “lawan”nya itu bermain mata.
Kalau pancingannya berhasil, Ryan akan menggiring lawannya ke “kantor”nya yang di berada di toilet itu. Ia melanjutkan pancingannya lebih provokatif lagi, sehingga gay korbannya akan menjadi tambah berani mendekatinya. Misalnya, ia akan berpura-pura kencing, seraya membiarkan anunya terlihat oleh si korban, sehingga sang gay menjadi tambah blingsatan : mengintip “anu”nya Ryan, atau melakukan tindakan nekat lainnya.
Nah, pada momen “kritis” itulah Ryan sang tokoh kita mulai beraksi. Mendadak saja ia berubah galak kepada gay lawannya, menunduhnya telah berbuat cabul kepadanya, seraya mengancamnya akan melaporkannya kepada pihak berwajib. Dan ujung-ujungnya ia akan memeras korbannya. Lha, korbannya, yang sering ternyata berdompet tebal dan punya jabatan penting, mati kutunya. Dari pada urusan jadi heboh, dan orang pada tahu dia gay, mendingan mandah saja diperas.
Begitulah Ryan menjalankan “profesi”nya. Tapi tidak selalu ia bernasib mujur. Pernah ia mendapat korban yang ternyata masih memiliki hubungan keluarga dengan polisi. Habis ia dihajar berdarah-darah ketika itu. Kapok? Oh tidak, namanya juga “profesi”, ia terus setia melakoninya. Hanya untuk amannya, supaya tidak gampang dikenali, ia sering terpaksa berpindah-pindah “kantor”. Kabarnya paling akhir ini ia “ngantor” di sebuah mal di daerah Senen.
Ryan, yang adalah “tulen lelaki” ini, punya tongkrongan macho, tinggi besar, dengan rambut yang kerap dipotong model cepak. Ia tak bisa dibilang ganteng memang, tapi lumayanlah. Nah, Ryan ini rajin nongkrong di mal mencari mangsanya yang adalah para gay. Ia punya “radar” yang canggih hingga segera bisa tahu kalau ketemu “lawan”. Kalau sudah begitu ia akan mulai beraksi, misalnya, dengan mengajak “lawan”nya itu bermain mata.
Kalau pancingannya berhasil, Ryan akan menggiring lawannya ke “kantor”nya yang di berada di toilet itu. Ia melanjutkan pancingannya lebih provokatif lagi, sehingga gay korbannya akan menjadi tambah berani mendekatinya. Misalnya, ia akan berpura-pura kencing, seraya membiarkan anunya terlihat oleh si korban, sehingga sang gay menjadi tambah blingsatan : mengintip “anu”nya Ryan, atau melakukan tindakan nekat lainnya.
Nah, pada momen “kritis” itulah Ryan sang tokoh kita mulai beraksi. Mendadak saja ia berubah galak kepada gay lawannya, menunduhnya telah berbuat cabul kepadanya, seraya mengancamnya akan melaporkannya kepada pihak berwajib. Dan ujung-ujungnya ia akan memeras korbannya. Lha, korbannya, yang sering ternyata berdompet tebal dan punya jabatan penting, mati kutunya. Dari pada urusan jadi heboh, dan orang pada tahu dia gay, mendingan mandah saja diperas.
Begitulah Ryan menjalankan “profesi”nya. Tapi tidak selalu ia bernasib mujur. Pernah ia mendapat korban yang ternyata masih memiliki hubungan keluarga dengan polisi. Habis ia dihajar berdarah-darah ketika itu. Kapok? Oh tidak, namanya juga “profesi”, ia terus setia melakoninya. Hanya untuk amannya, supaya tidak gampang dikenali, ia sering terpaksa berpindah-pindah “kantor”. Kabarnya paling akhir ini ia “ngantor” di sebuah mal di daerah Senen.
29 July 2008
Ryan dan Amrozi
ANTARA Amrozi, teroris bom Bali, dan Ryan, waria tersangka pembunuhan berantai itu, ternyata ada kemiripan. Keduanya keluaran pesantren, keduanya dikenal sebagai seorang muslim yang tekun beribadah. Ryan malah pernah jadi guru mengaji. Diceritakan bahwa ia pun seorang penyayang tanaman dan ikan yang takzim. Kabarnya ia suka mengajak “ngobrol” ikan-ikannya.
Tapi persamaan paling penting tentu saja bahwa keduanya pembunuh, dan tidak merasa bersalah melakukan hal itu. Tapi kalau Ryan, sejauh ini tampak tampil cuek dan dingin, Amrozi malah sering kelihatan cengengesan. Mungkin dia bangga sudah berhasil membantai nyawa ratusan orang yang tidak tahu apa dosanya sampai harus bernasib apes begitu.
Apabila ada perbedaan di antara mereka, maka itu hanyalah soal persepsi belaka. Kalau Ryan mungkin membunuh karena desakan kebutuhan perut, adalah Amrozi membantai korbannya dengan alasan “luhur” dan “mulia”, yakni “memerangi” kemaksiatan. Bahwa ternyata banyak di antara korbannya “orang baik-baik”, biarlah nanti Amrozi sendiri yang membereskan soal itu
Perbedaan lain antara mereka adalah soal cap atau label yang dipasangkan pada keduanya. Kalau untuk “monster” sejenis Ryan kita tak ragu menyebutnya “jagal”, maka untuk Amrozi agaknya ada sedikit “kebingungan”. Bagi sebagian orang, khususnya orang Bali, Amrozi jelas penjahat besar, tapi tidak demikian untuk kelompok lainnya. Kita tahu, ada yang malah menganggap Amrozi itu “pahlawan”, “martir” yang layak dikenang dan ditangisi kalau nanti ia jadi juga dieksekusi.
Tapi persamaan paling penting tentu saja bahwa keduanya pembunuh, dan tidak merasa bersalah melakukan hal itu. Tapi kalau Ryan, sejauh ini tampak tampil cuek dan dingin, Amrozi malah sering kelihatan cengengesan. Mungkin dia bangga sudah berhasil membantai nyawa ratusan orang yang tidak tahu apa dosanya sampai harus bernasib apes begitu.
Apabila ada perbedaan di antara mereka, maka itu hanyalah soal persepsi belaka. Kalau Ryan mungkin membunuh karena desakan kebutuhan perut, adalah Amrozi membantai korbannya dengan alasan “luhur” dan “mulia”, yakni “memerangi” kemaksiatan. Bahwa ternyata banyak di antara korbannya “orang baik-baik”, biarlah nanti Amrozi sendiri yang membereskan soal itu
Perbedaan lain antara mereka adalah soal cap atau label yang dipasangkan pada keduanya. Kalau untuk “monster” sejenis Ryan kita tak ragu menyebutnya “jagal”, maka untuk Amrozi agaknya ada sedikit “kebingungan”. Bagi sebagian orang, khususnya orang Bali, Amrozi jelas penjahat besar, tapi tidak demikian untuk kelompok lainnya. Kita tahu, ada yang malah menganggap Amrozi itu “pahlawan”, “martir” yang layak dikenang dan ditangisi kalau nanti ia jadi juga dieksekusi.
25 July 2008
"Peristiwa 27 Juli", Riwayatmu Kini
SABTU, 27 Juli 1996. Cuaca cerah saat itu. Tanpa firasat apa pun saya meluncur dari kediaman saya di Bekasi menuju Kwitang Senen. Tujuan saya adalah toko buku Gunung Agung. Sewaktu melewati pertigaan Salemba saya lihat jalanan menuju Diponegoro lengang. Rupanya memang sengaja ditutup. Ada seorang cewek bule mondar-mandir di dekat lampu merah itu. Mungkin seorang wartawati asing, pikir saya.
Saya teruskan perjalanan ke Senen seperti rencana semula. Cukup lama saya berada di toko buku. Lepas tengah hari baru saya pulang, dan kembali melewati pertigaan Salemba. Masih seperti suasana paginya, tertutup dan lengang. Masih tak ada firasat apa-apa yang mengusik saya. Tapi saya tak langsung pulang, malah saya mampir dulu ke toko buku Gramedia di Matraman.
Sewaktu asyik berkeliling di toko buku itu, entah mengapa saya terdorong untuk melangkah ke arah jendela toko di lantai dua. Jendela itu mengarah ke jalan Diponegoro. Saya berdiri di situ beberapa lama, seraya berpikir-pikir seperti apa ya suasana di depan kantor parpol itu. Mendadak saya melihat kepulan asap hitam dari arah jalan Diponegoro. Pada saat itu saya dengan naifnya masih berpikir bahwa itu asap kebakaran biasa.
Beberapa pengunjung toko lain rupanya melihat juga kepulan asap hitam itu, lantas jendela itu jadi penuh dirubung orang. Komentar dan celutukan bermunculan. Seorang cewek dengan bersemangat bertutur bahwa sudah sejak subuh kantor parpol dengan lambang kepala banteng itu diserbu, “banyak yang mati”, katanya berapi-api. Dan satpam toko itu bilang, “perang kok sama bangsa sendiri”.
Baru saat itu saya ngeh, bahwa sesuatu yang hebat sedang berlangsung. Saya langsung pulang, membeli koran sore yang ternyata sudah mengabarkan kejadian itu—tapi tentu hanya sebatas kulitnya. Kabar-kabar lebih seram saya terima lewat selebaran gelap internet. Diceritakan antara lain bagaimana tentara dengan beringas menguber-uber massa demonstran, dan menghajar bahkan mereka yang sudah berhasil sembunyi di toilet Taman Ismail Marzuki.
Kini horor yang dikenal dengan sebutan “Peristiwa 27 Juli” sudah berlalu 12 tahun. Tidak pernah menjadi jelas apa yang sebetulnya terjadi saat itu. Megawati, yang ketika itu sempat dianggap sebagai “ikon” yang menyuarakan perlawanan ternyata juga tak pernah mengurusi masalah ini. Mungkin dia pun, seperti yang lainnya, merasa “jeri” kalau harus berurusan dengan kelompok militer.
Saya teruskan perjalanan ke Senen seperti rencana semula. Cukup lama saya berada di toko buku. Lepas tengah hari baru saya pulang, dan kembali melewati pertigaan Salemba. Masih seperti suasana paginya, tertutup dan lengang. Masih tak ada firasat apa-apa yang mengusik saya. Tapi saya tak langsung pulang, malah saya mampir dulu ke toko buku Gramedia di Matraman.
Sewaktu asyik berkeliling di toko buku itu, entah mengapa saya terdorong untuk melangkah ke arah jendela toko di lantai dua. Jendela itu mengarah ke jalan Diponegoro. Saya berdiri di situ beberapa lama, seraya berpikir-pikir seperti apa ya suasana di depan kantor parpol itu. Mendadak saya melihat kepulan asap hitam dari arah jalan Diponegoro. Pada saat itu saya dengan naifnya masih berpikir bahwa itu asap kebakaran biasa.
Beberapa pengunjung toko lain rupanya melihat juga kepulan asap hitam itu, lantas jendela itu jadi penuh dirubung orang. Komentar dan celutukan bermunculan. Seorang cewek dengan bersemangat bertutur bahwa sudah sejak subuh kantor parpol dengan lambang kepala banteng itu diserbu, “banyak yang mati”, katanya berapi-api. Dan satpam toko itu bilang, “perang kok sama bangsa sendiri”.
Baru saat itu saya ngeh, bahwa sesuatu yang hebat sedang berlangsung. Saya langsung pulang, membeli koran sore yang ternyata sudah mengabarkan kejadian itu—tapi tentu hanya sebatas kulitnya. Kabar-kabar lebih seram saya terima lewat selebaran gelap internet. Diceritakan antara lain bagaimana tentara dengan beringas menguber-uber massa demonstran, dan menghajar bahkan mereka yang sudah berhasil sembunyi di toilet Taman Ismail Marzuki.
Kini horor yang dikenal dengan sebutan “Peristiwa 27 Juli” sudah berlalu 12 tahun. Tidak pernah menjadi jelas apa yang sebetulnya terjadi saat itu. Megawati, yang ketika itu sempat dianggap sebagai “ikon” yang menyuarakan perlawanan ternyata juga tak pernah mengurusi masalah ini. Mungkin dia pun, seperti yang lainnya, merasa “jeri” kalau harus berurusan dengan kelompok militer.
24 July 2008
Capres 2009 : Ada Jenderal, Ada Seniman ...
SEBUAH fenomena menarik muncul di pelataran politik negeri ini. Kini orang tak malu-malu lagi mencalonkan diri sebagai “calon presiden”. Mereka pun datang dari latar yang juga agak beragam, meski mayoritas masih didominasi mantan pejabat, atau pensiunan jenderal. Ada yang sudah stok lama, sebagian pendatang baru : Wiranto, Prabowo, Sutiyoso. Dari yang sipil tersebutlah misalnya nama-nama semisal Fajroel Rachman (aktivis), Ratna Sarumpaet (seniman), Rizal Malarangeng (pengamat politik) dan “jago lama” Yusril Ihza Mahendra.
Menarik untuk disimak sebetulnya mengapa sekarang kok banyak bener orang yang pada “berani malu” mencalonkan diri jadi “calon presiden”—hal yang belum terbayangkan bahkan sampai Pemilu paling akhir (2004) kemarin, meski embrionya sudah muncul kala itu.Terus terang saya tak paham, apakah gejala ini pantas disambut dengan gembira, atau sebaliknya malah menambah alasan kita untuk skeptis.
Mungkin untuk adilnya kita kudu melihatnya dari dua sisi. Kabar gembira karena nama-nama baru itu bagaimanapun sudah berhasil memecahkan kebekuan dari anggapan yang selama ini bercokol di benak bahwa calon pemimpin kita dari waktu ke waktu hanya “beberapa orang tua” yang itu-itu saja. .
Kabar buruknya adalah membludaknya pelamar untuk jabatan R1 itu memberi kesan bahwa menjadi presiden adalah urusan “gampang”. Kita tahu belaka republik ini sedang dalam kondisi teramat sulit, maka timbul pertanyaan wajar apakah para pelamar itu sungguh punya tawaran solusi yang pantas dibela? Semestinya begitu, tapi pagi-pagi kita sudah bisa menakar kapasitas para pelamar yang ada. Kalau mau jujur kita pun hanya bisa geleng-geleng : yang begini kok mau jadi presiden …
Tapi barangkali itulah indahnya (dan mahalnya) demokrasi. Panggung menjadi terbuka untuk dimasuki siapa saja. Para pelamar yang serius harus rela bersaing dulu dengan sejumlah badut dan petualang yang cuma iseng doang. Tak mengapa. Kelak pada saatnya, dewan jurilah, yakni publik—yang dari ke hari semogalah semakin jeli menilai—yang akan memastikan nasib mereka. Santai saja.
Menarik untuk disimak sebetulnya mengapa sekarang kok banyak bener orang yang pada “berani malu” mencalonkan diri jadi “calon presiden”—hal yang belum terbayangkan bahkan sampai Pemilu paling akhir (2004) kemarin, meski embrionya sudah muncul kala itu.Terus terang saya tak paham, apakah gejala ini pantas disambut dengan gembira, atau sebaliknya malah menambah alasan kita untuk skeptis.
Mungkin untuk adilnya kita kudu melihatnya dari dua sisi. Kabar gembira karena nama-nama baru itu bagaimanapun sudah berhasil memecahkan kebekuan dari anggapan yang selama ini bercokol di benak bahwa calon pemimpin kita dari waktu ke waktu hanya “beberapa orang tua” yang itu-itu saja. .
Kabar buruknya adalah membludaknya pelamar untuk jabatan R1 itu memberi kesan bahwa menjadi presiden adalah urusan “gampang”. Kita tahu belaka republik ini sedang dalam kondisi teramat sulit, maka timbul pertanyaan wajar apakah para pelamar itu sungguh punya tawaran solusi yang pantas dibela? Semestinya begitu, tapi pagi-pagi kita sudah bisa menakar kapasitas para pelamar yang ada. Kalau mau jujur kita pun hanya bisa geleng-geleng : yang begini kok mau jadi presiden …
Tapi barangkali itulah indahnya (dan mahalnya) demokrasi. Panggung menjadi terbuka untuk dimasuki siapa saja. Para pelamar yang serius harus rela bersaing dulu dengan sejumlah badut dan petualang yang cuma iseng doang. Tak mengapa. Kelak pada saatnya, dewan jurilah, yakni publik—yang dari ke hari semogalah semakin jeli menilai—yang akan memastikan nasib mereka. Santai saja.
09 July 2008
18 Parpol Baru Siap Bodohi Rakyat
KPU (Komisi Pembusukan Umum) hari ini mengumumkan 18 parpol baru yang berhasil lolos verifikasi faktual untuk ikut bikin rame (dan rusak) Pemilu 2009. Inilah 18 parpol baru itu :
1. Partai Barisan Preman
2. Partai Demokrasi Pembalakan
3. Partai Gerakan Indonesia Mimpi
4. Partai Hati Nurani Rampok
5. Partai Indonesia Sengsara
6. Partai Kaya Penjualan
7. Partai Kasih Fulus Indonesia
8. Partai Kebangkrutan Nasional
9. Partai Matahari Terbenam
10. Partai Nasional Banteng Sakit
11. Partai Peduli Amat Rakyat
12. Partai Pemuda Merana
13. Partai Pengusaha Kaya Raya
14. Partai Kaos Oblong
15. Partai Asal Rame
16. Partai Ini Itu Oke
17. Partai Janji Sorga
18. Partai Kolor Ijo
Dengan demikian jumlah parpol yang akan terjun “membodohi” rakyat pada Pemilu 2009 menjadi 34 parpol. Parpol-parpol baru itu akan bersaing dengan parpol lama yang sedikit atau banyak sudah lebih berpengalaman dalam urusan kibul-mengibuli rakyat. Meskipun jumlah parpol bertambah banyak, jauh-jauh hari kita sudah bisa menduga parpol mana yang bakal memenangi Pemilu 2009. Itulah dia si semata wayang, “parpol” GOLPUT.
1. Partai Barisan Preman
2. Partai Demokrasi Pembalakan
3. Partai Gerakan Indonesia Mimpi
4. Partai Hati Nurani Rampok
5. Partai Indonesia Sengsara
6. Partai Kaya Penjualan
7. Partai Kasih Fulus Indonesia
8. Partai Kebangkrutan Nasional
9. Partai Matahari Terbenam
10. Partai Nasional Banteng Sakit
11. Partai Peduli Amat Rakyat
12. Partai Pemuda Merana
13. Partai Pengusaha Kaya Raya
14. Partai Kaos Oblong
15. Partai Asal Rame
16. Partai Ini Itu Oke
17. Partai Janji Sorga
18. Partai Kolor Ijo
Dengan demikian jumlah parpol yang akan terjun “membodohi” rakyat pada Pemilu 2009 menjadi 34 parpol. Parpol-parpol baru itu akan bersaing dengan parpol lama yang sedikit atau banyak sudah lebih berpengalaman dalam urusan kibul-mengibuli rakyat. Meskipun jumlah parpol bertambah banyak, jauh-jauh hari kita sudah bisa menduga parpol mana yang bakal memenangi Pemilu 2009. Itulah dia si semata wayang, “parpol” GOLPUT.
26 June 2008
"Mafia Bola", Betulkah Mereka Ada?
SEORANG teman penggila bola punya teori yang bagi saya menarik seputar hasil pertandingan dalam Euro 2008, dan dalam event-event bola akbar lainnya. Ia sangat percaya bahwa di belakang segala hiruk-pikuk pertandingan di lapangan ada tangan-tangan tak kelihatan yang ikut “mengatur” hasil pertandingan. Yang dia maksud bukan “Tuhan”, atau hal-hal supra-natural seperti itu. Lantas apa? Ada “mafia” di sana, kata sang teman, haqul yakin. Boleh jadi ini bukan “barang baru” lagi, tapi saya baru tertarik menyimaknya kali ini.
Mafia bola ini, kita sebut saja begitu, berkepentingan menjaga keselamatan (baca : kesuksesan) tim-tim favorit. Jadi boleh saja terjadi kejutan di sana-sini, tim “anak bawang” negara anu misalnya melibas tim mapan negara tertentu. Tapi kejutan demi kejutan harus sudah selesai begitu perhelatan memasuki babak final. Dalam partai final, kata teori teman saya ini, harus ada wakil dari tim yang memang dikenal “jago”nya bola.
Tidak lucu kalau partai final, yang adalah puncak kejuaraan, hanya mempertemukan dua tim “gurem” yang tidak punya merek. Dalam Euro 2004, misalnya, silakan Yunani menjadi juara, yang penting pada laga final itu lawannya tim mapan dan besar. Kita tahu lawan Yunani di final saat itu adalah Portugal, sebuah tim “branded” dengan reputasi selangit.
Kepentingan bisnis (pemasukan uang dari iklan, penjualan tiket, jual beli hak siaran tv, dan lain-lain) menjadi motif utama hadirnya “mafia bola” ini, lagi kata sang teman. Jadi, katanya menyimpulkan, janganlah kita pernah bermimpi bahwa tim seperti Turki dan Rusia, bakal bertemu dalam partai final Euro 2008 Apa kata sponsor nanti? Itu sebuah “bencana” yang tak boleh terjadi. Maka salah satu kudu buru-buru “disetop”, kalau bisa malah dua-duanya.
Ketika tulisan ini dibuat, Turki sudah dipastikan tergusur, “disetop” 2-3 oleh tim bermerek keren, yaitu Jerman. Jadi skenario harus ada tim sohor dalam laga final sudah tercapai. Sehingga tidak teramat penting lagi Rusia atau Spanyol yang bakal jadi seterunya? Jadi, sungguh betul adakah “mafia bola” dalam Euro 2008 kalau begitu?
Mafia bola ini, kita sebut saja begitu, berkepentingan menjaga keselamatan (baca : kesuksesan) tim-tim favorit. Jadi boleh saja terjadi kejutan di sana-sini, tim “anak bawang” negara anu misalnya melibas tim mapan negara tertentu. Tapi kejutan demi kejutan harus sudah selesai begitu perhelatan memasuki babak final. Dalam partai final, kata teori teman saya ini, harus ada wakil dari tim yang memang dikenal “jago”nya bola.
Tidak lucu kalau partai final, yang adalah puncak kejuaraan, hanya mempertemukan dua tim “gurem” yang tidak punya merek. Dalam Euro 2004, misalnya, silakan Yunani menjadi juara, yang penting pada laga final itu lawannya tim mapan dan besar. Kita tahu lawan Yunani di final saat itu adalah Portugal, sebuah tim “branded” dengan reputasi selangit.
Kepentingan bisnis (pemasukan uang dari iklan, penjualan tiket, jual beli hak siaran tv, dan lain-lain) menjadi motif utama hadirnya “mafia bola” ini, lagi kata sang teman. Jadi, katanya menyimpulkan, janganlah kita pernah bermimpi bahwa tim seperti Turki dan Rusia, bakal bertemu dalam partai final Euro 2008 Apa kata sponsor nanti? Itu sebuah “bencana” yang tak boleh terjadi. Maka salah satu kudu buru-buru “disetop”, kalau bisa malah dua-duanya.
Ketika tulisan ini dibuat, Turki sudah dipastikan tergusur, “disetop” 2-3 oleh tim bermerek keren, yaitu Jerman. Jadi skenario harus ada tim sohor dalam laga final sudah tercapai. Sehingga tidak teramat penting lagi Rusia atau Spanyol yang bakal jadi seterunya? Jadi, sungguh betul adakah “mafia bola” dalam Euro 2008 kalau begitu?
24 June 2008
Misalkan Saya Guus Hiddink
MISALKAN saya Guus Hiddink, tentu saja saya akan sangat bangga karena “anak-anak kampung Rusia” asuhan saya sanggup membikin benjol-benjol tim elit Belanda, negara tercinta tempat di mana saya dilahirkan. Anda pasti tahu, saya dibayar cukup “murah” oleh majikan Rusia saya. Hanya 23 milyar setahun jika dikonversi ke rupiah. Itu artinya, sebulannya saya hanya mengantongi duit tidak sampai 2 milyar. Jelas itu sebuah jumlah yang kecil jika dibanding reputasi besar saya selama ini. Kecil, kalau diingat juga target besar yang dibebankan di pundak saya.
Tapi saya menerima tawaran untuk melatih di Rusia karena saya, Guus Hiddink, selalu menyukai tantangan. Saya kepingin membuktikan untuk kesekian kalinya bahwa dalam sepak bola, apa yang di mata pengamat dan penonton adalah “nonsens” bisa saja diwujudkan. Sewaktu saya 6 tahun yang lalu sukses membawa tim “anak bawang” Korea Selatan ke semi final Piala Dunia, ada suara-suara tidak enak yang menyebut sukses itu bisa terjadi karena kesebelasan saya dibantu para wasit yang sudah dibayar. Saya diam-diam marah sekali ketika itu.
Lalu saya menerima tawaran melatih kesebelasan “anak bawang” lain, Australia. Obsesi saya selalu sama, kepingin membuktikan bahwa sepak bola bukanlah matematika. Anda sekalian melihat bahwa saya hampir saja kembali berhasil menggoyang dunia saat itu. Tapi permainan kotor Italia membuyarkan impian saya. Mereka menyingkirkan saya lewat penalti jahat yang dihadiahkan wasit di menit akhir pertandingan perdelapan final yang busuk itu.
Sekarang saya mengepalai serombongan “anak kampung Rusia” untuk kembali mencoba membuktikan kebenaran tesis abadi saya. Dan saya kira saya sudah boleh dianggap berhasil saat ini. Mencapai semi final Piala Eropa, dengan menghajar tim-tim hebat dan mapan Eropa, adalah pembuktian lebih lanjut dari kebenaran impian saya. Saya mohon maaf apabila saya begitu demonstratif meluapkan kegembiuraan saya sewaktu “anak-anak kampung” yang saya latih selama ini meruntuhkan salah satu mitos sepak bola Eropa, bahkan dunia, yakni Belanda, di mana saya pun selama ini ikut mengambil peran membangun mitos itu.
Perilaku saya waktu itu janganlah diartikan seolah saya sudah berlaku khianat kepada tanah air saya sendiri. Saya ulangi, saya tak suka sebutan “pengkhianat” yang dilemparkan kepada saya. Guus Hiddink selamanya orang Belanda, dan sangat mencintai Belanda. Tapi saya punya tanggung jawab profesional kepada mereka yang membayar saya, berapa pun jumlah bayarannya. Dan jangan lupa, di atas semua itu adalah obsesi abadi saya. Sepak bola, saya tandaskan sekali lagi, bukanlah matematika. Dan bukan juga agama. Jadi jangan sekali-kali membawa yang terakhir itu ke lapangan sepak bola.
Misalnya, laga semi final Turki lawan Jerman nanti, janganlah dianggap sebagai pertarungan antara kesebelasan muslim versus kesebelasan Kristen. Misalkan saya Guus Hiddink, saya akan bilang itu cara berpikir dungu, imbisil, dan menodai konsep "Fair Play" yang sangat saya junjung. Tapi karena saya hanya Guus Hiddink bohong-bohongan, saya akan bilang itu pikiran primitif yang mencoreng asas kebhinekaan yang selama ini sudah jadi komitmen bersama.
Tapi saya menerima tawaran untuk melatih di Rusia karena saya, Guus Hiddink, selalu menyukai tantangan. Saya kepingin membuktikan untuk kesekian kalinya bahwa dalam sepak bola, apa yang di mata pengamat dan penonton adalah “nonsens” bisa saja diwujudkan. Sewaktu saya 6 tahun yang lalu sukses membawa tim “anak bawang” Korea Selatan ke semi final Piala Dunia, ada suara-suara tidak enak yang menyebut sukses itu bisa terjadi karena kesebelasan saya dibantu para wasit yang sudah dibayar. Saya diam-diam marah sekali ketika itu.
Lalu saya menerima tawaran melatih kesebelasan “anak bawang” lain, Australia. Obsesi saya selalu sama, kepingin membuktikan bahwa sepak bola bukanlah matematika. Anda sekalian melihat bahwa saya hampir saja kembali berhasil menggoyang dunia saat itu. Tapi permainan kotor Italia membuyarkan impian saya. Mereka menyingkirkan saya lewat penalti jahat yang dihadiahkan wasit di menit akhir pertandingan perdelapan final yang busuk itu.
Sekarang saya mengepalai serombongan “anak kampung Rusia” untuk kembali mencoba membuktikan kebenaran tesis abadi saya. Dan saya kira saya sudah boleh dianggap berhasil saat ini. Mencapai semi final Piala Eropa, dengan menghajar tim-tim hebat dan mapan Eropa, adalah pembuktian lebih lanjut dari kebenaran impian saya. Saya mohon maaf apabila saya begitu demonstratif meluapkan kegembiuraan saya sewaktu “anak-anak kampung” yang saya latih selama ini meruntuhkan salah satu mitos sepak bola Eropa, bahkan dunia, yakni Belanda, di mana saya pun selama ini ikut mengambil peran membangun mitos itu.
Perilaku saya waktu itu janganlah diartikan seolah saya sudah berlaku khianat kepada tanah air saya sendiri. Saya ulangi, saya tak suka sebutan “pengkhianat” yang dilemparkan kepada saya. Guus Hiddink selamanya orang Belanda, dan sangat mencintai Belanda. Tapi saya punya tanggung jawab profesional kepada mereka yang membayar saya, berapa pun jumlah bayarannya. Dan jangan lupa, di atas semua itu adalah obsesi abadi saya. Sepak bola, saya tandaskan sekali lagi, bukanlah matematika. Dan bukan juga agama. Jadi jangan sekali-kali membawa yang terakhir itu ke lapangan sepak bola.
Misalnya, laga semi final Turki lawan Jerman nanti, janganlah dianggap sebagai pertarungan antara kesebelasan muslim versus kesebelasan Kristen. Misalkan saya Guus Hiddink, saya akan bilang itu cara berpikir dungu, imbisil, dan menodai konsep "Fair Play" yang sangat saya junjung. Tapi karena saya hanya Guus Hiddink bohong-bohongan, saya akan bilang itu pikiran primitif yang mencoreng asas kebhinekaan yang selama ini sudah jadi komitmen bersama.
18 June 2008
Tentang Janggut, Peci, Jubah, dll
ADA kejadian lucu sewaktu tempo hari polisi meluruk ke “kandang” FPI di Tanah Abang, Jakarta. Entah karena polisinya kelewat tegang, atau ada faktor lain, mereka sempat “salah mata” dan menangkap seorang yang ternyata bukan anggota FPI. Penyebab salah tangkap itu ternyata sederhana, yaitu karena yang bersangkutan—ia mengaku hanya tukang semir sepatu—berjanggut ala anggota FPI umumnya.
Memang belakangan ini, janggut—ditambah baju koko, peci putih, dan sorban—oleh sebagian kelompok seperti dijadikan “aksesori wajib” yang harus dikenakan kalau kepingin dianggap “sungguh muslim”. Mungkinkah ini hanya sebuah tren modis yang sifatnya temporer semata, memang masih harus ditunggu dan dibuktikan.
Yang berbahaya adalah kalau kemudian keberadaan aksesoris itu dijadikan juga alat untuk mengukur tingkat kesalehan seseorang. Orang lalu terpaku pada apa yang kelihatan oleh mata lahiriah. Iman diukur dari apa yang dikenakan : jubah, peci, sorban, tasbih yang ditenteng kesana-kemari (mungkin juga jidat yang ‘kapalan’ karena seringnya bersujud?) bukan dari perilaku nyata sehari-hari yang bersangkutan.
Seorang mistikus katolik dari Spanyol, Santo Yohanes Salib, dalam bukunya yang termashur, "Malam Kelam" pernah juga menyinggung soal kegandrungan pada aksesoris fisik ini. Menurut orang suci itu, aksesoris yang dikenakan itu memang bukti adanya iman pada orang yang mengenakannya, tapi mohon maaf, yang dimaksud oleh sang santo adalah iman yang masih pada tingkatan awal, atau permulaan. Jadi kalau diumpamakan murid sekolah, ia baru siswa TK atau SD.
Sebaliknya iman yang tulen, yang sudah paten teruji, tidak lagi merisaukan (atau direpotkan) tampilan yang hanya fisikal sifatnya. Sebab memang, yang penting akhirnya “isi”nya, bukan kemasannya. Awas, kemasan memang bisa menipu, tapi “isi”, tidak.
Memang belakangan ini, janggut—ditambah baju koko, peci putih, dan sorban—oleh sebagian kelompok seperti dijadikan “aksesori wajib” yang harus dikenakan kalau kepingin dianggap “sungguh muslim”. Mungkinkah ini hanya sebuah tren modis yang sifatnya temporer semata, memang masih harus ditunggu dan dibuktikan.
Yang berbahaya adalah kalau kemudian keberadaan aksesoris itu dijadikan juga alat untuk mengukur tingkat kesalehan seseorang. Orang lalu terpaku pada apa yang kelihatan oleh mata lahiriah. Iman diukur dari apa yang dikenakan : jubah, peci, sorban, tasbih yang ditenteng kesana-kemari (mungkin juga jidat yang ‘kapalan’ karena seringnya bersujud?) bukan dari perilaku nyata sehari-hari yang bersangkutan.
Seorang mistikus katolik dari Spanyol, Santo Yohanes Salib, dalam bukunya yang termashur, "Malam Kelam" pernah juga menyinggung soal kegandrungan pada aksesoris fisik ini. Menurut orang suci itu, aksesoris yang dikenakan itu memang bukti adanya iman pada orang yang mengenakannya, tapi mohon maaf, yang dimaksud oleh sang santo adalah iman yang masih pada tingkatan awal, atau permulaan. Jadi kalau diumpamakan murid sekolah, ia baru siswa TK atau SD.
Sebaliknya iman yang tulen, yang sudah paten teruji, tidak lagi merisaukan (atau direpotkan) tampilan yang hanya fisikal sifatnya. Sebab memang, yang penting akhirnya “isi”nya, bukan kemasannya. Awas, kemasan memang bisa menipu, tapi “isi”, tidak.
13 June 2008
Mimpi Dua Mantan Jenderal
ENTAH apa sebetulnya yang bercokol dalam benak dua orang mantan jenderal itu. Di masa aktifnya dulu konon mereka berseteru sengit. Keduanya pun santer disebut-sebut punya kaitan dengan peristiwa dahsyat yang dikenal sebagai “kerusuhan Mei” itu, tapi seperti biasa terjadi di republik ini, hal-hal itu tinggal sebagai rumor—setidaknya hingga hari ini.
Kini mantan jenderal yang satu membikin partai politik. Ia mau bangkit lagi rupanya, targetnya jelas, dan semua orang sudah pada tahu. Demi mencapai target itulah ia belakangan sering nongol di depan publik. Kadang bermain menjadi "sinterklas-sinterklasan" yang membagi-bagikan sembako, terkadang juga duit. Lain waktu ia kelihatan bertegang-tegang mengata-ngatai pemerintah.
Mantan jenderal yang satu lagi sejauh ini tak begitu jelas agenda politiknya. Yang kelihatan adalah bahwa belakangan dia suka setor muka di televisi, lalu dengan mimik serius dan prihatin ia berbicara gagah “atas nama para petani”. Adakah sang mantan jenderal juga punya target politik muluk seperti mantan jenderal sebelumnya? Atau ia sekadar tergoda untuk “meneruskan” perseteruan mereka di masa lalu?
Sekiranya keduanya, atau minimal salah satunya, tetap meneruskan rencana besarnya pada Pemilu 2009, maka itu akan menjadi manuver yang kelewat bodoh untuk dilakukan. Sebab tingkat keberhasilan peluang mereka sudah bisa dipastikan bahkan pada hari ini juga. Kecuali kalau mereka punya target lain. Misalnya saja, kehadiran mereka hanya dimaksudkan untuk “memecah” konsentrasi konstituen lawan.
Tapi target ini pun rasanya kelewat sulit untuk dicapai. Publik sudah pada tahu kok borok-borok mereka, jadi percuma sajalah mereka main sulap ini itu untuk mengibuli orang banyak. Sebagai mantan jenderal, mereka pun mestinya cukup pintar untuk memahami semua itu. Jadi apa gerangan yang “memaksa” mereka untuk terus nekat maju—jika benar begitu. Hanya mereka bedualah yang bisa menjawab.
Kini mantan jenderal yang satu membikin partai politik. Ia mau bangkit lagi rupanya, targetnya jelas, dan semua orang sudah pada tahu. Demi mencapai target itulah ia belakangan sering nongol di depan publik. Kadang bermain menjadi "sinterklas-sinterklasan" yang membagi-bagikan sembako, terkadang juga duit. Lain waktu ia kelihatan bertegang-tegang mengata-ngatai pemerintah.
Mantan jenderal yang satu lagi sejauh ini tak begitu jelas agenda politiknya. Yang kelihatan adalah bahwa belakangan dia suka setor muka di televisi, lalu dengan mimik serius dan prihatin ia berbicara gagah “atas nama para petani”. Adakah sang mantan jenderal juga punya target politik muluk seperti mantan jenderal sebelumnya? Atau ia sekadar tergoda untuk “meneruskan” perseteruan mereka di masa lalu?
Sekiranya keduanya, atau minimal salah satunya, tetap meneruskan rencana besarnya pada Pemilu 2009, maka itu akan menjadi manuver yang kelewat bodoh untuk dilakukan. Sebab tingkat keberhasilan peluang mereka sudah bisa dipastikan bahkan pada hari ini juga. Kecuali kalau mereka punya target lain. Misalnya saja, kehadiran mereka hanya dimaksudkan untuk “memecah” konsentrasi konstituen lawan.
Tapi target ini pun rasanya kelewat sulit untuk dicapai. Publik sudah pada tahu kok borok-borok mereka, jadi percuma sajalah mereka main sulap ini itu untuk mengibuli orang banyak. Sebagai mantan jenderal, mereka pun mestinya cukup pintar untuk memahami semua itu. Jadi apa gerangan yang “memaksa” mereka untuk terus nekat maju—jika benar begitu. Hanya mereka bedualah yang bisa menjawab.
06 June 2008
Insiden Monas : Sungguhan atau Sandiwara?
JIKA diamati teliti ada ketidak-konsitenan dalam 3 tulisan saya terdahulu di halaman ini yang menyoal insiden Monas serta keberadaan FPI.Dua tulisan menyorot kemungkinan adanya rekayasa di belakang insiden Monas, tapi satu tulisan lain, yaitu “FPI ternyata Ayam Sayur” seolah terlepas dari soal “rekayasa” itu. Seakan-akan saya percaya sungguh FPI adalah trouble maker murni yang pantas dibereskan.
Jika saya renungkan kembali nyatalah keidak-konsistenan itu disebabkan karena saya pun agaknya masih meragukan adanya unsur “rekayasa” dalam insiden itu, sehingga ketika membaca warta sekitar “diserbunya” sarang FPI perasaan saya sedikit meluap tak terkontrol. Kemuakan saya yang terpendam lama kepada perilaku kelompok “preman.berjubah” yang gemar “menertibkan” ini dan itu tumpah semua.
Kini setelah memikirkannya kembali dengan lebih rileks, saya kembali yakin bahwa insiden Monas sungguh sebuah rekayasa. Tentu yang termasuk dalam rekayasa itu bukanlah adegan saling gebuknya. Betul bahwa FPI menggebuki sejumlah orang dari Aliansi, tapi pertanyaannya mengapa gebuk-menggebuk itu bisa berlangsung dengan mulus dan lancar, di siang bolong yang terang benderang, dan notabene jaraknya hanya beberapa ratus meter saja dari Istana?
Mengapa untuk sebuah perhelatan seakbar pada Ahad, 1 Juni 2008 itu, pengamanan dari pihak polisi begitu minim? Kabarnya hanya ada satu kompi polisi yang diterjunkan di lokasi sekitar Monas hari itu. Sedangkan di tempat insiden berlangsung hanya ada satu polisi berpakaian preman. Baru setelah sejumlaah orang babak-belur polisi berbondong-bondong datang. Mengapa begitu? Lha itulah ajaibnya insiden Monas.
Bagian selanjutnya dari sandiwara itu kita sudah pada tahu juga. Habib Rizieg Shihab petentengan datang ke Polda, bersama “pangab” LPI, Munarman, menggelar konprensi pers. Rizieg ngomong galak akan “melawan sampai titik darah penghabisan” kalau sampai FPI dibubarkan. Sementara Munarman juga main ancam akan menyerbu kantor Koran Tempo.Ini sekadar bumbu penyedap belaka.
Bahwa kemudian ternyata mereka (FPI) tidak bikin perlawanan apa-apa sewaktu polisi datang, itu juga bagian dari skenario. Order yang mereka terima dari “atas” rupanya meminta mereka “patuh”, jadi ya mereka “patuh”. Tapi supaya lalu muncul kesan seru dan dramatis diaturlah Munarman seolah-olah buron. Anton Medan yang “tidak tahu apa-apa” juga dilibatkan dalam urusan ini. Dan kalau hari ini akhirnya Munarman “terpegang” itu semua pun sudah bagian dari sandiwara.
Tentu saja kalau anda menuntut “bukti” bahwa insiden Monas adalah rekayasa, jelas mustahil. Kita tidak bakal mendapatkannya. Yang bisa kita lakukan hanyalah mencoba lebih cermat membaca yang “tersirat” di balik banjir peristiwa yang secara “tersurat” membombardir kita setiap harinya. Celakanya media massa (koran, radio, tv) juga mau atau tidak ikut terpancing bermain, sebab mereka selalu butuh suplay berita atau cerita-cerita hebat untuk bisa dijual. Tidak penting itu sungguhan atau hanya fiksi.
Jika saya renungkan kembali nyatalah keidak-konsistenan itu disebabkan karena saya pun agaknya masih meragukan adanya unsur “rekayasa” dalam insiden itu, sehingga ketika membaca warta sekitar “diserbunya” sarang FPI perasaan saya sedikit meluap tak terkontrol. Kemuakan saya yang terpendam lama kepada perilaku kelompok “preman.berjubah” yang gemar “menertibkan” ini dan itu tumpah semua.
Kini setelah memikirkannya kembali dengan lebih rileks, saya kembali yakin bahwa insiden Monas sungguh sebuah rekayasa. Tentu yang termasuk dalam rekayasa itu bukanlah adegan saling gebuknya. Betul bahwa FPI menggebuki sejumlah orang dari Aliansi, tapi pertanyaannya mengapa gebuk-menggebuk itu bisa berlangsung dengan mulus dan lancar, di siang bolong yang terang benderang, dan notabene jaraknya hanya beberapa ratus meter saja dari Istana?
Mengapa untuk sebuah perhelatan seakbar pada Ahad, 1 Juni 2008 itu, pengamanan dari pihak polisi begitu minim? Kabarnya hanya ada satu kompi polisi yang diterjunkan di lokasi sekitar Monas hari itu. Sedangkan di tempat insiden berlangsung hanya ada satu polisi berpakaian preman. Baru setelah sejumlaah orang babak-belur polisi berbondong-bondong datang. Mengapa begitu? Lha itulah ajaibnya insiden Monas.
Bagian selanjutnya dari sandiwara itu kita sudah pada tahu juga. Habib Rizieg Shihab petentengan datang ke Polda, bersama “pangab” LPI, Munarman, menggelar konprensi pers. Rizieg ngomong galak akan “melawan sampai titik darah penghabisan” kalau sampai FPI dibubarkan. Sementara Munarman juga main ancam akan menyerbu kantor Koran Tempo.Ini sekadar bumbu penyedap belaka.
Bahwa kemudian ternyata mereka (FPI) tidak bikin perlawanan apa-apa sewaktu polisi datang, itu juga bagian dari skenario. Order yang mereka terima dari “atas” rupanya meminta mereka “patuh”, jadi ya mereka “patuh”. Tapi supaya lalu muncul kesan seru dan dramatis diaturlah Munarman seolah-olah buron. Anton Medan yang “tidak tahu apa-apa” juga dilibatkan dalam urusan ini. Dan kalau hari ini akhirnya Munarman “terpegang” itu semua pun sudah bagian dari sandiwara.
Tentu saja kalau anda menuntut “bukti” bahwa insiden Monas adalah rekayasa, jelas mustahil. Kita tidak bakal mendapatkannya. Yang bisa kita lakukan hanyalah mencoba lebih cermat membaca yang “tersirat” di balik banjir peristiwa yang secara “tersurat” membombardir kita setiap harinya. Celakanya media massa (koran, radio, tv) juga mau atau tidak ikut terpancing bermain, sebab mereka selalu butuh suplay berita atau cerita-cerita hebat untuk bisa dijual. Tidak penting itu sungguhan atau hanya fiksi.
05 June 2008
FPI Ternyata "Ayam Sayur"
FPI ternyata hanya “ayam sayur”. Mereka menyerah begitu saja sewaktu kemarin (4 Juni 2008) polisi menyatroni “sarang” mereka di Petamburan, Tanah Abang, Jakarta. Padahal sehari sebelumnya, Habib Rizieg Shihab yang memegang pucuk pimpinan di ormas “preman berjubah” itu berkoar galak “akan melawan sampai titik darah penghabisan” apabila ada anggotanya yang sampai “ditowel” polisi.
Nyatanya, boro-boro melawan, malahan Munarman, “pangab”nya Laskar Pembela Islam (LPI), ngacir entah ke mana. Munarman ini sehari sebelumnya juga sempat mengancam-ancam akan menyerbu kantor Koran Tempo karena koran itu dianggap telah memfitnahnya. Ketika membaca warta itu saya muak sekali, kok enak bener ya, sedikit-sedikit main serbu, sedikit-sedikit main rusak—emang negara engkongnya …
Dengan kejadian kemarin itu semakin terbukti bahwa FPI memang hanya “ayam sayur” doang. Ketika tempo hari akan didatangi anak-anak Pagar Nusa (NU) pun mereka buru-buru ngibrit ke Polda guna minta perlindungan. Ketahuan deh beraninya cuma sama yang kecil, yang pasrah dan nggak bisa melawan.
Kalau iseng-iseng kita bandingkan dengan “anak-anak” Forum Kota (Forkot) umpamanya, yang juga “setengah preman” itu, wah kalah jauh sekali mereka. Forkot itu jelek-jelek sudah sempat “bikin sejarah” waktu 1998 lho. Lha FPI bikin apa-- selain bikin rusak kantor dan menjungkir-balikkan rezeki orang lain?
Nyatanya, boro-boro melawan, malahan Munarman, “pangab”nya Laskar Pembela Islam (LPI), ngacir entah ke mana. Munarman ini sehari sebelumnya juga sempat mengancam-ancam akan menyerbu kantor Koran Tempo karena koran itu dianggap telah memfitnahnya. Ketika membaca warta itu saya muak sekali, kok enak bener ya, sedikit-sedikit main serbu, sedikit-sedikit main rusak—emang negara engkongnya …
Dengan kejadian kemarin itu semakin terbukti bahwa FPI memang hanya “ayam sayur” doang. Ketika tempo hari akan didatangi anak-anak Pagar Nusa (NU) pun mereka buru-buru ngibrit ke Polda guna minta perlindungan. Ketahuan deh beraninya cuma sama yang kecil, yang pasrah dan nggak bisa melawan.
Kalau iseng-iseng kita bandingkan dengan “anak-anak” Forum Kota (Forkot) umpamanya, yang juga “setengah preman” itu, wah kalah jauh sekali mereka. Forkot itu jelek-jelek sudah sempat “bikin sejarah” waktu 1998 lho. Lha FPI bikin apa-- selain bikin rusak kantor dan menjungkir-balikkan rezeki orang lain?
03 June 2008
Dari "SMS Santet" sampai Ribut FPI di Monas
MACAM-macamlah caranya penguasa “membungkam” keresahan yang diakibatkan naiknya harga BBM. Kepada lapisan paling bawah digelontorkan bantuan duit tunai. Jumlahnya biasa saja, tapi di zaman super sulit seperti ini duit itu menjadi luar biasa. Lalu kepada para mahasiswa—yang gemar bakar-bakar ban dan main bom botol—dijejalkanlah bantuan sejenis. Jumlahnya juga “kecil”, tapi di zaman susah seperti sekarang lumayanlah duit segitu.
Hasilnya? Entah karena bantuan duit itu, atau karena kapok kena hajar aparat, atau ada faktor lainnya, nyatanya frekuensi aksi unjuk rasa mahasiswa di Jakarta berkurang drastis hari-hari ini.
Upaya lain yang dilakukan penguasa, yang bagi saya sangat menggelikan, adalah membuka pintu Istana untuk dikunjungi warga pada akhir pekan. Istana yang angker dan “resmi” kini boleh didatangi rakyat seperti Kebun Binatang Ragunan bebas disatroni. Malah kalau ke Ragunan kita kudu bayar, ke Istana boleh gratis. Ini adalah kesempatan langka bagi khalayak untuk melihat koleksi “hewan” apa saja yang dipajang di sana. Konon koleksi burung beo Istana teramat lengkap.
Itu semua adalah cara-cara “resmi” yang transparan. Tahukah anda bahwa selain lewat cara-cara “resmi” itu ada juga cara lain yang dilakukan penguasa? Ssst, yang ini memang susah dibuktikan, maklum ini adalah operasi yang dijalankan Mat Intel sendiri. Silent operation, istilah “kampung”nya.
Masih ingat heboh “SMS santet” tempo hari? Kenapa kasus itu bisa mendadak muncul dan mendadak raib pula? Masih urusan SMS, belum lama ini juga sempat ada heboh “SMS teror” yang mengabarkan akan adanya kerusuhan di Jakarta. Sesudah ribut-ribut sebentar, mendadak soal ini hilang begitu saja. Padahal katanya pihak berwajib berjanji bakal menguber pelaku atau penyebar SMS ngawur itu.
Reda soal SMS mendadak timbul heboh Joko Suprapto dengan “Energi Biru”nya. Hampir berbarengan dengan itu muncul pula seorang Achmad Zainal yang mengaku super kaya dan berniat membagi-bagikan duitnya secara cuma-cuma. Yang paling akhir adalah insiden FPI bikin ribut di Monas. Begitulah, kejadian demi kejadian “tidak biasa” muncul seperti bergiliran. Anda pikir itu kejadian wajar dan biasa saja?
Jangan naif, bung. Semua itu mungkin saja sudah diatur dan dipersiapkan. Tujuannya satu : mengalihkan perhatian dari keresahan (mungkin lebih tepat kalau disebut “kemarahan”) akibat makin susahnya hidup. Hal-hal atau peristiwa sensasional yang dimunculkan itu diharapkan bisa menjadi “hiburan” dan kanalisasi dari rasa frustrasi yang menumpuk, supaya tidak sampai terjadi letupan, atau chaos.
Banyak cara dan bahan yang siap diblow-up, untuk kemudian dipendam lagi. Stok lama yang masih “laku” dijual saja masih bertumpuk. Misalnya kasus Munir, Tommy Soeharto, skandal BLBI, dan seabrek bahan lain. Tapi kadang memang ada momen yang secara kebetulan membantu terciptanya suasana “adem semu” itu. Contohnya adalah perhelatan sepak bola Piala Eropa (Euro 2008) yang pekan depan segera dimulai.
Nah, dijamin nanti selama sebulan kita semua bakal terlena dan melupakan kegeraman kita karena harga-harga yang pada naik. Dan itu juga saatnya bagi Mat Intel untuk sedikit bersantai. Mereka bisa bergadang dengan lebih tenang, seraya nyeruput kopi, dan taruhan bola?
Hasilnya? Entah karena bantuan duit itu, atau karena kapok kena hajar aparat, atau ada faktor lainnya, nyatanya frekuensi aksi unjuk rasa mahasiswa di Jakarta berkurang drastis hari-hari ini.
Upaya lain yang dilakukan penguasa, yang bagi saya sangat menggelikan, adalah membuka pintu Istana untuk dikunjungi warga pada akhir pekan. Istana yang angker dan “resmi” kini boleh didatangi rakyat seperti Kebun Binatang Ragunan bebas disatroni. Malah kalau ke Ragunan kita kudu bayar, ke Istana boleh gratis. Ini adalah kesempatan langka bagi khalayak untuk melihat koleksi “hewan” apa saja yang dipajang di sana. Konon koleksi burung beo Istana teramat lengkap.
Itu semua adalah cara-cara “resmi” yang transparan. Tahukah anda bahwa selain lewat cara-cara “resmi” itu ada juga cara lain yang dilakukan penguasa? Ssst, yang ini memang susah dibuktikan, maklum ini adalah operasi yang dijalankan Mat Intel sendiri. Silent operation, istilah “kampung”nya.
Masih ingat heboh “SMS santet” tempo hari? Kenapa kasus itu bisa mendadak muncul dan mendadak raib pula? Masih urusan SMS, belum lama ini juga sempat ada heboh “SMS teror” yang mengabarkan akan adanya kerusuhan di Jakarta. Sesudah ribut-ribut sebentar, mendadak soal ini hilang begitu saja. Padahal katanya pihak berwajib berjanji bakal menguber pelaku atau penyebar SMS ngawur itu.
Reda soal SMS mendadak timbul heboh Joko Suprapto dengan “Energi Biru”nya. Hampir berbarengan dengan itu muncul pula seorang Achmad Zainal yang mengaku super kaya dan berniat membagi-bagikan duitnya secara cuma-cuma. Yang paling akhir adalah insiden FPI bikin ribut di Monas. Begitulah, kejadian demi kejadian “tidak biasa” muncul seperti bergiliran. Anda pikir itu kejadian wajar dan biasa saja?
Jangan naif, bung. Semua itu mungkin saja sudah diatur dan dipersiapkan. Tujuannya satu : mengalihkan perhatian dari keresahan (mungkin lebih tepat kalau disebut “kemarahan”) akibat makin susahnya hidup. Hal-hal atau peristiwa sensasional yang dimunculkan itu diharapkan bisa menjadi “hiburan” dan kanalisasi dari rasa frustrasi yang menumpuk, supaya tidak sampai terjadi letupan, atau chaos.
Banyak cara dan bahan yang siap diblow-up, untuk kemudian dipendam lagi. Stok lama yang masih “laku” dijual saja masih bertumpuk. Misalnya kasus Munir, Tommy Soeharto, skandal BLBI, dan seabrek bahan lain. Tapi kadang memang ada momen yang secara kebetulan membantu terciptanya suasana “adem semu” itu. Contohnya adalah perhelatan sepak bola Piala Eropa (Euro 2008) yang pekan depan segera dimulai.
Nah, dijamin nanti selama sebulan kita semua bakal terlena dan melupakan kegeraman kita karena harga-harga yang pada naik. Dan itu juga saatnya bagi Mat Intel untuk sedikit bersantai. Mereka bisa bergadang dengan lebih tenang, seraya nyeruput kopi, dan taruhan bola?
02 June 2008
FPI "Makan" Korban Lagi
KELOMPOK preman berjubah yang dikenal dengan sebutan keren FPI alias Front Pembela Islam (saya kira kata “Pembela” di situ sebaiknya diganti saja dengan “Pencemar”) kembali bikin ulah. Kali ini yang jadi korban adalah kelompok Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang tengah berkumpul di lapangan Monas, Ahad, 1 Juni 2008 (Koran Tempo, 2 Juni 2008).
Sejumlah orang luka-luka serius dalam insiden memalukan itu, malah ada yang gegar otak, dan perlu dioperasi. Insiden kemarin itu menjadi menarik karena dilakukan pas pada tanggal 1 Juni, hari yang selama ini diperingati sebagai Hari Kelahiran Pancasila. Ini sama saja artinya FPI terang-terangan “memberaki” Pancasila, dan UUD 45 yang jelas-jelas mendukung hak setiap orang di sini untuk bebas memilih sendiri keyakinan dan agamanya. Secara implisit bisa saja tindakan anarkis itu digolongkan juga sebagai kegiatan “makar” kecil-kecilan.
Seruan menuntut adanya tindakan hukum tegas dan kalau perlu pembubaran Ormas Islam yang suka bikin sebal banyak orang itu kontan timbul bersahutan. Akankah tuntutan itu ditanggapi? Saya kok tidak yakin ya. Saya rasa seperti yang lalu-lalu, insiden barbar dan biadab ala FPI ini pun akan lewat begitu saja. Sudah bukan rahasia lagi bahwa aparat kepolisian di sini terkesan “jeri” kalau sudah bersinggungan dengan kelompok agama mayoritas ini.
Dari kelompok umat sendiri tertangkap adanya kesan mendua dalam menanggapi keberadaan FPI. Contoh paling gamblang ditunjukkan sendiri oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Seperti pernah ditulis di halaman ini juga, MUI di satu pihak sering mengeluarkan imbauan “anti kekerasan”, tapi kenyataannya tidak pernah mereka mengutuk kekerasan yang dilakukan FPI—juga kelompok umat garis keras lainnya.
Keberadaan FPI sebetulnya mirip dengan keberadaan kelompok seperti FBR (Forum Betawi Reseh eh Rempug), atau PP (Pemuda Pancasila), FKPPI dan beberapa lagi di zaman Orba dulu. Sudah jadi rahasia umum bahwa ada sejumlah “orang kuat” yang mengongkosi dan jadi deking mereka, sehingga mereka terkesan begitu leluasa bertindak apa saja, dan sebaliknya teramat susah untuk ditertibkan.
Maka kalau sekarang kembali ada tuntutan supaya “FPI bubar”, pahamilah itu bukan urusan mudah. Tapi sekiranya kelompok preman bersorban itu toh dinyatakan bubar, sama sekali tidak sulit untuk mendirikan kembali kelompok sejenis, dengan nama dan seragam berbeda, tapi dengan pola perilaku yang sama-sama saja, bukan?
Sejumlah orang luka-luka serius dalam insiden memalukan itu, malah ada yang gegar otak, dan perlu dioperasi. Insiden kemarin itu menjadi menarik karena dilakukan pas pada tanggal 1 Juni, hari yang selama ini diperingati sebagai Hari Kelahiran Pancasila. Ini sama saja artinya FPI terang-terangan “memberaki” Pancasila, dan UUD 45 yang jelas-jelas mendukung hak setiap orang di sini untuk bebas memilih sendiri keyakinan dan agamanya. Secara implisit bisa saja tindakan anarkis itu digolongkan juga sebagai kegiatan “makar” kecil-kecilan.
Seruan menuntut adanya tindakan hukum tegas dan kalau perlu pembubaran Ormas Islam yang suka bikin sebal banyak orang itu kontan timbul bersahutan. Akankah tuntutan itu ditanggapi? Saya kok tidak yakin ya. Saya rasa seperti yang lalu-lalu, insiden barbar dan biadab ala FPI ini pun akan lewat begitu saja. Sudah bukan rahasia lagi bahwa aparat kepolisian di sini terkesan “jeri” kalau sudah bersinggungan dengan kelompok agama mayoritas ini.
Dari kelompok umat sendiri tertangkap adanya kesan mendua dalam menanggapi keberadaan FPI. Contoh paling gamblang ditunjukkan sendiri oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Seperti pernah ditulis di halaman ini juga, MUI di satu pihak sering mengeluarkan imbauan “anti kekerasan”, tapi kenyataannya tidak pernah mereka mengutuk kekerasan yang dilakukan FPI—juga kelompok umat garis keras lainnya.
Keberadaan FPI sebetulnya mirip dengan keberadaan kelompok seperti FBR (Forum Betawi Reseh eh Rempug), atau PP (Pemuda Pancasila), FKPPI dan beberapa lagi di zaman Orba dulu. Sudah jadi rahasia umum bahwa ada sejumlah “orang kuat” yang mengongkosi dan jadi deking mereka, sehingga mereka terkesan begitu leluasa bertindak apa saja, dan sebaliknya teramat susah untuk ditertibkan.
Maka kalau sekarang kembali ada tuntutan supaya “FPI bubar”, pahamilah itu bukan urusan mudah. Tapi sekiranya kelompok preman bersorban itu toh dinyatakan bubar, sama sekali tidak sulit untuk mendirikan kembali kelompok sejenis, dengan nama dan seragam berbeda, tapi dengan pola perilaku yang sama-sama saja, bukan?
27 May 2008
Republik yang Stres
PENGUMUMAN kenaikan harga BBM pada zaman Orba dan sekarang punya persamaan dan perbedaan. Persamaan kekalnya adalah bahwa pengumuman itu bagi sebagian besar kita identik dengan datangnya “musibah”. Meskipun para petinggi Orba gemar menggunakan kata “penyesuaian” sebagai ganti kata “kenaikan”, kita toh tahu belaka : “penyesuaian” itu adalah “bencana”, titik.
Lalu biasanya beberapa jam sebelum harga baru BBM “diresmikan” akan terjadi drama di pompa-pompa bensin. Mendadak banyak orang jadi seperti kehilangan akal warasnya, mereka rela antre berjam-jam lamanya hanya demi mengirit beberapa rupiah. Padahal kalau mereka membelinya besok, selisih harganya tidak jauh-jauh amat. Barangkali karena kita memang sudah terkondisi hidup dalam situasi yang selalu dibayangi “ketidakpastian”, orang jadi gampang dibikin panik (dan latah) oleh sedikit saja kabar perubahan.
Ada kisah menarik pada pengumuman kenaikan harga BBM jaman dulu. Sering terjadi para petinggi yang ditugaskan mengumumkan “musibah” itu menyampaikannya kepada publik sambil sibuk cengengesan. Adalah sastrawan Bur Rasuanto yang menjadi murka melihat hal ini. Ia lantas menulis dan mengomentari kelakuan “lucu” para petinggi Orba itu sebagai bukti adanya gejala “gangguan jiwa” pada yang bersangkutan.
Para petinggi sekarang agaknya banyak belajar dari kesalahan para seniornya. Mereka biasanya akan memasang mimik wajah “sedih”, “prihatin”, atau minimal menahan diri untuk tidak cengar-cengir saat mengumumkan kabar buruk bagi orang banyak itu. Supaya pementasan paripurna, biasanya akan ada sejumlah kata permohonan maaf dan penyesalan yang mereka ucapkan pula. Tentu semua disampaikan dengan (berpura-pura) takzim dan sedih.
Yang juga berbeda dengan dulu adalah bahwa orang sekarang bisa memprotes kenaikan itu secara terbuka--kalau dulu kan paling kita hanya berani menggerutu di belakang. Model forum protesnya pun bisa beragam : mulai dari talk show necis di layar kaca sampai aksi bakar-bakaran ban bekas plus adu lempar batu dan bom botol di jalanan atau ruang-ruang belajar. Pokoknya meriah dan seru deh.
Hanya sayang, segala forum protes itu akhirnya jatuh menjadi sekadar show belaka. Mereka yang terlibat di sana akhirnya ketahuan sebetulnya punya agendanya sendiri, sementara “rakyat” yang kerap mereka sebut, tertinggal entah di mana. Pun para mahasiswa kemudian terlihat hanya sok hebat dan heroik doang. Aksi-aksi mereka jatuh menjadi sekadar gerakan “premanisme jalanan”, tanpa konsep matang dan sopan santun akademik yang layak dipujikan.
Tapi barangkali itu semua wajar-wajar saja. Wajar dan jamak terjadi di sebuah republik yang menurut sebuah situs berita lokal di sini konon sembilan puluh persen dari penduduknya tengah mengidap depresi alias stress pada stadium akut.
Lalu biasanya beberapa jam sebelum harga baru BBM “diresmikan” akan terjadi drama di pompa-pompa bensin. Mendadak banyak orang jadi seperti kehilangan akal warasnya, mereka rela antre berjam-jam lamanya hanya demi mengirit beberapa rupiah. Padahal kalau mereka membelinya besok, selisih harganya tidak jauh-jauh amat. Barangkali karena kita memang sudah terkondisi hidup dalam situasi yang selalu dibayangi “ketidakpastian”, orang jadi gampang dibikin panik (dan latah) oleh sedikit saja kabar perubahan.
Ada kisah menarik pada pengumuman kenaikan harga BBM jaman dulu. Sering terjadi para petinggi yang ditugaskan mengumumkan “musibah” itu menyampaikannya kepada publik sambil sibuk cengengesan. Adalah sastrawan Bur Rasuanto yang menjadi murka melihat hal ini. Ia lantas menulis dan mengomentari kelakuan “lucu” para petinggi Orba itu sebagai bukti adanya gejala “gangguan jiwa” pada yang bersangkutan.
Para petinggi sekarang agaknya banyak belajar dari kesalahan para seniornya. Mereka biasanya akan memasang mimik wajah “sedih”, “prihatin”, atau minimal menahan diri untuk tidak cengar-cengir saat mengumumkan kabar buruk bagi orang banyak itu. Supaya pementasan paripurna, biasanya akan ada sejumlah kata permohonan maaf dan penyesalan yang mereka ucapkan pula. Tentu semua disampaikan dengan (berpura-pura) takzim dan sedih.
Yang juga berbeda dengan dulu adalah bahwa orang sekarang bisa memprotes kenaikan itu secara terbuka--kalau dulu kan paling kita hanya berani menggerutu di belakang. Model forum protesnya pun bisa beragam : mulai dari talk show necis di layar kaca sampai aksi bakar-bakaran ban bekas plus adu lempar batu dan bom botol di jalanan atau ruang-ruang belajar. Pokoknya meriah dan seru deh.
Hanya sayang, segala forum protes itu akhirnya jatuh menjadi sekadar show belaka. Mereka yang terlibat di sana akhirnya ketahuan sebetulnya punya agendanya sendiri, sementara “rakyat” yang kerap mereka sebut, tertinggal entah di mana. Pun para mahasiswa kemudian terlihat hanya sok hebat dan heroik doang. Aksi-aksi mereka jatuh menjadi sekadar gerakan “premanisme jalanan”, tanpa konsep matang dan sopan santun akademik yang layak dipujikan.
Tapi barangkali itu semua wajar-wajar saja. Wajar dan jamak terjadi di sebuah republik yang menurut sebuah situs berita lokal di sini konon sembilan puluh persen dari penduduknya tengah mengidap depresi alias stress pada stadium akut.
12 May 2008
"Tragedi Mei" Part Two?
PERISTIWA kerusuhan Mei 1998—sering disebut Tragedi Mei—genap satu dasawarsa tahun ini. Bagi saya pribadi peristiwa ngeri itu seperti baru terjadi beberapa minggu yang lalu saja. Tak mudah memang melupakannya. Dan kalau kita mau sedikit melongok di beberapa kawasan ibu kota memang masih bisa kita temukan sampai hari ini beberapa “monumen” peninggalan dari horor itu : bangunan bekas toko atau perkantoran yang dibiarkan terlantar membangkai—karena pemiliknya mungkin ikut terbakar mati, sudah kabur entah ke mana, atau jadi kere dan gila.
Pengusutan atas tragedi hitam itu sendiri tampaknya tidak akan membuahkan hasil. Belum pernah memang sebuah kejahatan politik dalam skala besar di negara ini berhasil diungkap tuntas ke publik. Peristiwa G 30 S saja sampai kini masih tetap teka-teki, apalagi kerusuhan Mei 1998 yang “baru kemarin sore”, note bene sebagian korbannya adalah mereka dari kelompok etnis China yang—sudah dari dulu--memang ditargetkan jadi “langganan” untuk sesekali dijadikan tumbal demi “memuaskan” rasa frustrasi sosial di lapisan bawah.
Alih-alih mendapatkan kejelasan, sejumlah orang malah ada yang berani berspekulasi bahwa horor seperti Mei 1998 bukan tidak mungkin bakal terulang lagi. Tapi berdasarkah ketakutan semacam itu? Secara teoritis, selama kondisi negara masih “berantakan” seperti saat ini, dan elit politisi kita tidak kunjung juga belajar berlaku dewasa dalam perilaku politiknya, maka peluang untuk terjadinya kembali kerusuhan semacam Mei 1998 selalu terbuka.
Bukankah keadaan sosial politik pra Mei 1998 dulu sedikit banyak mirip dengan situasi kita hari-hari ini? Kita lihat misalnya di mana-mana barisan orang-orang yang kehilangan pekerjaan semakin panjang, ibu-ibu pada menunggu jatah minyak tanah atau berebut beras murah di siang bolong yang terik, harga bensin sebentar lagi naik, sementara kriminalitas terus meningkat jumlah dan brutalitasnya, dan masih begitu banyak penanda lain yang sebetulnya bisa dirasakan untuk belajar memahami betapa di lapisan bawah suhu sudah begitu “panas” dan “pengap” sekali.
Masalahnya apakah “kepengapan” itu sampai juga ke ruang-ruang sejuk para politisi dan petinggi negara ini? Oh, saya sungguh tak yakin dengan itu. Jadi, timbunan kayu-kayu bakar kering untuk bahan baku meletupkan chaos sudah tersedia lebih dari cukup. Tinggal siapa sekarang yang punya bensin dan menyimpan korek apinya—dan apakah ia cukup punya nyali memulai “permainan” itu kembali. Mungkin judul lakonnya nanti Tragedi Mei Part Two, atau semacam itulah.
Tapi saya berharap, sangat berharap, ini semua hanya ketakutan berlebihan dari saya saja. Saya harap begitu.
Pengusutan atas tragedi hitam itu sendiri tampaknya tidak akan membuahkan hasil. Belum pernah memang sebuah kejahatan politik dalam skala besar di negara ini berhasil diungkap tuntas ke publik. Peristiwa G 30 S saja sampai kini masih tetap teka-teki, apalagi kerusuhan Mei 1998 yang “baru kemarin sore”, note bene sebagian korbannya adalah mereka dari kelompok etnis China yang—sudah dari dulu--memang ditargetkan jadi “langganan” untuk sesekali dijadikan tumbal demi “memuaskan” rasa frustrasi sosial di lapisan bawah.
Alih-alih mendapatkan kejelasan, sejumlah orang malah ada yang berani berspekulasi bahwa horor seperti Mei 1998 bukan tidak mungkin bakal terulang lagi. Tapi berdasarkah ketakutan semacam itu? Secara teoritis, selama kondisi negara masih “berantakan” seperti saat ini, dan elit politisi kita tidak kunjung juga belajar berlaku dewasa dalam perilaku politiknya, maka peluang untuk terjadinya kembali kerusuhan semacam Mei 1998 selalu terbuka.
Bukankah keadaan sosial politik pra Mei 1998 dulu sedikit banyak mirip dengan situasi kita hari-hari ini? Kita lihat misalnya di mana-mana barisan orang-orang yang kehilangan pekerjaan semakin panjang, ibu-ibu pada menunggu jatah minyak tanah atau berebut beras murah di siang bolong yang terik, harga bensin sebentar lagi naik, sementara kriminalitas terus meningkat jumlah dan brutalitasnya, dan masih begitu banyak penanda lain yang sebetulnya bisa dirasakan untuk belajar memahami betapa di lapisan bawah suhu sudah begitu “panas” dan “pengap” sekali.
Masalahnya apakah “kepengapan” itu sampai juga ke ruang-ruang sejuk para politisi dan petinggi negara ini? Oh, saya sungguh tak yakin dengan itu. Jadi, timbunan kayu-kayu bakar kering untuk bahan baku meletupkan chaos sudah tersedia lebih dari cukup. Tinggal siapa sekarang yang punya bensin dan menyimpan korek apinya—dan apakah ia cukup punya nyali memulai “permainan” itu kembali. Mungkin judul lakonnya nanti Tragedi Mei Part Two, atau semacam itulah.
Tapi saya berharap, sangat berharap, ini semua hanya ketakutan berlebihan dari saya saja. Saya harap begitu.
09 May 2008
Rakyat Kecil Hanya Keranjang Sampah
TADI pagi sebelum berangkat kerja saya sempat “ngintip” sebentar sebuah acara di salah satu TV swasta Mereka sedang ngomongin BBM yang hari-hari ini tengah menjadi primadona berita. Ada seorang pemirsa di Bali yang komentarnya miris sekali. Dia bilang bahwa pemerintah sebaiknya tak usahlah berlagak “populis” dengan menyodorkan macam-macam hiburan kosong untuk membenarkan pilihan mereka menaikkan harga bensin dalam waktu dekat ini.
Dia menegaskan bahwa rakyat miskin di sini sudah sangat tahan banting. Kalau tidak bisa makan nasi, mereka siap beralih menyantap nasi aking. Dan kalau misalnya nasi aking juga gagal didapat, mengunyah sampah juga oke. Rakyat miskin kita, katanya, sangat sekali penuh pengertian, jadi pemerintah tidak usahlah rikuh. Prinsip hidup mereka simpel sekali : diberi ya diterima, tidak diberi ya nggak apa-apa. Itulah rakyat miskin, mirip keranjang sampah belaka.Hanya menunggu. Pasrah. Dilempar berlian diterima, dijejali kotoran ya nggak bisa menolak.
Komentar-komentar jujur dan pahit ini mungkin tak pernah sampai ke kuping pemerintah, atau para “siswa-siswi TK” di Senayan. Kalau pun sampai sepertinya tak akan berdampak apa-apa. Tentang ini rakyat miskin juga sudah pada tahu. Mereka juga tidak akan meminta yang tak mungkin dari petinggi-petinggi terhormat itu. Mereka sangat paham kok bahwa yang di atas itu sudah pada budek semua nuraninya.
Dia menegaskan bahwa rakyat miskin di sini sudah sangat tahan banting. Kalau tidak bisa makan nasi, mereka siap beralih menyantap nasi aking. Dan kalau misalnya nasi aking juga gagal didapat, mengunyah sampah juga oke. Rakyat miskin kita, katanya, sangat sekali penuh pengertian, jadi pemerintah tidak usahlah rikuh. Prinsip hidup mereka simpel sekali : diberi ya diterima, tidak diberi ya nggak apa-apa. Itulah rakyat miskin, mirip keranjang sampah belaka.Hanya menunggu. Pasrah. Dilempar berlian diterima, dijejali kotoran ya nggak bisa menolak.
Komentar-komentar jujur dan pahit ini mungkin tak pernah sampai ke kuping pemerintah, atau para “siswa-siswi TK” di Senayan. Kalau pun sampai sepertinya tak akan berdampak apa-apa. Tentang ini rakyat miskin juga sudah pada tahu. Mereka juga tidak akan meminta yang tak mungkin dari petinggi-petinggi terhormat itu. Mereka sangat paham kok bahwa yang di atas itu sudah pada budek semua nuraninya.
06 May 2008
BBM Naik : Menuju "Separuh Kiamat"?
KABAR bakal segera naiknya harga BBM semakin santer. Presiden malah bilang pada level saat ini masalahnya bukan lagi “naik atau tidak”, melainkan “berapa naik”nya (Koran Tempo, 6 Mei 2008). Saya bukan ekonom, pun “buta huruf” soal ilmu ekonomi. Saya tak paham hitungan orang-orang pintar di atas sana yang menyimpulkan bahwa, dalam kondisi seperti sekarang ini, katanya, tidak menaikkan harga BBM malah akan mencemplungkan bangsa ini ke dalam jurang. Saya, sekali lagi, terlalu pandir untuk bisa memahami logika luhur itu.
Yang saya pahami sungguh teramat sederhana, bahwa kalau BBM harganya dinaikkan maka yang lain-lainnya otomatis harganya harus naik juga—kecuali gaji saya (karena menaikkan gaji bagi majikan hukumnya sunnah, bukan wajib). Dan itulah masalahnya. Anggaran belanja yang sudah mepet selama ini harus lebih dipepetkan lagi. Menu sarapan dan makan siang kudu diatur ulang. Mungkin perlu dipikirkan pula model langkah penghematan ekstra. Misalnya, Senin dan Kamis ditetapkan sebagai hari puasa, yah minimal puasa makan siang.
Ritual kunjungan ke warnet terpaksa dikurangi. Kalau biasanya bisa sampai 3 jam, nanti mungkin cukup maksimal 1 jam—dan cukup seminggu sekali. Satu jam itu harus bisa dimanfaatkan betul : memeriksa dan membuka email, mengecek kondisi blog sendiri, posting (naskahnya harus sudah siap, dibuat di kantor dengan cara curi-curi kesempatan, jadi tinggal copy paste). Sisa waktu baru dipakai blog walking dan browsing sekadarnya. Beruntunglah selama ini saya tak suka ber-chatting ria, jadi pengurangan waktu ini tak masalah.
Ini baru kalkulasi bodoh yang saya bikin untuk saya sendiri, dan hanya untuk beberapa hal yang kebetulan saya ingat saat menulis ini. Belum sempat saya pikirkan bagaimana nanti dengan beban belanja keluarga, biaya sekolah anak-anak, dan macam-macam lagi. Lebih tak terpikirkan lagi bagaimana gerangan saudara-saudara dan teman-teman saya yang “kebetulan” anggaran hidupnya lebih payah lagi dari saya harus menyiasati semua ini. Hampir bisa dipastikan tingkat kriminalitas akan tambah melonjak. Barisan orang stres dan gila akan makin panjang. Dan bunuh diri akan semakin menjadi “pilihan menarik” bagi sejumlah orang. Sungguh, saya jadi merasa tambah pandir saja membayangkan semua kemungkinan seram itu.
Yang juga segera terbayang di kepala saya adalah bahwa akan semakin tak pastilah nasib naskah buku puisi saya untuk bisa diterbitkan. Sejauh ini sudah 3 penerbit (salah satunya penerbit kakap) yang menolak naskah itu. Alasannya seragam dan sangat klasik : buku puisi susah lakunya. Maka ditambah dengan naiknya harga BBM (sesudah sebelumnya didahului kenaikan harga kertas) yang tentu berdampak langsung pada biaya produksi, akan samakin karamlah mimpi saya untuk bisa memiliki buku. Dalam situasi “separuh kiamat” ini tentu saja akan terasa lucu meributkan nasib sebuah naskah puisi dari seorang penulis tanggung yang kurang dikenal. Semua orang akan segera direpotkan dengan urusan mencari sekoci penyelamatnya masing-masing, bukan?
Yang saya pahami sungguh teramat sederhana, bahwa kalau BBM harganya dinaikkan maka yang lain-lainnya otomatis harganya harus naik juga—kecuali gaji saya (karena menaikkan gaji bagi majikan hukumnya sunnah, bukan wajib). Dan itulah masalahnya. Anggaran belanja yang sudah mepet selama ini harus lebih dipepetkan lagi. Menu sarapan dan makan siang kudu diatur ulang. Mungkin perlu dipikirkan pula model langkah penghematan ekstra. Misalnya, Senin dan Kamis ditetapkan sebagai hari puasa, yah minimal puasa makan siang.
Ritual kunjungan ke warnet terpaksa dikurangi. Kalau biasanya bisa sampai 3 jam, nanti mungkin cukup maksimal 1 jam—dan cukup seminggu sekali. Satu jam itu harus bisa dimanfaatkan betul : memeriksa dan membuka email, mengecek kondisi blog sendiri, posting (naskahnya harus sudah siap, dibuat di kantor dengan cara curi-curi kesempatan, jadi tinggal copy paste). Sisa waktu baru dipakai blog walking dan browsing sekadarnya. Beruntunglah selama ini saya tak suka ber-chatting ria, jadi pengurangan waktu ini tak masalah.
Ini baru kalkulasi bodoh yang saya bikin untuk saya sendiri, dan hanya untuk beberapa hal yang kebetulan saya ingat saat menulis ini. Belum sempat saya pikirkan bagaimana nanti dengan beban belanja keluarga, biaya sekolah anak-anak, dan macam-macam lagi. Lebih tak terpikirkan lagi bagaimana gerangan saudara-saudara dan teman-teman saya yang “kebetulan” anggaran hidupnya lebih payah lagi dari saya harus menyiasati semua ini. Hampir bisa dipastikan tingkat kriminalitas akan tambah melonjak. Barisan orang stres dan gila akan makin panjang. Dan bunuh diri akan semakin menjadi “pilihan menarik” bagi sejumlah orang. Sungguh, saya jadi merasa tambah pandir saja membayangkan semua kemungkinan seram itu.
Yang juga segera terbayang di kepala saya adalah bahwa akan semakin tak pastilah nasib naskah buku puisi saya untuk bisa diterbitkan. Sejauh ini sudah 3 penerbit (salah satunya penerbit kakap) yang menolak naskah itu. Alasannya seragam dan sangat klasik : buku puisi susah lakunya. Maka ditambah dengan naiknya harga BBM (sesudah sebelumnya didahului kenaikan harga kertas) yang tentu berdampak langsung pada biaya produksi, akan samakin karamlah mimpi saya untuk bisa memiliki buku. Dalam situasi “separuh kiamat” ini tentu saja akan terasa lucu meributkan nasib sebuah naskah puisi dari seorang penulis tanggung yang kurang dikenal. Semua orang akan segera direpotkan dengan urusan mencari sekoci penyelamatnya masing-masing, bukan?
24 April 2008
Bila Blogger "Berpoligami"
MESKIPUN ada hukum agama tertentu yang mengijinkannya, dalam prakteknya berpoligami ternyata memang merepotkan. Konon laku berpoligami itu akan oke-oke saja sepanjang pelakunya bisa berlaku adil dalam membagi perhatian dan membagi “lain-lain”nya kepada pasangan poligaminya. Tapi justru itulah sumber keruwetannya : “berbagi” dengan adil itu nonsens faktanya.
Agaknya hukum poligami dalam perilaku beragama juga berlaku dalam urusan ngeblog. Artinya kita tidak pernah dilarang punya lebih dari satu blog. Mau punya seratus blog juga silakan saja. Tapi masalahnya kemudian, bagaimana lalu anda mengatur waktu dan membagi-bagi “kasih sayang” anda kepada blog-blog itu? Bisakah anda berlaku adil dan tidak berat sebelah sehingga tidak ada blog anda yang merasa “terzalimi”—sehingga lalu merana, dan akhirnya mati kesepian?
Begitulah, seperti lazimnya “blogger yang normal” dan merasa “masih perkasa” saya tidak tahan juga untuk tidak “berpoligami”. Tidak puas hanya “mengawini” satu blog, sudah hampir setahun ini saya memaksakan diri hidup seiring semati dengan dua blog sekaligus. Awalnya kehidupan “poligami” saya berjalan beres-beres saja. Tapi kemudian ternyata saya mulai suka mencong dan plintat-plintut dengan salah satu blog saya.
Tidak bisa saya pungkiri ternyata saya lebih sayang kepada blog sastra saya, ketimbang blog gado-gado saya yang ini. Mau bilang apa, diputar-putar ke manapun itulah faktanya. Blog sastra saya ternyata lebih sering saya “nafkahi”, minimal seminggu dua kali, malah kadang kalau lagi ngebet kami malah bisa “bercintaan” saban hari. Sementara blog gado-gado [Ruang Samping] ini hanya sesekali saja saya jamah dan belai.
Sebetulnya saya masih cinta sama blog gado-gado saya ini. Masalahnya sampai saat ini saya belum punya “kendaraan” (alias komputer) sendiri. Jadi kalau mau menengokinya saya terpaksa naik “kendaraan umum” (maksudnya warnet). Itu sangat melelahkan dan tidak praktis. Sering terjadi mendadak pada tengah malam yang sepi dan dingin saya ngebet dan kepingin sekali “mengencaninya”, tapi karena ketiadaan sarana saya hanya bisa menahan “gejolak” saya itu.diam-diam, sampai akhirnya padam sendiri.
Tapi saya belum berpikir untuk meninggalkan apalagi menceraikannya. Seperti saya katakan di atas, sebetulnya saya masih sayang sama “dia”, hanya keadaanlah yang memaksa kami jadi jarang bisa ketemu. Lagi pula “dia” tampaknya cukup mengerti kok dengan keadaan saya yang hanya pegawai rendahan dengan gaji pas-pasan ini. Dan yang paling penting dia sama sekali tak keberatan saya “madu”. Jadi tidak ada masalah kan?
Agaknya hukum poligami dalam perilaku beragama juga berlaku dalam urusan ngeblog. Artinya kita tidak pernah dilarang punya lebih dari satu blog. Mau punya seratus blog juga silakan saja. Tapi masalahnya kemudian, bagaimana lalu anda mengatur waktu dan membagi-bagi “kasih sayang” anda kepada blog-blog itu? Bisakah anda berlaku adil dan tidak berat sebelah sehingga tidak ada blog anda yang merasa “terzalimi”—sehingga lalu merana, dan akhirnya mati kesepian?
Begitulah, seperti lazimnya “blogger yang normal” dan merasa “masih perkasa” saya tidak tahan juga untuk tidak “berpoligami”. Tidak puas hanya “mengawini” satu blog, sudah hampir setahun ini saya memaksakan diri hidup seiring semati dengan dua blog sekaligus. Awalnya kehidupan “poligami” saya berjalan beres-beres saja. Tapi kemudian ternyata saya mulai suka mencong dan plintat-plintut dengan salah satu blog saya.
Tidak bisa saya pungkiri ternyata saya lebih sayang kepada blog sastra saya, ketimbang blog gado-gado saya yang ini. Mau bilang apa, diputar-putar ke manapun itulah faktanya. Blog sastra saya ternyata lebih sering saya “nafkahi”, minimal seminggu dua kali, malah kadang kalau lagi ngebet kami malah bisa “bercintaan” saban hari. Sementara blog gado-gado [Ruang Samping] ini hanya sesekali saja saya jamah dan belai.
Sebetulnya saya masih cinta sama blog gado-gado saya ini. Masalahnya sampai saat ini saya belum punya “kendaraan” (alias komputer) sendiri. Jadi kalau mau menengokinya saya terpaksa naik “kendaraan umum” (maksudnya warnet). Itu sangat melelahkan dan tidak praktis. Sering terjadi mendadak pada tengah malam yang sepi dan dingin saya ngebet dan kepingin sekali “mengencaninya”, tapi karena ketiadaan sarana saya hanya bisa menahan “gejolak” saya itu.diam-diam, sampai akhirnya padam sendiri.
Tapi saya belum berpikir untuk meninggalkan apalagi menceraikannya. Seperti saya katakan di atas, sebetulnya saya masih sayang sama “dia”, hanya keadaanlah yang memaksa kami jadi jarang bisa ketemu. Lagi pula “dia” tampaknya cukup mengerti kok dengan keadaan saya yang hanya pegawai rendahan dengan gaji pas-pasan ini. Dan yang paling penting dia sama sekali tak keberatan saya “madu”. Jadi tidak ada masalah kan?
17 April 2008
Dewi Persik : Korban Sikap Munafik Kita
GONJANG-ganjing seputar “goyang gergaji” penyanyi dangdut Dewi Persik, yang kemudian berbuntut pada pencekalan atas penyanyi itu di wilayah Tangerang dan Bandung, adalah sebuah lagu lama. Bangsa ini dikenal munafik dalam banyak perkara—juga dalam urusan “goyang bergoyang” ini. Kita misalnya sering mengaku “anti pornografi”, tapi lihatlah berita-berita perkosaan ditampilkan dengan begitu vulgar di halaman-halaman koran, sampai hampir mirip novel stensilan, dan kita pun menyantapnya dengan lahap.
Masih ingat kasus pembunuhan seorang dara bernama Christine beberapa tahun lalu? Koran-koran dengan tangkasnya menelanjangi figur wanita yang ternyata sebelum dihabisi sudah sering “digarap” oleh pamannya sendiri itu. Mereka bahkan menjelajah sampai ke wilayah yang sangat pribadi. Misalnya saja perihal perilaku seksual Christine yang dianggap menyimpang tak ketinggalan dibahas juga. Saya masih ingat misalnya, sebuah koran besar (dan terhormat) di sini merasa perlu berkisah perihal ukuran liang dubur Christine yang dianggap “tidak lazim”—sebagai “bukti” bahwa almarhumah memang punya perilaku seksual tidak biasa.
Sedemikian rinci dan “tuntas” koran-koran membeberkan kasus ini sehingga rasanya tidak keliru kalau kita simpulkan bahwa Christine mengalami pembunuhan dua kali : pertama, dibunuh pamannya sendiri, dan kedua, dihabisi oleh media. Dan itulah sebetulnya wajah kita yang asli seaslinya dalam urusan beginian.
Dewi Persik (dulu ada Inul, dan entah siapa lagi) hanya korban dari sikap hipokrit kita. Kebetulan juga ini sudah dekat Pemilu, kebetulan juga di sana-sini lagi ada musim Pilkada, kebetulan juga ada politisi anu, atau pejabat itu, yang baru saja terpilih tapi merasa masih “utang setoran” kepada orang-orang di kampungnya; singkatnya ini memang lagi waktunya buat politisi “cari muka”, maka dicarilah korban. Dan yang apes kali ini Dewi Persik.
Tapi kalau kita mau berpikir dengan “teori dagang”, segala keributan ini sebetulnya malah berdampak bagus buat sang penyanyi. Ini sungguh promosi gratis yang luar biasa, bukan? Dulu Inul juga “dikerjain”, tapi ujung-ujungnya malah tambah “ngebor” karirnya. Maka kalau Dewi Persik hari ini dapat giliran “dikerjain”, percayalah besok dan lusa ia akan semakin “menggergaji” kita. Sampai di sini jelas sudah, “siapa mengerjai siapa” sebetulnya. Bravo “goyang gergaji”!
Masih ingat kasus pembunuhan seorang dara bernama Christine beberapa tahun lalu? Koran-koran dengan tangkasnya menelanjangi figur wanita yang ternyata sebelum dihabisi sudah sering “digarap” oleh pamannya sendiri itu. Mereka bahkan menjelajah sampai ke wilayah yang sangat pribadi. Misalnya saja perihal perilaku seksual Christine yang dianggap menyimpang tak ketinggalan dibahas juga. Saya masih ingat misalnya, sebuah koran besar (dan terhormat) di sini merasa perlu berkisah perihal ukuran liang dubur Christine yang dianggap “tidak lazim”—sebagai “bukti” bahwa almarhumah memang punya perilaku seksual tidak biasa.
Sedemikian rinci dan “tuntas” koran-koran membeberkan kasus ini sehingga rasanya tidak keliru kalau kita simpulkan bahwa Christine mengalami pembunuhan dua kali : pertama, dibunuh pamannya sendiri, dan kedua, dihabisi oleh media. Dan itulah sebetulnya wajah kita yang asli seaslinya dalam urusan beginian.
Dewi Persik (dulu ada Inul, dan entah siapa lagi) hanya korban dari sikap hipokrit kita. Kebetulan juga ini sudah dekat Pemilu, kebetulan juga di sana-sini lagi ada musim Pilkada, kebetulan juga ada politisi anu, atau pejabat itu, yang baru saja terpilih tapi merasa masih “utang setoran” kepada orang-orang di kampungnya; singkatnya ini memang lagi waktunya buat politisi “cari muka”, maka dicarilah korban. Dan yang apes kali ini Dewi Persik.
Tapi kalau kita mau berpikir dengan “teori dagang”, segala keributan ini sebetulnya malah berdampak bagus buat sang penyanyi. Ini sungguh promosi gratis yang luar biasa, bukan? Dulu Inul juga “dikerjain”, tapi ujung-ujungnya malah tambah “ngebor” karirnya. Maka kalau Dewi Persik hari ini dapat giliran “dikerjain”, percayalah besok dan lusa ia akan semakin “menggergaji” kita. Sampai di sini jelas sudah, “siapa mengerjai siapa” sebetulnya. Bravo “goyang gergaji”!
11 April 2008
Susahnya Mengajak Teman Ngeblog
SAYA punya teman yang salah satu kesenangannya adalah membagi-bagikan cerita bernuansa relijius lewat internet. Tapi ia tak melakukannya lewat situs atau blog, melainkan dengan mengirimkannya lewat surat elektronik. Ia menganggap media surat elektronik sudah cukup ideal untuk memenuhi kesenangannya itu. Surat elektronik itu bersifat personal, jadi si penerima, kata teman saya ini, akan merasa diperlakukan juga dengan personal.
Berulang kali saya katakan bahwa “misi”nya berbagi hal-hal relijius itu akan lebih efektif kalau menggunakan media blog—dan bukan surat elektronik. Blog jangkauannya lebih luas dan jauh, bersifat massal dan tidak personal. Cerita-ceritamu yang bagus itu, kata saya, mungkin nanti akan terbaca oleh “entah siapa” yang tinggal “entah di mana” yang diam-diam jauh lebih membutuhkannya ketimbang orang atau teman yang sengaja kau kirimi ceritamu itu.
Lagi pula, kata saya, bagi banyak orang mengakses halaman situs jauh lebih mudah dan menyenangkan ketimbang membuka inbox pada surat elektronik yang harus melewati beberapa tahapan—belum lagi kalau pas akses internetnya payah. Makanya ada banyak orang yang malas membuka kotak suratnya. Jadi, kata saya, bisa saja pesanmu itu akhirnya tidak dibaca oleh mereka yang sengaja kau kirimi surat.
Saya yakinkan juga bahwa membuat situs pribadi tidak sulit. Saya pinjami dia beberapa buku panduan membuat blog sendiri—dan saya menawarkan diri membantunya, kalau ia mengalami kesulitan. Sepertinya dia mulai tertarik, tapi sesudah sempat ngendon beberapa bulan dalam lacinya, buku-buku itu akhirnya dikembalikan, dan ia tak kunjung juga membuat blog.
Ia bilang bahwa situs atau blog “relijius” sudah banyak, jadi, katanya buat apa saya musti menambah-nambahi lagi. Ia juga suka jengkel karena sering menemukan blog yang “sok relijius” dan “sok pintar”. Maka kata saya, itulah celah yang bisa kau isi : buatlah blog relijius yang tidak sok relijius dan tidak pula sok pintar—tapi yang tulus mau share hal-hal relijius untuk membuat orang jadi teduh. Ia hanya menggeleng mendengar argumen itu.
Ia pernah pula bertanya apa yang saya dapatkan dari kegiatan ngeblog. Saya katakan padanya, tak ada—selain kepuasan batin karena tulisan saya dibaca orang lain, dan (kadang-kadang) dikomentari. Ia tertawa mendengar jawaban itu, mungkin karena jawaban saya baginya terasa lucu, atau ganjil.Yang pasti ia masih belum juga membuat blog, dan masih rajin mengirimkan cerita-ceritanya lewat surat elektronik. Kadang-kadang saja saya membuka dan membacanya.
Berulang kali saya katakan bahwa “misi”nya berbagi hal-hal relijius itu akan lebih efektif kalau menggunakan media blog—dan bukan surat elektronik. Blog jangkauannya lebih luas dan jauh, bersifat massal dan tidak personal. Cerita-ceritamu yang bagus itu, kata saya, mungkin nanti akan terbaca oleh “entah siapa” yang tinggal “entah di mana” yang diam-diam jauh lebih membutuhkannya ketimbang orang atau teman yang sengaja kau kirimi ceritamu itu.
Lagi pula, kata saya, bagi banyak orang mengakses halaman situs jauh lebih mudah dan menyenangkan ketimbang membuka inbox pada surat elektronik yang harus melewati beberapa tahapan—belum lagi kalau pas akses internetnya payah. Makanya ada banyak orang yang malas membuka kotak suratnya. Jadi, kata saya, bisa saja pesanmu itu akhirnya tidak dibaca oleh mereka yang sengaja kau kirimi surat.
Saya yakinkan juga bahwa membuat situs pribadi tidak sulit. Saya pinjami dia beberapa buku panduan membuat blog sendiri—dan saya menawarkan diri membantunya, kalau ia mengalami kesulitan. Sepertinya dia mulai tertarik, tapi sesudah sempat ngendon beberapa bulan dalam lacinya, buku-buku itu akhirnya dikembalikan, dan ia tak kunjung juga membuat blog.
Ia bilang bahwa situs atau blog “relijius” sudah banyak, jadi, katanya buat apa saya musti menambah-nambahi lagi. Ia juga suka jengkel karena sering menemukan blog yang “sok relijius” dan “sok pintar”. Maka kata saya, itulah celah yang bisa kau isi : buatlah blog relijius yang tidak sok relijius dan tidak pula sok pintar—tapi yang tulus mau share hal-hal relijius untuk membuat orang jadi teduh. Ia hanya menggeleng mendengar argumen itu.
Ia pernah pula bertanya apa yang saya dapatkan dari kegiatan ngeblog. Saya katakan padanya, tak ada—selain kepuasan batin karena tulisan saya dibaca orang lain, dan (kadang-kadang) dikomentari. Ia tertawa mendengar jawaban itu, mungkin karena jawaban saya baginya terasa lucu, atau ganjil.Yang pasti ia masih belum juga membuat blog, dan masih rajin mengirimkan cerita-ceritanya lewat surat elektronik. Kadang-kadang saja saya membuka dan membacanya.
09 April 2008
Ulang Tahun, Kaus Kaki, Celana Dalam
SAYA termasuk orang yang tak begitu memusingkan ritual hari ulang tahun. Ulang tahun memang hari yang spesial, tapi saya tak ingin mengindentikkan hari itu dengan hari pesta umpamanya. Bagi saya ulang tahun adalah waktu yang lebih pas dipakai untuk merenung. Misalnya, cobalah anda bertanya sudah “berapa ton nasi yang anda telan sejak anda mbrojol di dunia ini”, atau pernakah anda menghitung “sudah berapa ribu liter air yang anda tenggak selama ini”. Atau lakukan hal-hal “gila” lain yang tidak sekedar berdimensi perut belaka.
Dulu waktu masih bujangan saya punya ritual sedikit khusus untuk merayakan hari ulang tahun. Pada hari yang “spesial” itu saya pasti tak masuk kerja. Kadang ijin baik-baik, sering juga bolos begitu saja. Seharian itu saya menghabiskan waktu untuk keluyuran sendirian berkeliling Jakarta dengan bus kota. Kadang saya berhenti di sebuah terminal, mengamati dengan takzim segala kesibukan di sana. Atau saya singgah di tempat-tempat lain, yang sudah lama (atau mendadak) kepingin saya kunjungi.
Bahasa “tinggi”nya saya mencoba berefleksi dengan hidup saya--dengan cara mencoba melihat hal-hal keseharian dari sudut pandang yang saya usahakan lain. Saya mencoba mengambil angle yang “tak biasa”. Singkatnya, hari itu saya kepingin bebas, berada di luar kungkungan sistem dan beban rutinitas yang saban hari “membunuh” saya. Hari ulang tahun adalah kesempatan saya merayakan “kemerdekaan”.Mencoba menjadi “bayi” kembali.
Untunglah istri dan kedua anak saya sekarang juga agak sependapat dengan cara saya dalam memandang urusan ini. Mereka sepakat bahwa hari ulang tahun memang “harus dibedakan” dengan hari biasa, tapi membedakannya tidak musti dengan cara bikin acara “makan-makan”. Banyak cara membuat hari yang spesial itu menjadi paling tidak terasa “sedikit beda” dengan hari lainnya.
Waktu ulang tahun saya kemarin dulu misalnya, anak saya membuatkan saya puisi, doa supaya sukses, bahagia, panjang umur, dan harapan supaya buku puisi saya diterima—saat ini saya memang tengah “berjuang” menawarkan naskah puisi saya ke penerbit, dan hasilnya masih tak jelas. Semua mereka tulis dengan sungguh-sungguh dan tulus di atas kertas buku biasa, dengan pensil biasa, tapi bagi saya justru terasa begitu manis, mengharukan—dan karenanya jadi tak biasa.
Masih ada tambahannya. Daniel (6), anak saya yang kedua, membelikan saya kaus kaki--dia tahu agaknya saya seorang “pejalan”, dan karenanya butuh kaus kaki, selain juga sepatu yang kuat. Sedang Frida (8), anak pertama saya, membelikan saya sebuah celana dalam—ah dia begitu peduli pada “kemelaratan” saya rupanya, dan tak rela kalau bapaknya sampai mendapat malu karena tak bercelana.
Sayang, celana dalam itu agak kebesaran ukurannya. Tapi tak mengapa. Yang penting sebuah usaha membuat hari ulang tahun menjadi “beda” telah coba mereka lakukan. Meskipun dengan cara yang sangat sederhana.
Dulu waktu masih bujangan saya punya ritual sedikit khusus untuk merayakan hari ulang tahun. Pada hari yang “spesial” itu saya pasti tak masuk kerja. Kadang ijin baik-baik, sering juga bolos begitu saja. Seharian itu saya menghabiskan waktu untuk keluyuran sendirian berkeliling Jakarta dengan bus kota. Kadang saya berhenti di sebuah terminal, mengamati dengan takzim segala kesibukan di sana. Atau saya singgah di tempat-tempat lain, yang sudah lama (atau mendadak) kepingin saya kunjungi.
Bahasa “tinggi”nya saya mencoba berefleksi dengan hidup saya--dengan cara mencoba melihat hal-hal keseharian dari sudut pandang yang saya usahakan lain. Saya mencoba mengambil angle yang “tak biasa”. Singkatnya, hari itu saya kepingin bebas, berada di luar kungkungan sistem dan beban rutinitas yang saban hari “membunuh” saya. Hari ulang tahun adalah kesempatan saya merayakan “kemerdekaan”.Mencoba menjadi “bayi” kembali.
Untunglah istri dan kedua anak saya sekarang juga agak sependapat dengan cara saya dalam memandang urusan ini. Mereka sepakat bahwa hari ulang tahun memang “harus dibedakan” dengan hari biasa, tapi membedakannya tidak musti dengan cara bikin acara “makan-makan”. Banyak cara membuat hari yang spesial itu menjadi paling tidak terasa “sedikit beda” dengan hari lainnya.
Waktu ulang tahun saya kemarin dulu misalnya, anak saya membuatkan saya puisi, doa supaya sukses, bahagia, panjang umur, dan harapan supaya buku puisi saya diterima—saat ini saya memang tengah “berjuang” menawarkan naskah puisi saya ke penerbit, dan hasilnya masih tak jelas. Semua mereka tulis dengan sungguh-sungguh dan tulus di atas kertas buku biasa, dengan pensil biasa, tapi bagi saya justru terasa begitu manis, mengharukan—dan karenanya jadi tak biasa.
Masih ada tambahannya. Daniel (6), anak saya yang kedua, membelikan saya kaus kaki--dia tahu agaknya saya seorang “pejalan”, dan karenanya butuh kaus kaki, selain juga sepatu yang kuat. Sedang Frida (8), anak pertama saya, membelikan saya sebuah celana dalam—ah dia begitu peduli pada “kemelaratan” saya rupanya, dan tak rela kalau bapaknya sampai mendapat malu karena tak bercelana.
Sayang, celana dalam itu agak kebesaran ukurannya. Tapi tak mengapa. Yang penting sebuah usaha membuat hari ulang tahun menjadi “beda” telah coba mereka lakukan. Meskipun dengan cara yang sangat sederhana.
06 April 2008
Tjerita Silat : Pilih OKT atau Gan KL?
NAMA besar memang bisa mengecoh. Begitulah baru-baru ini saya merasa terkecoh oleh nama besar Gan KL. Anda penggila tjerita silat Cina jaman dulu (bukan yang Kho Ping Hoo lho) pasti sudah kenal nama ini. Beliaulah—bersama-sama OKT, Gan KH, SD Liong—empu penerjemah (lebih tepat penyadur) cerita silat dari “seberang” yang banyak digilai di sini pada masanya.
Belakangan ini, sesudah lama “koma”, tjerita silat seperti mendapat nyawa kembali. Muncul usaha untuk menerbitkan ulang sejumlah besar judul yang dulu pada zamannya menjadi barang yang banyak diburu. Selain karya-karya OKT, buku-buku Gan KL juga kebagian giliran diterbitkan ulang.
Tapi rupanya ada beda strategi antara penerbitan buku-buku Gan KL dan OKT. Buku-buku OKT dijajakan ulang dengan tetap mempertahankan bahasa aslinya. Semua elemen yang menempel pada buku aslinya tetap dijaga. Malahan ada yang diterbitkan masih dalam ejaan lama. Rupanya memang ada usaha untuk betul-betul menghadirkan kembali atmosfir “jaman dulu” ke situasi hari ini.
Tidak demikian Gan KL. Kecuali gambar sampul, buku-bukunya mengalami edit ulang bahasa yang cukup radikal. Binarto Gani, sang putera Gan KL, yang merintis usaha cetak ulang itu rupanya punya kalkulasi lain. Dia agaknya berpendapat bahwa atmosfir jaman baheula tjerita silat itu pasti tidak akan cocok untuk dibaca generasi hari ini. Maka perlu ada penyesuaian suasana lewat penggunaan gaya bahasa yang diyakini klop dengan suasana sekarang.
Tentu saja itu sah dan baik saja. Hanya bagi saya—yang memang asli produk jadul—buku-buku Gan KL yang “baru” jadi terasa tidak menyengat lagi. Saya membaca Pendekar-Pendekar Negeri Tayli misalnya, dan saya begitu kecewa dan akhirnya sesudah mencapai jilid 11 saya putuskan untuk berhenti membacanya. Padahal masih ada 2 jilid lagi yang sudah kadung saya beli--dan ceritanya sendiri sepertinya memang masih akan cukup panjang.
Baiklah, ini akhirnya memang masalah selera dan rasa belaka. Saya pun tak ingin mengecilkan usaha Binarto Gani untuk membuat tjerita silat bisa diterima oleh pembaca dari generasi baru. Hanya saya jadi tahu, bahwa saya harus berpaling ke buku-buku OKT guna memuaskan dahaga saya pada buku-buku “antik” ini. Sedang Gan KL versi baru apa boleh buat agaknya memang ditakdirkan bukan untuk saya.
Belakangan ini, sesudah lama “koma”, tjerita silat seperti mendapat nyawa kembali. Muncul usaha untuk menerbitkan ulang sejumlah besar judul yang dulu pada zamannya menjadi barang yang banyak diburu. Selain karya-karya OKT, buku-buku Gan KL juga kebagian giliran diterbitkan ulang.
Tapi rupanya ada beda strategi antara penerbitan buku-buku Gan KL dan OKT. Buku-buku OKT dijajakan ulang dengan tetap mempertahankan bahasa aslinya. Semua elemen yang menempel pada buku aslinya tetap dijaga. Malahan ada yang diterbitkan masih dalam ejaan lama. Rupanya memang ada usaha untuk betul-betul menghadirkan kembali atmosfir “jaman dulu” ke situasi hari ini.
Tidak demikian Gan KL. Kecuali gambar sampul, buku-bukunya mengalami edit ulang bahasa yang cukup radikal. Binarto Gani, sang putera Gan KL, yang merintis usaha cetak ulang itu rupanya punya kalkulasi lain. Dia agaknya berpendapat bahwa atmosfir jaman baheula tjerita silat itu pasti tidak akan cocok untuk dibaca generasi hari ini. Maka perlu ada penyesuaian suasana lewat penggunaan gaya bahasa yang diyakini klop dengan suasana sekarang.
Tentu saja itu sah dan baik saja. Hanya bagi saya—yang memang asli produk jadul—buku-buku Gan KL yang “baru” jadi terasa tidak menyengat lagi. Saya membaca Pendekar-Pendekar Negeri Tayli misalnya, dan saya begitu kecewa dan akhirnya sesudah mencapai jilid 11 saya putuskan untuk berhenti membacanya. Padahal masih ada 2 jilid lagi yang sudah kadung saya beli--dan ceritanya sendiri sepertinya memang masih akan cukup panjang.
Baiklah, ini akhirnya memang masalah selera dan rasa belaka. Saya pun tak ingin mengecilkan usaha Binarto Gani untuk membuat tjerita silat bisa diterima oleh pembaca dari generasi baru. Hanya saya jadi tahu, bahwa saya harus berpaling ke buku-buku OKT guna memuaskan dahaga saya pada buku-buku “antik” ini. Sedang Gan KL versi baru apa boleh buat agaknya memang ditakdirkan bukan untuk saya.
01 April 2008
Islam Kok Seram Ya?
SUDAH lama saya diusik tanya ini. Terakhir, gara-gara heboh film, Fitna, rasa terusik saya makin bertambah. Kenapa Islam kok kesannya serem ya? Gampang marah, cepat main ancam, sigap main boikot, dan kalau diperlukan, tangkas juga main serbu, main rusak, diteruskan dengan main bakar ini dan itu, dan lain sebagainya. Saya datang dari latar belakang bukan muslim, jadi maaf kalau saya tak begitu paham dengan semua fenomena itu.
Saya suka bertanya, apakah memang Islam sejatinya mengajar untuk cepat marah dan main hantam begitu, atau ini masalah tafsir belaka? Saya sering berusaha meyakin-yakinkan diri bahwa ini hanya soal tafsir barangkali. Saya katakan kepada diri saya, Islam yang sejati pastilah berwajah sejuk, meski bukan berarti lembek dan mandah saja diperlakukan berat sebelah. Sejauh yang pernah saya dengar dan baca, Rasulullah adalah sosok penyejuk seperti itu.
Maka saya suka pada figur damai dan moderat seperti Gus Dur, Nurcholis Majid, Emha Ainun Najib, Ulil Abshar Abdalla, dan beberapa lainnya. Adakah mereka representasi yang paling mewakili Islam? Oh pasti banyak yang tidak setuju dengan pikiran itu. Bukankah pada masanya dulu almarhum Nurcholis Majid pun dianggap “murtad” karena gagasan sekularisasinya?
Ulil Abshar Abdalla malah pernah ditafwa mati oleh sejumlah ulama Islam di sini, karena pikiran dan omongan-omongannya dianggap ngawur dan menyesatkan. Emha? Ia pun saya kira bukan tokoh yang disukai oleh banyak ulama karena pikiran-pikirannya yang cenderung “nyeni”. Lalu Gus Dur. Ah kita sudah tahu ia banyak “mengoleksi” musuh justru dari kelompok muslim, dan malah meraih simpati dari kelompok yang non muslim.
Di luar nama-nama yang dituduh “liberal” itu kita bisa menemukan barisan muslim yang lain. Sebagian dari mereka menduduki posisi-posisi penting dalam organisasi Islam yang “menentukan” di sini. Mereka, dengan atau minus sorban Arabnya, umumnya berwajah “tunggal” : mematok harga mati untuk banyak hal.
Tapi kadang saya mendapat kesan kelompok “keras” ini menampilkan wajah yang mendua. Misalnya, mereka suka mengeluarkan imbauan agar umat tidak “terpancing”, atau berapologi bahwa Islam menolak kekerasan, tapi mereka cenderung membiarkan kalau kekerasan itu kemudian sungguh terjadi. Setahu saya, MUI umpamanya, tidak pernah mengeluarkan semacam teguran (apalagi dampratan) kepada aksi-aksi anarkistis sepihak yang kerap dipamerkan oleh kelompok Front Pembela Islam.
Ini membingungkan saya. Sebetulnya mereka (MUI) setuju atau tidak pada aksi premanisme ala FPI itu? Saya, sekali lagi, tidak datang dari latar belakang muslim—meski beberapa teman karib saya adalah muslim semuslimnya—jadi maaf, apabila saya tak kunjung paham dengan fenomena ini. Adakah yang bersedia membantu menjelaskan?
Saya suka bertanya, apakah memang Islam sejatinya mengajar untuk cepat marah dan main hantam begitu, atau ini masalah tafsir belaka? Saya sering berusaha meyakin-yakinkan diri bahwa ini hanya soal tafsir barangkali. Saya katakan kepada diri saya, Islam yang sejati pastilah berwajah sejuk, meski bukan berarti lembek dan mandah saja diperlakukan berat sebelah. Sejauh yang pernah saya dengar dan baca, Rasulullah adalah sosok penyejuk seperti itu.
Maka saya suka pada figur damai dan moderat seperti Gus Dur, Nurcholis Majid, Emha Ainun Najib, Ulil Abshar Abdalla, dan beberapa lainnya. Adakah mereka representasi yang paling mewakili Islam? Oh pasti banyak yang tidak setuju dengan pikiran itu. Bukankah pada masanya dulu almarhum Nurcholis Majid pun dianggap “murtad” karena gagasan sekularisasinya?
Ulil Abshar Abdalla malah pernah ditafwa mati oleh sejumlah ulama Islam di sini, karena pikiran dan omongan-omongannya dianggap ngawur dan menyesatkan. Emha? Ia pun saya kira bukan tokoh yang disukai oleh banyak ulama karena pikiran-pikirannya yang cenderung “nyeni”. Lalu Gus Dur. Ah kita sudah tahu ia banyak “mengoleksi” musuh justru dari kelompok muslim, dan malah meraih simpati dari kelompok yang non muslim.
Di luar nama-nama yang dituduh “liberal” itu kita bisa menemukan barisan muslim yang lain. Sebagian dari mereka menduduki posisi-posisi penting dalam organisasi Islam yang “menentukan” di sini. Mereka, dengan atau minus sorban Arabnya, umumnya berwajah “tunggal” : mematok harga mati untuk banyak hal.
Tapi kadang saya mendapat kesan kelompok “keras” ini menampilkan wajah yang mendua. Misalnya, mereka suka mengeluarkan imbauan agar umat tidak “terpancing”, atau berapologi bahwa Islam menolak kekerasan, tapi mereka cenderung membiarkan kalau kekerasan itu kemudian sungguh terjadi. Setahu saya, MUI umpamanya, tidak pernah mengeluarkan semacam teguran (apalagi dampratan) kepada aksi-aksi anarkistis sepihak yang kerap dipamerkan oleh kelompok Front Pembela Islam.
Ini membingungkan saya. Sebetulnya mereka (MUI) setuju atau tidak pada aksi premanisme ala FPI itu? Saya, sekali lagi, tidak datang dari latar belakang muslim—meski beberapa teman karib saya adalah muslim semuslimnya—jadi maaf, apabila saya tak kunjung paham dengan fenomena ini. Adakah yang bersedia membantu menjelaskan?
Subscribe to:
Posts (Atom)